Rabu, 24 Januari 2018

Demokrasi, Politik Despotik, dan Modernisasi Kepartaian

Demokrasi, Politik Despotik, dan
Modernisasi Kepartaian
Max Regus  ;  Doktor the Graduate School of Humanities,
Universitas Tilburg, Belanda
                                            MEDIA INDONESIA, 23 Januari 2018



                                                           
MEDIA Indonesia (MI), sesudah pengakuan La Nyalla soal ‘pemalakan’ yang menurutnya telah dilakukan para petinggi Partai Gerindra, mengulas isu tersebut dalam editorial dengan judul ‘Nyanyian La Nyalla’(Editorial MI, 15/1/2018). Geliat La Nyalla memang menyita perhatian publik. Soalnya, tidak tanggung-tanggung, jantung yang ditusuk ialah representasi utama kekuatan politik ‘antirezim Jokowi-Jusuf Kalla’. Nama Prabowo berada pada pusaran utama serangan La Nyalla. Selebihnya kemudian, tidak salah jika kita menyebut kisruh ‘La Nyalla’ sekadar ‘igauan politik’ yang tidak punya makna apa pun karena beberapa hari kemudian, La Nyalla tidak memenuhi panggilan Bawaslu (Editorial MI, 17/1/2018). Bahkan, ada kesan dia mengingkari pernyataannya sendiri. Apa yang diutarakan dan diperlihatkan orang seperti La Nyalla dan gerombolan elite yang ada dalam jangkauan serangannya, sebetulnya menggulirkan satu model krisis politik kekuasaan. Ada virus yang meremukkan konstruksi keadaban demokrasi kita.

Di sini, ada tiga soal fundamental yang perlu dikemukakan di sekujur tubuh politik dekil semacam ini.

Resesi demokrasi

Indonesia, secara beruntun, menyelenggarakan serial pemilu. Sesudah pileg dan pilpres pada 2014, kita kembali melaksanakan dua gelombang pemilihan kepala daerah (pilkada), pada 2015 dan 2018. Ada dua sisi penting--dan mungkin cenderung berbenturan--berhubungan dengan persoalan ini. Pertama, pluralitas sebagai elemen fundamental keindonesiaan memang membutuhkan ruang dan momentum ekspresi politik yang tidak bisa bersifat tunggal. Kedua, bagaimanapun, kerisauan kita tentang seberapa kuat, atau seberapa besar energi kita menjalankan prosesi politik yang beruntun ini, tidak mudah untuk dihindari.

Kita, dengan dua persoalan ini, kemudian tidak saja menghadapi tantangan internal, tetapi juga mesti menyimak pergeseran disposisi kebatinan politik global. Bukan rahasia lagi, kepercayaan politik (the political trust) terhadap lembaga -lembaga politik, termasuk di dalamnya proses elektoral, pada waktu bersamaan cenderung semakin rendah. Kita bisa melihat dengan mudah bagaimana sejumlah ruang politik Eropa, yang mengalami embusan angin demokrasi pada dua dekade terakhir, justru tergelincir kembali ke model politik otoriter.

Douglas Heaven, komentator politik BBC, dalam analisisnya tentang krisis ini, 'The Uncertain Future of Democracy' (30/3/2017), memunculkan fenomena-fenomena politik global di saat demokrasi sedang menuju keruntuhan di tangan kaum tiran. Kelas penguasa, yang memanfaatkan proses demokrasi untuk mencapai posisi kekuasaan, hingga pada titik tidak terkontrol, justru melakukan serangan balik terhadap kerangka nilai demokrasi. Heaven mengutip pendapat pemikir politik Larry Diamond, yang sejak satu dekade lalu telah melihat bagaimana demokrasi mengalami ‘resesi ringan, tetapi berlarut-larut’.

Politik despotik

Kaum politik kekuasaan despotik justru menggandrungi antusiasme politik publik. Ini bisa jadi ruang paling nyaman bagi mereka untuk menyembunyikan diri. Ketika demokrasi datang, apakah kekuatan totaliter-represif atau otoriter-opresif sepenuhnya musnah. Tidak sama sekali. Pada kenyataan, demokrasi datang hanya sebagai arus perubahan yang menyapu permukaan politik belaka. Demokrasi tidak bisa, atau lebih tepatnya, memang tidak punya iktikad membongkar akar-akar totalitarianisme yang menghunjam jauh ke dalam peradaban politik.

Di titik ini, kaum politik despotik justru menikmati kemewahan kekuasaan ketika mereka bisa mencengkeram institusi-institusi politik. Di Indonesia, ambil contoh, bibit-bibit despotisme berkembang biak dalam cangkang-cangkang aman partai politik. Itu yang menyebabkan operasi-operasi antidemokrasi justru berlangsung aman dalam kerangkeng partai politik.

Barangkali, fenomena ini tepat untuk ditaruh dalam konteks pemikiran Don Murray dalam bukunya, A Democracy of Despots (1995). Secara gamblang, Murray membentangkan pergerakan cerdik kaum depostik pada setiap ranah politik. Baik demokrasi maupun totalitarianisme, kaum despotik selalu mampu meraih keuntungan berkat keculasan mereka. Mereka tidak pernah mengalami apa yang bisa dinamakan dengan ‘musim gugur’ kekuasaan. Kaum politik despotik memiliki kemampuan bawaan politik untuk cocok menempel pada semua model kekuasaan.

Modernisasi kepartaian

Michael John Gerson, komentator politik internasional yang menyaksikan dari dekat gejolak-gejolak di Afrika, dalam analisisnya di The Washington Post (28/5/2008), mengungkapkan ketidaksesuaian antara jalan demokratisasi yang mulai ditempuh di satu sisi dengan kultur (perilaku) kekuasaan di sisi lain. Demokrasi hanya berkaitan dengan kulit yang bersifat material-formal. Di kawasan itu, politik elitis menimbulkan kepengapan luar biasa di ranah kekuasaan. Mereka menjalankan gerakan ‘pembungkaman’ aktivis prodemokrasi. Gerson, untuk situasi ini, menyebutnya dengan ‘demokrasi kaum penipu’.

Infrastruktur demokrasi memang butuh pembenahan. Pengelolaan politik dan demokrasi mesti berbasiskan rasionalitas. He Chuanqi, dalam Modernization Science (2012), membagi dua tahap dan model modernisasi politik. Tahap (model) pertama merujuk pada periode 1761-1970. Pada tahap ini, beberapa karakter dasar politik terdefiniskan dalam beberapa aspek seperti sentralisasi kekuasaan, relasi antarkelas politik, elitisisme kekuasaan, kekerasan, dan konfrontasi antarklan politik. \

Tahap kedua mengacu pada periode 1970—2100. Pada tahap ini, politik seniscayanya tampak dalam sejumlah ciri penting seperti pengutamaan dialog politik, demokrasi berbasikan jaringan kewargaan, model politik nonkonfrontatif, nonelitis, inklusif, egaliter, antikekerasan (diskriminasi sosial). Salah satu ciri utama dari modernisasi politik tahap kedua menunjuk pada penghapusan ‘relasi kelas’ dalam politik. Bagi Indonesia, modernisasi kepartaian ialah kenisacayaan dalam kerangka membangun demokrasi yang tidak terbajak dalam rengkuhan kaum politikus despotik. Fenomena politik yang terungkap dalam kisah-kisah uang pelicin untuk mendapatkan rekomendasi pemimpin partai politik demi meraih tiket dalam kompetisi politik serentak membenamkan keadabaan kepertaian--dari mana kita sebetulnya mengharapkan kemunculan demokrasi yang beradab dan matang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar