Indonesia-Cina
di Persimpangan Jalan
M Irfan Ilmie ; Pewarta Antara
|
REPUBLIKA,
25 Desember
2017
"Cina zaman now
berbeda dengan Cina China zaman old," seloroh beberapa pelajar asal Indonesia
saat menghadiri acara yang digelar Kedutaan Besar RI di Beijing awal bulan
ini. Meskipun sedang menimba ilmu di negara sangat terkenal dalam pepatah
Arab "Carilah ilmu walau ke negeri Cina" itu, mereka tetap
mengikuti perkembangan media sosial di Tanah Air yang "ngetren"
dengan istilah "zaman now" versus "zaman old".
Istilah itu mereka gunakan
untuk menerjemahkan pemikiran Soegeng Rahardjo saat masih menjabat Duta Besar
RI untuk Tiongkok dan Mongolia bahwa "Jangan pandang Cina dari abad
ke-20 karena sudah beda dengan abad ke-21". Cina abad ke-20 masih
tertutup terhadap asing, termasuk investor, kecuali untuk Provinsi Guangdong,
yang memang sudah lama dicanangkan oleh Deng Xiaoping sebagai satu-satunya
daerah terbuka untuk mengimbangi Hong Kong di bawah pemerintahan kolonial
Inggris.
Meskipun Partai Komunis
masih sebagai penguasa tunggal di negara berpenduduk hampir 1,4 miliar jiwa,
ekonomi Cina pada abad ke-21 ini justru sangat kapitalis. "Amerika
Serikat memang negara ekonomi terbesar sejak 1871, tapi posisi puncak itu
sekarang sedang menghadapi ancaman dari Cina," demikian cuplikan artikel
Investopedia belum lama ini.
Laman media daring
bermarkas di New York, AS, yang setiap bulan dikunjungi 20 juta pembaca itu
meramalkan bahwa ekonomi Cina 1,5 kali lebih besar daripada AS pada 2030 dan
1,7 kali pada 2060. Meskipun demikian, beberapa pengamat meyakini ekonomi AS
masih akan terbesar selama beberapa tahun mendatang mengingat negara
berpenduduk hampir 400 juta jiwa itu memiliki pengalaman panjang dan sudah
teruji.
Cina yang pertumbuhan
ekonominya dalam dua tahun terakhir hampir menyentuh angka tujuh persen tidak
berhenti membangun infrastruktur dan sarana pendukungnya. Pembangunan
infrastruktur itu yang paling utama untuk mendukung program Jalur Sutera dan
Jalur Maritim Abad ke-21 yang dikenal dengan "Belt and Road"
(B&R).
Gagasan Presiden Xi
Jinping itu sebenarnya bukan hanya memperlancar konektivitas dari daratan
Tiongkok menuju negara-negara di Timur Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara,
Eropa, dan Afrika, melainkan juga dirancang sebagai blok dagang berjangka
panjang.
Demikian halnya dengan
Indonesia yang tidak hanya sekadar masuk dalam peta blok, melainkan juga
dipandang sangat strategis bagi Cina. Apalagi B&R pernah dipaparkan
Presiden Xi di depan pimpinan dan anggota DPR-RI di Jakarta pada 2013. Xi
menjadikan Indonesia sebagai poros penting "One Road" setelah dia
memaparkan poros "One Belt" di Astana, Kazakhstan, pada tahun yang
sama.
Peluang
atau ancaman
Pada 2016 investasi Cina
di Indonesia telah mencapai angka 2,67 miliar dolar AS dengan jumlah proyek
mencapai 1.734 unit sebagaimana data Badan Pusat Statistik (BPS) RI. Angka
itu mendudukkan China sebagai investor asing terbesar ketiga di Indonesia di
bawah Singapura yang mencapai 9,18 miliar dolar AS dengan 5.874 unit proyek
dan Jepang senilai 5,4 miliar dolar AS dengan 3.302 unit proyek.
Cina bukan menutup diri
dari investasi asing, termasuk dari Indonesia. Bahkan, dalam kurun waktu lima
tahun mendatang Cina telah menargetkan masuknya investasi asing senilai 700
miliar dolar AS. Di sektor perdagangan, memang Indonesia mengalami defisit
dengan Cina. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) RI menyebutkan
bahwa pada semester I/2017 defisit perdagangan Indonesia dengan China
mencapai 6,62 miliar dolar AS.
Namun, Atase Perdagan KBRI
Beijing Dandy S Iswara mencatat bahwa pada periode Januari-Februari 2017
defisit neraca perdagangan tersebut mengalami penurunan 80 persen
dibandingkan periode yang sama pada 2016 yang mencapai 2,271 miliar dolar AS.
Penurunan itu salah satunya karena mulai ada peningkatan produk ekspor
makanan dan minuman sehingga Indonesia tidak hanya mengandalkan ekpsor minyak
dan gas ke China.
Indonesia masih sangat
berpeluang menekan atau bahkan menghapus sama sekali selisih nilai
perdagangan itu mengingat Cina masih membutuhkan banyak barang impor. Bahkan
Wakil Perdana Menteri Zhang Gaoli mengatakan bahwa negaranya butuh barang
impor senilai 8 triliun dolar AS dalam lima tahun mendatang.
Sayangnya, kalangan
pengusaha nasional pesimistis melihat peluang yang ditawarkan China karena
kegaduhan politik yang tak kunjung berkesudahan hingga tiga tahun masa
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
"Belum lagi sistem
birokrasi kita," kata Chairman of Indonesia Chamber of Commerce in China
(Inacham), Liky Sutikno, kepada Antara di Shanghai, Sabtu (9/12).
Ketua perwakilan Kadin
Indonesia di Cina itu lebih lanjut menggambarkan bahwa birokrasi di Indonesia
masih bekerja pada abad ke-18, sedangkan Cina sudah abad ke-21. "Maka
jangan heran kalau Indonesia kalah jauh dari Malaysia dalam memanfaatkan
peluang yang ditawarkan Cina," ujar pengusaha Indonesia yang sudah
malang-melintang di daratan Tiongkok itu.
Lalu dia menyebutkan bahwa
baru-baru ini taipan Jack Ma membangun "Regional Smart Hub" di
dekat Bandar Udara Internasional Kuala Lumpur (KLIA), Malaysia, sebagai
pangkalan barunya dalam menjalankan perdagangan berbasis elektronik
(e-Commerce) di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Padahal, enam bulan
sebelumnya Jack Ma ingin membangun fasilitas itu di Batam, Kepulauan Riau.
Namun tawaran yang disampaikan salah satu orang terkaya di dunia itu agar
bisa menyerap banyak tenaga kerja itu tidak segera disikapi pemerintah
Indonesia.
"Respons Indonesia
tidak konkret. Nah, Malaysia 'nguping' dan menyampaikan program secara
konkret. 'Oportunity' kita banyak dirampok oleh Malaysia," ujar Liky
yang saat itu ditemui di Bali Bistro, restoran makanan halal yang
dikembangkannya di kota terbesar di Cina itu.
Demikian halnya dengan
buah-buahan segar, Cina sangat berharap petani dari Indonesia bisa memasoknya
secara langsung. "Namun karena orang kita tidak mau ribet, maka tidak
bisa ekspor langsung ke Cina yang memberlakukan syarat-syarat tertentu
sehingga harus lewat Vietnam. Mestinya Indonesia dapat lima, karena harus
melalui negara lain, maka hanya dapat dua," katanya menambahkan.
Menurut dia, Cina sangat
hormat terhadap Indonesia karena faktor sejarah, terutama kedekatan mantan
Presiden Soekarno dengan pemimpin Cina Mao Zedong dan Perdana Menteri Zhou
Enlai.
"Orang Cina itu punya
keyakinan, kalau kita berbuat baik sama mereka, maka mereka tidak akan lupa
sama kita. Ini yang ditunjukkan Cina terhadap kita," tuturnya.
Tawaran boleh datang dan
pergi. Namun yang perlu diingat, jangan sampai menerima tawaran dengan
mengorbankan harga diri. Sejak zaman penjajahan sampai saat ini, Indonesia
sudah kenyang dengan yang namanya "bantuan asing".
"Ngeri, kalau tidak
hati-hati dalam menyikapi," kata anggota Komisi I DPR Junico BP Siahaan
di sela-sela kunjungan kerjanya ke Cina pada 30 Oktober-3 November 2017. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar