Selasa, 23 Januari 2018

Pasangan Calon Pilkada 2018

Pasangan Calon Pilkada 2018
Aditya Perdana  ;  Direktur Pusat Kajian Politik FISIP UI
                                                      KOMPAS, 20 Januari 2018



                                                           
Pada 10 Januari 2018, semua provinsi dan kabupaten/kota yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah langsung telah menyelesaikan tahap pendaftaran calon secara serentak. Berdasarkan data yang tercantum dalam laman Komisi Pemilihan Umum (KPU) per 10 Januari malam, tercatat sebanyak 573 pasangan calon (paslon) mendaftar untuk bertarung di 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota. Dari data yang sudah dapat diakses oleh publik dengan baik, ada beberapa isu menarik yang diperhatikan, di antaranya jumlah paslon di setiap daerah, status pekerjaan, aspek jender, dan pola koalisi yang terbangun. Tulisan singkat ini ingin memberikan alasan dan argumen politik dari isu-isu tersebut.

2-3 paslon

Berdasarkan data sementara pencalonan, diperkirakan hanya ada 2-3 paslon yang berkompetisi di pilkada setiap wilayah pada Juni mendatang. Sebanyak 18 persen wilayah memiliki dua pasangan, 34 persen wilayah memiliki tiga paslon, dan 25 persen memiliki empat paslon. Sebanyak 7,6 persen wilayah, untuk sementara, akan diikuti oleh satu paslon alias calon tunggal. Apabila dibandingkan dengan periode pilkada sebelumnya (2017 dan 2015), terjadi peningkatan jumlah paslon tunggal, terjadi penurunan jumlah dua paslon, dan terjadi peningkatan jumlah tiga dan empat paslon.

Calon tunggal meningkat dikarenakan partai politik ingin mencalonkan kandidat yang populer dan disukai pemilih, seperti petahana. Sebaliknya, 3-4 calon yang diajukan di rata-rata wilayah belum tentu memiliki potensi kemenangan yang berbeda jika dibandingkan dalam pencalonan tunggal. Meski demikian, bagi elite partai politik, terutama di pusat, berkompetisi di setiap daerah tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dalam rangka persiapan Pemilu 2019 untuk melihat kesiapan mesin partai.

Sementara dalam pilihan jender, data tersebut menyatakan bahwa sebanyak 8,8 persen perempuan akan terlibat dalam pilkada pada tahun 2018. Sebanyak 6,1 persen perempuan terlibat di pemilihan gubernur, 7,4 persen perempuan mengikuti pemilihan bupati, dan 12,1 persen mengikuti pemilihan wali kota. Apabila dibandingkan dengan pilkada sebelumnya, Pilkada 2018 mengalami peningkatan jumlah perempuan lebih sedikit (tahun 2017 sebanyak 7,4 persen dan 2015 sebanyak 7,3 persen).

Meskipun dalam pemilu legislatif telah ditetapkan adanya langkah afirmatif terhadap kandidat perempuan dalam pencalonan, hal yang sama sulit diterapkan dalam pilkada. Artinya, kandidat perempuan di pilkada masih dianggap sebelah mata oleh elite partai politik laki-laki karena kurang modal finansial dalam kampanye dan juga potensi keterpilihannya rendah. Oleh karena itu, elite partai merasa bahwa kandidat perempuan dianggap bukan prioritas utama dalam pilkada saat ini.

Petahana, anggota Dewan, atau jenderal?

 Sejumlah 1.102 orang mencalonkan diri di 167 wilayah. Dari angka tersebut, sebanyak 19 persen adalah petahana yang mencalonkan diri dalam posisi yang sama ataupun posisi yang berbeda dan lebih tinggi daripada sebelumnya. Sementara para anggota DPR, DPRD provinsi, dan kabupaten/kota sebanyak 20 persen juga ikut mencalonkan dengan posisi yang beragam.

Sisanya adalah PNS dan swasta yang ikut terlibat dalam pencalonan ini. Lalu bagaimana aparat TNI/Polri? Di tahun ini, ada delapan perwira TNI dan tujuh aparat Polri yang mengikuti pilkada. Hal ini menunjukkan peningkatan apabila dibandingkan pada tahun lalu, hanya sebanyak dua orang dari TNI dan dua orang dari Polri.

 Data berbasiskan latar belakang pekerjaan ini menunjukkan beberapa hal penting. Pertama, para petahana adalah peserta yang dinantikan dan ditunggu oleh pemilih. Dengan demikian, wajar apabila para petahana ini memutuskan lanjut dalam kompetisi pilkada baik dalam mempertahankan posisinya saat ini maupun bergeser ke posisi yang lebih tinggi seperti gubernur.

Kedua, para politisi yang duduk di lembaga legislatif pun juga calon-calon yang diyakini akan mengikuti pertarungan pilkada. Selain memiliki ikatan batin dengan pemilih di daerah-daerah pemilihannya, pengetahuan dan keterampilan dalam tata kelola pemerintahan adalah modal penting yang sudah mereka kuasai.

Ketiga, para aparat pemerintah, baik militer maupun sipil, juga memutuskan untuk berkompetisi di pilkada ini. Sayangnya, para jenderal TNI/Polri yang masih aktif tersebut diyakini sudah bergerilya dalam memperkenalkan namanya di daerah beberapa bulan sebelum proses pencalonan di KPU berakhir.

Menguatnya poros koalisi

Banyak orang berpendapat bahwa pola koalisi dalam pilkada saat ini akan relatif sama dengan Pemilu 2014 dan juga bagian dari persiapan Pemilu 2019. Saya melihat terjadi penguatan poros koalisi yang dipimpin oleh PDI-P dan Gerindra di 24 provinsi yang sudah dan sedang melaksanakan pilkada. Sayangnya, poros koalisi di provinsi tersebut tidaklah konsisten.

Misalnya, Gerindra tidak selalu melakukan koalisi dengan PKS di semua provinsi yang ada; PDI-P pun juga demikian, tidak selalu dengan Hanura, Nasdem, PPP, ataupun Golkar. Delapan poros PDI-P dan lima poros Gerindra yang terbentuk dalam pilkada provinsi di 2015 dan 2017 hanya berhasil menang di tiga dan empat provinsi.

Pembentukan koalisi sebenarnya lebih mengedepankan hal yang pragmatis, yaitu soal kecukupan suara atau jumlah kursi yang disyaratkan oleh KPUD. Meskipun elite parpol mengedepankan aspek kedekatan program atau ideologis dalam interaksi awal pembentukan koalisi, pada akhirnya pembentukan itu hanya ingin memperhitungkan suara sebagai syarat tersebut.

Di luar isu-isu yang sebenarnya dapat dilihat dalam data dan angka statistik di sistem informasi pilkada dalam laman KPU RI tersebut, ada hal yang juga relevan dibicarakan, yaitu masih menguatnya calon dari dinasti politik dan orang kuat lokal. Siapa yang dimaksud dinasti politik? Paling tidak, saya mereferensikan mereka yang memiliki ikatan emosional dan kekerabatan dengan pejabat saat ini ataupun sebelumnya.

Sementara ”orang kuat lokal” (local strongmen) adalah kandidat yang memiliki afiliasi ataupun kedekatan politik dengan tokoh informal, klan, keluarga, ataupun komunitas tertentu di tingkat lokal. Paling tidak, ada 12 calon yang diidentifikasi dari dinasti dan 10 orang yang berafiliasi dengan orang kuat lokal. Fenomena ini, tampaknya, terus berlanjut dan dipelihara oleh elite politik nasional dan lokal karena memiliki potensi dalam kemenangan pilkada.

Inilah kiranya profil para paslon yang akan bertarung dalam Pilkada 2018. Kita akan terus memantau kiprah mereka dalam masa kampanye yang akan segera dimulai. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar