Selasa, 23 Januari 2018

Becak demi Keadilan atau Ketidakmampuan?

Becak demi Keadilan atau Ketidakmampuan?
Bagong Suyanto  ;  Guru Besar Sosiologi FISIP Universitas Airlangga
                                                 KORAN SINDO, 20 Januari 2018



                                                           
Gagasan Gubernur DKI Ja­­karta Anies Baswedan yang berencana mem­per­bo­lehkan kembali becak ber­operasi di Jakarta menarik un­tuk didiskusikan lebih lanjut. Ga­gasan populis yang disebut-sebut merupakan janji politik Anies ketika berkampanye da­lam Pilkada DKI Jakarta lalu ini segera saja mengundang kritik dari berbagai pihak.

Keberadaan becak yang su­dah bertahun-tahun dilarang ber­operasi di Jakarta, menurut ren­cana, akan ditoleransi kem­bali. Namun Anies menegaskan bah­wa becak tidak akan ber­ope­rasi di jalan-jalan protokol Ibu Kota, melainkan hanya di kam­pung-kampung untuk me­la­ya­ni kebutuhan warga di berbagai sudut jalan kampung. Selain itu tidak akan mengganggu kelan­caran berlalu-lintas di jalan pro­tokol. Becak yang akan di­izin­kan kembali beroperasi hanya sebatas angkutan kampung dan angkutan lingkungan yang ter­batas.

Alasan ideologis yang utama sehingga Anies membiarkan be­cak kembali beroperasi ada­lah untuk memenuhi rasa ke­adilan masyarakat. Anies mene­gas­kan bahwa sebagai pim­pinan daerah, dia ingin Jakarta kota yang berkeadilan, kota yang memberi kesempatan ke­pada semua.

Risiko yang Dikhawatirkan

Anies telah menegaskan bah­wa keputusan akhir apakah becak diperbolehkan ber­ope­rasi kembali atau tidak di kam­pung-kampung tergantung pa­da persetujuan warga setempat. Tapi gagasan ini telanjur me­ng­undang berbagai tanggapan. Ti­dak sedikit reaksi yang mun­cul yang mempertanyakan dasar gagasan ini. Ada yang meng­kha­watirkan dampak yang bakal tim­bul jika becak kembali di­izin­kan beroperasi.

Di atas kertas memang be­cak nantinya hanya akan di­izinkan beroperasi di jalan-jalan kampung yang terbatas agar tidak menambah ke­se­m­ra­wut­an kondisi lalu-lintas Ibu Kota. Namun siapa bisa men­jamin bahwa becak nantinya akan be­nar-benar menaati aturan dan hanya beroperasi di jalan-jalan kampung? Kekha­wa­tiran banyak pihak soal kesemrawutan Jakarta yang akan bertambah inilah yang men­jadi salah satu alasan me­nga­pa orang-orang menolak ga­gasan tersebut.

Dari sisi kemanusiaan dan ideo­logi populis, gagasan ini me­mang terkesan memenuhi rasa keadilan. Tapi paling-tidak ada tiga masalah  yang dikhawa­tirkan akan timbul ketika becak benar-benar dibiarkan ber­ope­rasi di DKI Jakarta.

Pertama, ada kekhawatiran jika becak kembali diizinkan ber­operasi, hal itu akan menjadi lahan baru yang menstimulasi makin berkembangnya akti­vi­tas shadow economy  atau paling-tidak memfasilitasi perkem­ba­ng­an sektor informal kota yang tidak sesuai dengan karak­te­ris­tik megaurban seperti DKI J­a­karta.

Pengalaman di berbagai ne­gara maju, kebutuhan ma­sya­rakat akan fasilitas trans­portasi cenderung dipenuhi dari layanan transportasi pu­blik yang berskala massal ka­rena dapat mengurangi ke­mung­kinan terjadinya ke­ma­cetan dan kesemrawutan lalu-lintas kota besar.

Kedua, ada ke­kha­watiran bah­wa dengan mem­biarkan be­cak kembali beroperasi, hal itu berpotensi memicu terjadinya pergesekan baru dengan pelaku transportasi konvensional lain seperti tukang ojek di pang­kalan atau juga transportasi on­line  yang kehadirannya bela­ka­ng­an ini dinilai telah merebut rezeki para pengemudi trans­por­tasi konvensional seperti sopir taksi, sopir bus.

Dengan mengizinkan becak kembali beroperasi di DKI Jakarta dikhawatirkan ruang persaingan layanan transportasi bagi warga kota ini akan makin ketat se­hingga bukan tidak mungkin berpotensi memicu terjadinya konflik yang manifest .

Ketiga, mata pencaharian sebagai tukang becak meru­pa­kan bagian dari sektor informal yang umumnya sangat fleksibel dan bisa menampung siapa pun untuk bekerja di sana tanpa ha­rus direpotkan dengan syarat-sya­rat tertentu layaknya la­pa­ng­an kerja di sektor per­eko­nomian firma.
Artinya kaum migran dan kaum miskin kota akan dengan mudah terserap da­lam sektor ini. Ketika ko­mu­nitas tukang becak terbentuk dan makin lama makin solid, kohesi sosial yang tumbuh di an­tara mereka, cepat atau lam­bat, akan membuat Pe­merintah DKI Jakarta meng­hadapi di­lema.

Belajar dari penga­la­man yang sudah-sudah, di­akui atau tidak, me­ng­atur becak agar taat aturan bu­kan­lah hal yang mu­­dah. Bisa di­ba­yangkan, ketika komunitas tu­kang becak te­lah terbentuk makin solid, po­sisi tawar mereka pastilah akan meningkat dan pada satu titik kemungkinan dalam mena­nga­ni persoalan yang timbul pas­ti­lah akan menghadapkan Pemerintah DKI Jakarta pada upaya yang sifatnya represif dan punitif. Pada titik ini, potensi terjadinya kerawanan sosial di DKI Jakarta dipastikan akan meningkat, terutama di tahun politik 2018 dan 2019.

Keberpihakan 

Pada saat terjadi krisis eko­no­mi pada 1998, Pemerintah DKI Jakarta waktu itu memang dengan terpaksa membuka kem­bali kesempatan becak beroperasi di Jakarta lantaran banyak warga masyarakat yang didera tekanan kemiskinan dan membutuhkan lapangan kerja untuk hidup. Tapi, untuk saat ini, ketika situasi pereko­no­mian mulai membaik, adakah alas­an yang benar-benar men­dasar untuk mengizinkan kem­bali becak beroperasi?

Sebagai representasi dari usaha marginal yang me­li­bat­kan masyarakat miskin, mem­beri izin becak kembali ber­ope­rasi memang menjadi simbol kepedulian dan secara politis memperkuat citra populis pim­pinan daerah yang terpilih. Di­bandingkan dengan kebijakan yang mengedepankan pene­gak­an hukum dan menggusur sektor informal, kebijakan me­ng­izinkan kembali becak nis­caya akan mengisyaratkan kem­­balinya rasa keadilan dan ke­berpihakan kepada ma­sya­ra­kat miskin.

Lebih dari sekadar didorong rasa kasihan, tantangan nyata yang dihadapi Anies Baswedan sesungguhnya adalah bagai­ma­na menciptakan peluang kerja lain dan kebijakan populis yang berpihak kepada rakyat kecil. Hernando de Soto (1989) dalam bukunya The Other Path  me­nya­takan bahwa warga masyarakat miskin kota memang terbukti mampu survive  dan ber­kem­bang jika mereka tidak di­te­li­kung oleh kebijakan kota yang regulatif dan punitif.

Tapi apa­kah ke­inginan untuk mem­ban­tu dan bersikap adil kepada masyarakat miskin hanya bisa di­wujudkan dalam kebijakan yang berpihak pada becak? Ada­kah lapangan kerja lain yang bisa diciptakan Pemda DKI Ja­karta bagi rakyat miskin, selain mengizinkan be­cak beroperasi kembali? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar