Populisme
Islam (4)
Azyumardi Azra ; Guru Besar Fakultas
Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta;
Anggota Komisi
Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
REPUBLIKA,
18 Januari
2018
Dengan sikap submissif ulama ahlussunah
waljamaah beriringan dengan absolutisme dan otoritarianisme kekuasaan politik
di dunia Muslim sejak abad-abad awal Islam, bagaimana masa depan populisme
Islam di Indonesia? Apakah populisme Islam memiliki peluang untuk memenangkan
politik dan kekuasaan di Indonesia?
Berbeda dengan kekhawatiran sementara ahli
dan kalangan lain tentang kebangkitan populisme Islam di Indonesia sejak
akhir 2016 dan awal 2017 yang terkait dengan Pilkada DKI Jakarta, penulis
"Resonansi" menilai, masa depan gerakan ini tidak menjanjikan.
Ada beberapa faktor penyebab mengapa
populisme Islam di Indonesia sulit memiliki masa depan dalam kancah politik
dan kekuasaan di negeri negeri ini. Faktor-faktor itu banyak terkait dengan
corak dan watak Islam Indonesia, baik pada masa silam yang panjang maupun di
masa kontemporer, khususnya beberapa tahun terakhir.
Faktor penting lain adalah tatanan hukum
dan realitas politik Indonesia, yang juga tidak memberikan tempat bagi
gerakan politik semacam populisme Islam. Boleh jadi kekuatan politik, seperti
parpol, tertentu memanfaatkan massa populisme Islam, tetapi itu tidak berarti
populisme Islam dapat mengarahkan politik parpol—jangankan lagi politik
Indonesia secara keseluruhan untuk kepentingan politiknya sendiri.
Secara historis, Islam Indonesia sejak masa
kedatangan dan penyebarannya yang masif mulai paruh abad ke-13 dan kemudian
masa kesultanan, Islam Indonesia submissif vis-a-vis kekuasaan sultan atau
raja. Pihak terakhir ini menjadi patron para ulama dan warga. Sultan atau
raja memberikan fasilitas untuk hidup tenang dan berkarya kepada ulama; dan
sebaliknya ulama memberikan dukungan, kesetiaan, dan legitimasi
politiko-relijius bagi sultan atau raja.
Itulah model hubungan yang berlaku antara
kedua belah pihak, yang dalam kajian akademik disebut patron-client
relationship. Dalam pola hubungan ini, konsep dan praktik bughat juga berlaku
yang tidak memberi tempat bagi pikiran dan praksis di luar kekuasaan semacam
populisme. Praktis tidak pernah ada bughat warga yang dipimpin ulama terhadap
kekuasaan politik Islam yang dipegang raja atau sultan.
Kemudian kolonialisme Belanda yang
mengakhiri kekuasaan politik Islam, menimbulkan perlawanan kaum Muslim yang
terjadi secara terpisah-pisah dari satu daerah ke daerah lain, sehingga dapat
ditaklukkan Belanda satu per satu melalui berbagai modus sejak dari
penaklukan militer sampai perjanjian berupa ‘plakat pendek’ atau ‘plakat
pendek’. Kesatuan ortodoksi Islam Indonesia dengan tradisi yang kian mapan
dalam praktiknya tidak berdaya menghadapi kolonialisme Belanda.
Ketidakberhasilan perlawanan ini kemudian
mendorong para ulama dan umat Islam melakukan uzlah—mengasingkan diri. Para
ulama dan pemimpin Muslim lain umumnya menjauhkan diri dari keterlibatan
dengan kekuasaan kolonial Belanda. Pemerintah kolonial pun membiarkan sikap
ini karena dengan begitu status quo kekuasaannya tidak terancam.
Para ulama umumnya dalam uzlah sebaliknya
memusatkan diri pada pendidikan dan dakwah internal. Dengan cara ini umat
Islam Indonesia dapat membangun lebih banyak masjid dan mushala; juga
pesantren, pondok, surau, dayah, dan kemudian sejak awal abad ke-20 madrasah
dan sekolah Islam, rumah sakit, panti asuhan, dan seterusnya.
Begitulah, dengan mengambil distansi dengan
kekuasaan kolonial, ulama dan umat justru berhasil membangun tradisi
kemandirian dari kekuasaan. Berbagai pranata dan lembaga Islam yang
disebutkan tadi dibangun secara mandiri tanpa bantuan kekuasaan.
Kemandirian ini, yang bertahan sampai
sekarang, merupakan salah satu distingsi utama Islam Indonesia. Dengan
begitu, Islam Indonesia menjadi terlalu besar untuk bisa dikooptasi kekuasaan
sejak masa kolonialisme Belanda sampai sekarang.
Dalam dinamika politik seperti itu sejak
masa kesultanan dan zaman penjajahan, kaum ulama Indonesia berhasil terus
mengonsolidasikan ortodoksi Islam Indonesia. Ada tiga aspek ortodoksi itu:
kalam Asy’ariyah, fikih mazhab Syafi’i, dan tasawuf al-Ghazali.
Ketiga aspek ortodoksi inilah yang
membentuk tradisi Islam Indonesia—tradisi Islam wasathiyah. Inilah Islam yang
berada di tengah; tidak ekstrem ke kiri atau ekstrem ke kanan. Inilah Islam
inklusif, Islam toleran yang bisa hidup berdampingan secara damai, baik intra
Islam maupun antaragama.
Islam wasathiyah menjadi prinsip dasar
ormas-ormas Islam yang mulai berdiri sejak dasawarsa awal abad ke-20. Lebih
berkonsentrasi dalam bidang dakwah, pendidikan dan penyantunan sosial,
ormas-ormas Islam yang merupakan arus utama
menjadi tulang punggung utama moderasi Islam Indonesia sampai
sekarang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar