Rabu, 24 Januari 2018

Jokowi, Golkar, dan Pilpres 2019

Jokowi, Golkar, dan Pilpres 2019
Lili Romli  ;  Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI
                                                 KORAN SINDO, 22 Januari 2018



                                                           
TANDA-tanda Presiden Jo­ko Widodo (Jokowi) ba­kal melenggang dengan aman dalam Pemilihan Pre­si­den (Pilpres) 2019 sudah bisa di­baca sejak sejumlah partai meng­umumkan penca­lo­n­an­nya tahun lalu. Deklarasi dukungan ke Jokowi antara lain di­la­kukan oleh Partai Nasdem, Par­tai Hanura, Partai Golkar, PPP. Bahkan, partai baru yang belum menjadi peserta pemilu, yakni Partai Perindo juga me­nyatakan dukungan kepada Jokowi.

Jika mengacu pada du­kung­an yang besar dari partai-partai yang mendeklarasikan Jokowi untuk periode kedua, jalan ke tangga pencapresan akan mu­lus. Apalagi, setelah beberapa wak­tu lalu Mahkamah Kons­ti­tusi (MK) menolak pembatalan ambang batas pencalonan pre­siden (presidential threshold  ) 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7/2017 ten­tang Pemilihan Umum men­jadi amunisi kuat bagi Jokowi.

Ini karena bila kita melihat peta kekuatan hasil Pemilu 2014, dari 10 partai politik (par­pol) yang ada di DPR, tak ada satu pun yang meraih 20% kursi DPR atau 25% suara sah na­sio­nal. Meski begitu, dengan de­kla­rasi yang dilakukan oleh-oleh partai-partai di atas, kan­di­dat presiden bisa jadi akan head to head.

Meski begitu, Jokowi tam­pak­nya merasa perlu untuk me­mastikan bahwa “sabuk peng­a­man”-nya dalam pilpres tahun de­pan itu benar-benar aman. Sebab, bukan mustahil du­kungan yang jauh-jauh hari su­dah diberikan itu, dalam menit-menit terakhir dicabut kembali.

Tampaknya “sabuk pe­nga­man” yang penting untuk di­pas­ti­kan tetap kukuh adalah Partai Gol­kar. Jokowi pun mela­ku­kan­nya dengan memanfaatkan reshuffle kabinet, menyusul pen­ca­lonan salah satu anggota kabinetnya, Khofifah Indar Pa­ra­wansa, sebagai calon guber­nur Jawa Timur.
Kursi Menteri Sosial yang ditinggalkan Khofifah dibe­ri­kan kepada Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham. Se­mentara itu, Menteri Per­in­dus­trian Air­lang­ga Hartarto yang akhir tahun lalu secara akla­masi ter­pilih sebagai ketua umum (ketum) Partai Gol­kar, meng­gan­ti­kan Setya No­van­to yang men­ja­di pesakitan Ko­misi Pem­be­ran­tasan Korupsi tetap diper­ta­hankan da­lam posisi­nya.

Asumsi awal bahwa tugas kementerian ba­kal terganggu oleh jabatan rang­kap sebagai ketua umum partai kini tidak berlaku lagi, meng­ingat tahun politik sudah berada di de­pan pintu. Tanpa menduduki kursi di kabinet, posisi Air­lang­ga pada partai berlambang ber­ingin itu memang mudah di­goyang.

Berbeda dengan ketum-ke­tum sebelumnya, seperti Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, bah­kan Aburizal Bakrie boleh di­ka­ta­kan Airlangga Hartarto kurang mengakar. Dia lebih bertumpu pada beberapa elite di ke­pe­ngurusan pimpinan pu­sat. Me­reka itulah yang tempo hari ber­gerilya ke pimpinan dae­rah untuk mempercepat pe­nying­kiran Setya Novanto dan pengangkatan di­rinya. Tentu saja semua itu atas restu Istana, baik yang di Mer­deka Utara maupun Merdeka Selatan. Karena itu, tambahan men­teri untuk Partai Golkar dan tidak dicopotnya Airlangga Har­­tarto dari anggota kabinet ha­rus diba­ca dalam konteks un­tuk me­ngi­kat Partai Golkar agar tetap isti­kamah dengan apa yang telah di­deklarasikannya yaitu mendukung Jokowi pada Pilpres 2019.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) me­mang belum mengeluar­kan per­nya­ta­an resmi men­du­kung Jokowi. Na­mun, itu lebih merupakan soal waktu saja. Dengan du­kungan dua partai besar, yaitu PDI-P dan Partai Golkar, maka Jokowi akan semakin aman me­leng­gang sebagai calon pre­si­den untuk periode keduanya.


Dua Kemungkinan 
Sebagai parpol besar, Partai Gol­kar tentu menginginkan ka­dernya sendiri ikut dalam kon­testasi Pilpres 2019. Apalagi, dalam Pilpres 2014 partai ini memberi dukungan kepada kan­didat yang bukan berasal dari kadernya sendiri. Pada Pil­pres 2019 Partai Golkar pun “mengorbankan diri” untuk tidak mencalonkan kadernya. Se­karang mereka tampaknya ber­pikir tidak ada kandidat yang cukup kuat dari Partai Gol­kar untuk berhadapan dengan petahana. Setelah membaca beberapa hasil survei, mereka pun mengarahkan dukung­an­nya kepada Jokowi. Ke­un­tung­an mendukung Jokowi ini su­dah dirasakan oleh Partai Gol­kar dengan diberikannya satu tambahan kursi menteri dan dipertahankannya sang Ketua Umum Airlangga Hartarto, dalam Kabinet Kerja.

Jika politik dimaknai se­ba­gai “seni bermain”, permainan politik Partai Golkar menjelang ta­hun politik 2019 boleh di­ka­takan “canggih”, kalaulah bu­kan “cantik”.  Meski sebelum­nya tidak mendukung Jokowi, se­karang Partai Golkar me­ru­pa­kan unsur dominan dalam pen­capresan kembali Jokowi. Se­men­tara itu, partai-partai awal pen­dukung Jokowi sepertinya mu­lai ditinggalkan. Ada yang me­nyebutkan, kepiawaian Par­tai Golkar dalam “mendekati” Jo­kowi tidak lepas dari peran se­nior mereka yaitu Wakil Pre­siden Jusuf Kalla dan Menteri Koordinator Bidang Kemari­tim­an Luhut Binsar Panjaitan.

Ada dua kemungkinan yang bisa dibaca dari fenomena mes­ra­nya Jokowi dengan Beringin. Per­tama, tentu saja untuk men­jaga Partai Golkar agar tidak menyeberang ke pihak lawan yang nyata adalah calon yang ba­kal diusung oleh Partai Ge­rindra dan PKS. Kedua, untuk menaik­kan daya tawar Partai Golkar ke PDI-P yang sampai sekarang be­lum mengeluarkan deklarasi men­dukung Jokowi secara res­mi. Bukan mustahil, kelak partai ini akan meng­aju­kan kadernya untuk posisi wakil presiden.

Hubungan Jokowi dan Gol­kar tersebut menguntungkan kedua pihak. Kendati demikian, yang lebih diuntungkan dari hubungan itu adalah Partai Gol­kar. Meskipun dulu tidak men­dukung Jokowi dan sekarang tidak memiliki calon sendiri, Partai Golkar tetap mendapat keuntungan. Partai Golkar se­ngaja “mengorbankan diri” se­bagai parpol kedua terbesar asal tetap berada dalam kekuasaan yang memang sudah menjadi habitat partai ini.

Realitas politik seba­gai­ma­na terlihat kekuatan di DPR dan prediksi hasil lembaga survei memperlihatkan bahwa di In­donesia kini terdapat tiga kelom­pok politik besar, yaitu PDI-P, Partai Golkar, dan Gerindra. Dalam konteks itu, bagi Jokowi tidak cukup didukung oleh PDIP saja sebagai partai besar, tapi perlu juga dukungan dari Partai Golkar. Dengan diikat se­perti ini bukan hanya untuk tu­juan jangka pendek saat ini di DPR, yang mana Ketua DPR Bambang Soesatyo juga berasal dari Partai Golkar, melainkan untuk memuluskan dan men­du­kung setiap kebijakan yang diambil di parlemen.

Dalam jangka panjang, yak­ni Pilpres 2019, bisa jadi Jokowi mengikat Beringin melalui “po­litik balas budi” agar partai itu tidak mbalelo  di kemudian hari. Ini penting dilakukan agar kom­petisi Pilpres 2019  head to head. Karena jika tidak, kasus Pilkada DKI Jakarta bisa terulang da­lam Pilpres 2019, yakni mun­cul­nya calon alternatif, selain Jokowi dan Prabowo. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar