Hal
Ihwal Pembatasan Lalu Lintas di Tanah Abang
Achmad Izzul Waro ; Anggota Dewan
Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) 2012-2017; Ketua Kompartemen Kebijakan Publik The
Clapeyron Institute (TCI)
|
DETIKNEWS,
19 Januari
2018
Gubernur DKI Jakarta Anies
Baswedan memberlakukan rekayasa lalu lintas baru di kawasan Tanah Abang sejak
22 Desember 2017. Rekayasa ini berupa pembatasan lalu lintas bagi kendaraan
bermotor pribadi pada Jalan Jatibaru, dan menyediakan lajur khusus bus bagi
Transjakarta explorer.
Bagi sebagian kalangan,
kebijakan Anies ini cukup melegakan. Mereka yang selama ini terbiasa
menggunakan kereta api (KA) untuk berbelanja di Pasar Tanah Abang cukup puas
dengan kondisi pedagang kaki lima (PKL) yang rapi, teratur, dan makin dekat
dengan stasiun. Alternatif lain jika ingin berbelanja di Blok A dan B pun
juga mudah dengan layanan Transjakarta explorer yang gratis.
Dalam rilis yang
disampaikan oleh Pemprov DKI Jakarta, penataan ini merupakan langkah awal
dari rencana penataan yang lebih besar di Kawasan Tanah Abang ini. PT KAI
misalnya, selaku operator dari Stasiun KA berencana membangun hunian vertikal
di dekat stasiun. PD Pasar Jaya pun juga akan merenovasi Blok G sehingga
diharapkan bisa lebih nyaman bagi pedagang maupun pengunjung.
Akan tetapi, ada sebagian
pihak yang keberatan dengan adanya penataan ini. Mereka bahkan menyebut
langkah Anies tersebut melanggar Undang-undang (UU) No. 38 Tahun 2004 tentang
Jalan, khususnya Pasal Pasal 12 yang menyebut setiap orang dilarang melakukan
perbuatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan. Ancaman pidananya pun
cukup serius, yaitu penjara paling lama 18 bulan yang diatur dalam Pasal 63
UU yang sama.
Pro-kontra terhadap
kebijakan pemerintah dalam era demokrasi adalah hal yang wajar. Namun ketika
terkait dengan persoalan hukum rekayasa lalu lintas, sebagai orang yang
pernah bertugas sebagai Anggota Komisi Hukum dan Humas Dewan Transportasi
Kota Jakarta (DTKJ) di era Gubernur Jokowi dan Ahok, saya tertarik untuk
menelaahnya lebih lanjut.
Dalam UU Jalan disebutkan
bahwa jalan merupakan bagian dari infrastruktur transportasi yang berperan
penting dalam bidang ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, politik,
pertahanan dan keamanan, yang diselenggarakan untuk kemakmuran rakyat. Untuk
mewujudkan peran tersebut, pemerintah mengatur lalu lintas yang memanfaatkan
keberadaan jalan sesuai dengan hierarki status jalan tersebut yang terbagi
menjadi jalan nasional, jalan provinsi dan jalan kabupaten/kota.
Dalam konteks Tanah Abang,
status Jalan Jatibaru adalah jalan provinsi, di mana biaya perawatan
sepenuhnya ditanggung oleh Pemprov DKI Jakarta. Pun demikian dengan
pemanfaatannya, menjadi tanggung jawab pemprov agar berdaya guna maksimal
bagi masyarakat. Kewenangan ini disebutkan tidak hanya di UU 38/2004 tentang
Jalan (di Pasal 15), tetapi juga di UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan (Pasal 96) maupun beberapa regulasi turunannya.
Di wilayah perkotaan yang
padat penduduk seperti Jakarta, perlu dipahami bahwa konteks kelancaran lalu
lintas diprioritaskan untuk angkutan massal dan kendaraan tak bermotor
(sepeda dan pejalan kaki) sebagai bagian dari upaya mengurai kemacetan
sekaligus mengurangi polusi udara. Hal ini juga tertuang dalam Perpres No.
61/2011 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca yang
menyebutkan bahwa transportasi merupakan bagian penting dari upaya global
dalam menangani perubahan iklim.
Adapun dorongan agar
masyarakat menggunakan angkutan umum sejalan dengan semangat yang ada dalam
Perpres No. 2/2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
2015-2019 Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla yang mengamanatkan agar proporsi
penggunaan angkutan umum di wilayah perkotaan naik dari 23% menjadi 32%.
Disadari atau tidak,
meningkatnya volume kendaraan pribadi yang begitu pesat, selain menjadi
penyebab utama kemacetan juga telah menjadi sumber pencemaran udara di
ibukota. Bahkan, dalam sebuah buku yang ditulis oleh beberapa ahli lingkungan
hidup yang bermitra dengan Clean Air Project dari Swisscontact menyatakan 70%
polusi udara di Jakarta bersumber dari emisi gas buang kendaraan bermotor.
Atas dasar inilah,
kebijakan-kebijakan simultan lain terkait pengembangan angkutan umum dan
pembatasan lalu lintas dilaksanakan, seperti pembangunan angkutan massal MRT,
kewajiban uji emisi pada kendaraan bermotor hingga penggunaan bahan bakar
ramah lingkungan pada angkutan umum dan kendaraan operasional pemprov.
Bahkan dalam kaitan
revitalisasi angkutan umum secara keseluruhan, Gubernur Anies Baswedan pada
14 Desember 2017 telah melakukan soft launching program OK-OTRIP. Dengan
program yang mengintegrasikan layanan dan sistem pembayaran pada bus sedang
dan angkot ke dalam manajemen Transjakarta ini, diharapkan mobilitas warga
Jakarta menjadi semakin mudah dan murah.
Oleh sebab itu, pembatasan
lalu lintas kendaraan bermotor di Tanah Abang yang dibarengi dengan
penyediaan layanan bus Transjakarta patut diapresiasi. Perlu diingat bahwa
layanan gratis ini berperan sebagai pengumpan bagi angkutan umum lainnya,
bukan sebagai layanan substitusi. Dengan demikian, proses integrasi ini
diharapkan akan semakin baik saat OK-OTRIP makin meluas cakupannya.
Dalam catatan
Transjakarta, minat masyarakat dalam menggunakan layanan bus Transjakarta ini
pun terus meningkat. Di hari pertama (22/12/2017) saja, jumlah penumpangnya
mencapai 5.059 orang. Jumlah tersebut naik menjadi 7.654 penumpang (23/12),
8.748 penumpang (24/12), 9.225 penumpang (25/12), 9.689 penumpang (26/12),
10.926 penumpang (27/12) dan 13.288 penumpang (28/12). Tampak bahwa
masyarakat mulai menyadari mudah dan nyamannya menggunakan armada baru dari
Transjakarta ini.
Jadi, pembatasan kendaraan
bermotor pada ruas jalan dan waktu tertentu sebagai bagian manajemen dan
rekayasa lalu lintas bukanlah hal baru, karena sudah pernah ada Hari Bebas
Kendaraan Bermotor (car free day), serta penerapan 3in1 dan plat
ganjil-genap. Pengalihan fungsi jalan sebagai lajur khusus bus (busway) pun
juga dilakukan Pemprov DKI Jakarta sejak 2004, meskipun saat itu belum ada UU
yang mengatur tentang lajur khusus bus.
Banyak yurisprudensi yang
menjadi rujukan bahwa pemerintah berhak melakukan rekayasa lalu lintas untuk
mendorong penggunaan angkutan umum secara lebih masif, karena hal ini sudah
menjadi tuntutan global bahwa penggunaan kendaraan pribadi yang tak ramah
lingkungan harus dibatasi.
Peraturan Pemerintah (PP)
No. 32/2011 tentang Manajemen dan Rekayasa, Analisa Dampak, serta Manajemen
Kebutuhan Lalu Lintas yang telah jelas mengatur pembatasan lalu lintas,
termasuk syarat dan ketentuan pelaksanaannya.
Terlebih pada UU 29/2007
tentang Pemprov DKI Jakarta sebagai ibu kota negara, di mana Pasal 26 Ayat 4
dengan jelas menyebutkan bahwa penetapan dan pelaksanaan kebijakan di bidang
transportasi dan perdagangan merupakan bagian dari beberapa kewenangan
istimewa Pemprov DKI Jakarta. Asas hukum yang bersifat khusus mengesampingkan
hukum yang bersifat umum (lex specalis derogat lex generalis) pun berlaku
pada konteks ini.
Regulasi ini pun telah
diturunkan dalam Peraturan Daerah (Perda) No. 5/2014 tentang Transportasi, di
mana terdapat banyak cara mengoptimalkan pengaturan lalu lintas, dan salah
satunya adalah dengan pembatasan kendaraan bermotor.
Dengan serangkaian
regulasi dan fakta di lapangan tersebut, tampak bahwa kebijakan Pemprov DKI
Jakarta dalam menata kawasan Tanah Abang sudah berada pada koridor hukum yang
tepat. Koherensi kebijakan juga telah berlangsung sejak beberapa pemerintahan
gubernur sebelumnya.
Toh pun demikian, kritik
untuk perbaikan penataan Kawasan Tanah Abang tentu masih diperlukan. Misalnya
terkait percepatan revitalisasi Blok G Pasar Tanah Abang, maupun kejelasan
rencana pembangunan jalur KA perkotaan layang (elevated circular line) agar
makin banyak masyarakat yang melakukan perjalanan menggunakan angkutan umum.
Sejak Pemerintah Hinda
Belanda membangun Stasiun KA Tanah Abang pada 1899, maka simbiosis mutualisme
dengan Pasar Tanah Abang yang terbangun 164 tahun sebelumnya menjadi tak
terpisahkan. Penataan kawasan Tanah Abang ini mutlak diperlukan, mengingat
jumlah masyarakat yang beraktivitas di sana terus meningkat, sejalan dengan
KA Bandara yang baru saja beroperasi dan ada rencana perpanjangan trase
Kereta Ringan (LRT) dari Kelapa Gading hingga Tanah Abang.
Bagaimana pun,
transportasi merupakan bagian dari aktivitas penunjang kegiatan ekonomi.
Melihat kebijakan baru penataan Tanah Abang ini, rasanya lebih baik jika
masyarakat pergi ke Tanah Abang menggunakan angkutan umum, bukan kendaraan
pribadi. Begitupun bila bepergian menggunakan kendaraan pribadi, lebih baik
tidak melewati Tanah Abang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar