Data
Raksasa dan Biopolitik
Budiman Sudjatmiko ; Ketua Dewan Pembina
Perkumpulan Aparatur
Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Papdesi)
|
KOMPAS,
23 Januari
2018
Mari
kerahkan seluruh ilmu pengetahuan, sebelum kita habis kesabaran.
Angel
Parra
Dalam percakapan dengan dua mahasiswa asal
Indonesia di program doktoral biologi struktural dan psikiatri di Universitas
Cambridge, setengah tahun lalu, saya mengajukan pertanyaan ini: ”Pernahkah
kamu atau tetanggamu atau sahabatmu menyesali keputusan politik saat memilih?
Menyesali tindakan lima menit dalam kotak suara yang berakibat lima
tahun ke depan?” Pertanyaan saya
selanjutnya kepada mereka adalah, “Adakah teknologi yang nyaman bagi rakyat
untuk secara akurat membangun kebahagiaan dengan mengurangi banyak kekecewaan
karena ketidaktepatan dalam membuat pilihan politik di alam demokrasi?”
Yang saya tanyakan kepada mereka adalah
tentang jurang yang menganga antara keinginan sesaat tiap orang dan kebutuhan
jangka panjang tiap orang dalam demokrasi.
Demokrasi sebagai sistem operasi politik,
selama fitur dan mekanismenya masih menggunakan warisan abad ke-19, akan jadi
sosok yang tertatih-tatih ketika mau mengatur masyarakat yang sedang berlompatan
ke depan karena revolusi teknologi. Jajak pendapat Kompas pada Desember 2017
menemukan 35 persen responden usia muda memandang politik dalam arena
demokrasi semata-mata soal perebutan kekuasaan. Sepertiga lagi melihatnya
sarat dengan korupsi dan kebohongan. Hal ini menunjukkan anak-anak muda,
generasi milenial, semakin berjarak dengan panggung politik formal meski sama
sekali tidak apolitis.
Dari survei itu, politik jadi cuma seolah
perasan paling akhir dari seluruh tetesan peluh yang dihasilkan dari hubungan
antarmanusia. Politik seakan cuma peluh kotor. Banyak anak muda tak lagi
melihat bahwa dalam proses demokrasi politik itu ada juga tubuh (masyarakat)
yang sedang bermetabolisme secara sehat karena berolah raga, berolah rasa,
dan berolah rasio sehingga menghasilkan peluh. Jangan salahkan generasi muda.
Salahkan kita yang ngotot tak mau berubah.
Agar tubuh bangsa sehat, demokrasi butuh
terobosan. Ingatlah, teknologi zaman kini akan lebih memenangkan mereka yang
berani melakukan terobosan ala abad ke-21 ketimbang mereka yang cuma
mengandalkan pengalaman ala abad ke-20. Hal ini dimungkinkan oleh
perkembangan sains teknologi yang sangat cepat. Dalam demokrasi politik, ia
membutuhkan data raksasa (big data), biopolitik dan kecerdasan buatan sebagai
steroid untuk otot-ototnya supaya aspirasi kolektif rakyat tak terus jadi
korban penipuan elite.
Teknisi
Lantas, terobosan macam apa? Yang kita
butuhkan adalah ”teknisi”, yang terdiri atas dua hal: teknologi advokasi dan
teknologi representasi.
Begini argumen saya. Akses dan ketersediaan
informasi merupakan hal mendasar dalam demokrasi. Hal ini agar tiap-tiap
orang dapat membangun dalil dan dalih atas tiap-tiap keberpihakan politiknya
(advokasi).
Namun, saat ini akses saja tak cukup. Di
era di mana informasi yang tersedia sudah berlimpah ruah, dibutuhkan
teknologi advokasi yang bekerja
memilah informasi dari rumor, memilih dan mengubah informasi yang relevan
menjadi pengetahuan yang dibutuhkan oleh tiap orang saat memutuskan
keberpihakan politik. Ia menjadi semacam asisten digital bagi tiap-tiap warga
negara supaya lebih mengenal siapa dirinya (pilihan politik dan bioritme
fisik, emosi, dan intelektual dirinya yang relevan), mengenal calon
pemimpinnya (rekam jejak digital ucapan, tindakan, pengalaman, psikografi,
dan lain-lain), dan mengetahui
konsekuensi diri pribadi dari tiap-tiap pilihan politik yang akan
diambil.
Teknologi advokasi akan membuat rakyat
lebih mengenali siapa dirinya, yaitu mengenali kebutuhan politiknya maupun
tubuh biologisnya, dan bagaimana keduanya saling memengaruhi. Temuan di studi
biopolitik, misalnya, berhasil menunjukkan adanya hubungan fungsional antara
perilaku politik dan struktur otak manusia.
Kemajuan sains dan teknologi telah
melapangkan jalan hadirnya teknologi advokasi semacam ini. Hanya dengan cara
ini rakyat bisa melepaskan diri dari tipuan ”seolah toleran”, ”seolah
berwawasan maju”, atau ”seolah saleh” oleh calon-calon pejabat publik dan
menekan rasa penyesalan setelah memilih.
Proses perbincangan publik merupakan unsur
penting dari cara pengambilan keputusan dalam demokrasi. Hari ini proses
tersebut berlangsung dan secara organis mengisi ruang-ruang diskusi di media
sosial. Hanya saja, meskipun hal itu telah mendorong peningkatan partisipasi
warga dalam urusan politik, diskusi di dunia maya lebih sering berujung pada
munculnya pembelahan opini yang memecah belah dan penjalaran informasi palsu.
Hal ini disebabkan media sosial dianggap jadi saluran aspirasi warga,
sementara rancang algoritmanya tidak (baca: belum) memungkinkan terjadinya
moderasi dari opini-opini yang bertentangan antara otak liberal, progresif,
dan konservatif.
Untuk memobilisasi ide dan pikiran politik
yang beragam, demokrasi digital butuh platform perbincangan dunia maya, yang
memudahkan ruang musyawarah di mana selain ide dan pemikiran terkait topik
tertentu diungkapkan secara bebas, juga bisa distrukturkan dan dianalisis
secara otomatis (menggunakan kecerdasan buatan) menjadi sejumlah sudut pandang yang berbeda,
dan kemudian (jika perlu) diputuskan secara kolektif. Mekanisme pengambilan
keputusan kolektif bisa cepat dan efektif.
Di sinilah setelah menggunakan teknologi
advokasi kita butuh juga teknologi representasi. Ini bisa berlaku dalam
organisasi masyarakat, musyawarah desa, partai politik, juga DPR dan rapat
kabinet. Sebagai teknologi representasi digital, platform semacam ini
diharapkan mampu menumbuhkan budaya demokrasi digital yang sehat, dan lebih
jauh memfasilitasi terbangunnya kecerdasan kolektif warga melalui kolaborasi
ide, keterampilan, dan sumber daya.
Kecerdasan
kolektif
Data raksasa, biopolitik, dan kecerdasan
buatan adalah inovasi teknologi yang penting dan jadi tulang punggung
kemajuan ekonomi dan sosial-politik era digital. Namun, pelaksanaannya harus
tetap berjalan dalam jalur-jalur demokrasi dan hak konstitusional warga
negara. Hal ini untuk mencegah agar masyarakat di masa depan tidak terjebak
dalam kerangkeng totaliterisme yang menggunakan teknologi.
Kecenderungan totaliterisme teknologi dunia
mulai muncul dalam upaya penerapan angka peringkat untuk mengontrol perilaku
warga negara. Angka peringkat ini akan memengaruhi akses seseorang pada
perbankan, pembuatan visa, sampai dengan pekerjaan. Sementara di lain pihak,
perusahaan-perusahaan teknologi swasta
besar lebih banyak memanfaatkan model kontrol perilaku yang lebih halus.
Kedua model tersebut sama-sama memanfaatkan
data perseorangan dan jejak digital warga di dunia maya sebagai input dari
algoritma yang kemudian memersonalisasi pilihan-pilihan tindakan yang
direkomendasikan ke tiap-tiap orang. Persoalannya, mesin yang supercerdas
sekalipun tidak akan mampu menghasilkan solusi yang optimal dan sempurna
ketika dihadapkan pada problem masyarakat yang semakin kompleks di masa
depan. Hal ini disebabkan kompleksitas sistem akan senantiasa melampaui
kemampuan mesin memproses data yang volumenya terus berlipat dua setiap
tahun.
Kecerdasan kolektif adalah saripati
demokrasi digital. Ia adalah satu-satunya cara untuk mengatasi tantangan yang
kian kompleks. Totaliterisme negara lewat teknologi bukanlah jawaban untuk
masa depan. Terobosan demokrasi yang kita mau adalah untuk menempatkan
teknologi sebagai pelayan bagi kecerdasan kolektif warga. Bukan untuk
melayani kuasa totaliter negara maupun kuasa uang.
Lantas, siapa yang layak memegang dan
memiliki teknologi data raksasa ini supaya tidak dimonopoli negara dan
perusahaan swasta besar? Unit-unit kewirausahaan sosial dan organisasi
komunitas harus memilikinya. Kecerdasan buatan (artificial intelligence) akan membantu rakyat dalam mengenali
tubuh biologisnya sendiri, pikiran politiknya, dan sekumpulan rambu atau data
(big data) di rute perjalanan politik mereka. Dengan begitu, rakyat yang
berteknologi ini sanggup melawan kecerdasan dangkal yang dibuat-buat (superficial intelligence) oleh
politisi-politisi rasis, korup, dan tidak cakap, yang kelakuannya persis
bengkel- bengkel sepeda motor yang mencari pelanggan dengan menyebarkan
paku-paku di jalanan. ●
|
Makasih mas sudah banyak menyediakan banyak artikel2 bagus secara free
BalasHapus