Becak
demi Keadilan atau Ketidakmampuan?
Bagong Suyanto ; Guru Besar Sosiologi
FISIP Universitas Airlangga
|
KORAN
SINDO, 20 Januari 2018
Gagasan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan
yang berencana memperbolehkan kembali becak beroperasi di Jakarta menarik
untuk didiskusikan lebih lanjut. Gagasan populis yang disebut-sebut
merupakan janji politik Anies ketika berkampanye dalam Pilkada DKI Jakarta
lalu ini segera saja mengundang kritik dari berbagai pihak.
Keberadaan becak yang sudah bertahun-tahun dilarang beroperasi di Jakarta, menurut rencana, akan ditoleransi kembali. Namun Anies menegaskan bahwa becak tidak akan beroperasi di jalan-jalan protokol Ibu Kota, melainkan hanya di kampung-kampung untuk melayani kebutuhan warga di berbagai sudut jalan kampung. Selain itu tidak akan mengganggu kelancaran berlalu-lintas di jalan protokol. Becak yang akan diizinkan kembali beroperasi hanya sebatas angkutan kampung dan angkutan lingkungan yang terbatas. Alasan ideologis yang utama sehingga Anies membiarkan becak kembali beroperasi adalah untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Anies menegaskan bahwa sebagai pimpinan daerah, dia ingin Jakarta kota yang berkeadilan, kota yang memberi kesempatan kepada semua. Risiko yang Dikhawatirkan Anies telah menegaskan bahwa keputusan akhir apakah becak diperbolehkan beroperasi kembali atau tidak di kampung-kampung tergantung pada persetujuan warga setempat. Tapi gagasan ini telanjur mengundang berbagai tanggapan. Tidak sedikit reaksi yang muncul yang mempertanyakan dasar gagasan ini. Ada yang mengkhawatirkan dampak yang bakal timbul jika becak kembali diizinkan beroperasi. Di atas kertas memang becak nantinya hanya akan diizinkan beroperasi di jalan-jalan kampung yang terbatas agar tidak menambah kesemrawutan kondisi lalu-lintas Ibu Kota. Namun siapa bisa menjamin bahwa becak nantinya akan benar-benar menaati aturan dan hanya beroperasi di jalan-jalan kampung? Kekhawatiran banyak pihak soal kesemrawutan Jakarta yang akan bertambah inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa orang-orang menolak gagasan tersebut. Dari sisi kemanusiaan dan ideologi populis, gagasan ini memang terkesan memenuhi rasa keadilan. Tapi paling-tidak ada tiga masalah yang dikhawatirkan akan timbul ketika becak benar-benar dibiarkan beroperasi di DKI Jakarta. Pertama, ada kekhawatiran jika becak kembali diizinkan beroperasi, hal itu akan menjadi lahan baru yang menstimulasi makin berkembangnya aktivitas shadow economy atau paling-tidak memfasilitasi perkembangan sektor informal kota yang tidak sesuai dengan karakteristik megaurban seperti DKI Jakarta. Pengalaman di berbagai negara maju, kebutuhan masyarakat akan fasilitas transportasi cenderung dipenuhi dari layanan transportasi publik yang berskala massal karena dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kemacetan dan kesemrawutan lalu-lintas kota besar. Kedua, ada kekhawatiran bahwa dengan membiarkan becak kembali beroperasi, hal itu berpotensi memicu terjadinya pergesekan baru dengan pelaku transportasi konvensional lain seperti tukang ojek di pangkalan atau juga transportasi online yang kehadirannya belakangan ini dinilai telah merebut rezeki para pengemudi transportasi konvensional seperti sopir taksi, sopir bus. Dengan mengizinkan becak kembali beroperasi di DKI Jakarta dikhawatirkan ruang persaingan layanan transportasi bagi warga kota ini akan makin ketat sehingga bukan tidak mungkin berpotensi memicu terjadinya konflik yang manifest . Ketiga, mata pencaharian sebagai tukang becak merupakan bagian dari sektor informal yang umumnya sangat fleksibel dan bisa menampung siapa pun untuk bekerja di sana tanpa harus direpotkan dengan syarat-syarat tertentu layaknya lapangan kerja di sektor perekonomian firma.
Artinya kaum migran dan kaum miskin kota
akan dengan mudah terserap dalam sektor ini. Ketika komunitas tukang becak
terbentuk dan makin lama makin solid, kohesi sosial yang tumbuh di antara
mereka, cepat atau lambat, akan membuat Pemerintah DKI Jakarta menghadapi
dilema.
Belajar dari pengalaman yang sudah-sudah, diakui atau tidak, mengatur becak agar taat aturan bukanlah hal yang mudah. Bisa dibayangkan, ketika komunitas tukang becak telah terbentuk makin solid, posisi tawar mereka pastilah akan meningkat dan pada satu titik kemungkinan dalam menangani persoalan yang timbul pastilah akan menghadapkan Pemerintah DKI Jakarta pada upaya yang sifatnya represif dan punitif. Pada titik ini, potensi terjadinya kerawanan sosial di DKI Jakarta dipastikan akan meningkat, terutama di tahun politik 2018 dan 2019. Keberpihakan Pada saat terjadi krisis ekonomi pada 1998, Pemerintah DKI Jakarta waktu itu memang dengan terpaksa membuka kembali kesempatan becak beroperasi di Jakarta lantaran banyak warga masyarakat yang didera tekanan kemiskinan dan membutuhkan lapangan kerja untuk hidup. Tapi, untuk saat ini, ketika situasi perekonomian mulai membaik, adakah alasan yang benar-benar mendasar untuk mengizinkan kembali becak beroperasi? Sebagai representasi dari usaha marginal yang melibatkan masyarakat miskin, memberi izin becak kembali beroperasi memang menjadi simbol kepedulian dan secara politis memperkuat citra populis pimpinan daerah yang terpilih. Dibandingkan dengan kebijakan yang mengedepankan penegakan hukum dan menggusur sektor informal, kebijakan mengizinkan kembali becak niscaya akan mengisyaratkan kembalinya rasa keadilan dan keberpihakan kepada masyarakat miskin. Lebih dari sekadar didorong rasa kasihan, tantangan nyata yang dihadapi Anies Baswedan sesungguhnya adalah bagaimana menciptakan peluang kerja lain dan kebijakan populis yang berpihak kepada rakyat kecil. Hernando de Soto (1989) dalam bukunya The Other Path menyatakan bahwa warga masyarakat miskin kota memang terbukti mampu survive dan berkembang jika mereka tidak ditelikung oleh kebijakan kota yang regulatif dan punitif. Tapi apakah keinginan untuk membantu dan bersikap adil kepada masyarakat miskin hanya bisa diwujudkan dalam kebijakan yang berpihak pada becak? Adakah lapangan kerja lain yang bisa diciptakan Pemda DKI Jakarta bagi rakyat miskin, selain mengizinkan becak beroperasi kembali? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar