Hak
Imunitas Advokat
Rio Christiawan ; Dosen Hukum Universitas
Prasetya Mulya
|
REPUBLIKA,
19 Januari
2018
Hak imunitas pada profesi advokat
sebenarnya bukan hal yang baru lagi. Namun, yang menjadi menarik adalah
perkembangan dari hak imunitas itu sendiri.
Pada awalnya hak imunitas advokat mengacu
pada Pasal 16 Undang-Undang No 18 Tahun 2003 tentang Advokat bahwa advokat
tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun secara pidana dalam
menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk pembelaan klien dalam
sidang pengadilan.
Sebelum dilakukan perluasan ruang lingkup
oleh Mahkamah Konstitusi, berkaitan hak imunitas ini sudah terjadi beberapa
kasus dengan tafsir berbeda oleh majelis hakim. Dalam kasus mantan gubernur
Sulawesi Tenggara, Ali Mazi, yang sebelum menjabat gubernur merupakan seorang
advokat.
Ali Mazi pada saat itu merupakan kuasa
hukum dari PT Indobuild yang dalam rangka menjalankan profesinya turut serta
dilakukan proses hukum. Berbeda dengan gugatan Edino dkk yang salah satuanya
kepada mantan asosiasi kurator dan pengurus Indonesia yang menjadikan
imunitas sebagai dasar advokat tidak dapat dituntut ketika menjalankan
tugasnya.
Artinya, persoalan imunitas sejak lahirnya
UU Advokat hingga putusan Mahkamah Konstitusi adalah pada ruang lingkup
imunitas yang berlaku di sidang pengadilan saja atau berlaku juga di luar
sidang pengadilan. Putusan Mahkamah Konstitusi No 26/PUU-XI/2013 memberikan
perluasan ruang lingkup imunitas advokat sehingga menjadi advokat tidak dapat
dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya
dengan iktikad baik untuk pembelaan klien baik di dalam sidang pengadilan
maupun di luar sidang pengadilan. Artinya, sejak Putusan Mahkamah Konstitusi
nomor 26/PUU-XI/2013 advokat memiliki imunitas baik di dalam maupun luar
pengadilan.
Obstruction
of justice
Persoalan imunitas advokat berkembang pada
periode putusan Mahkamah Konstitusi sampai saat ini, yaitu persoalan
obstruction of justice yang sering dipersepsikan sebagai area yang beririsan
dengan peran advokat berikut hak imunitasnya. Obstruction of justice dapat
didefinisikan sebagai perbuatan pidana yang ditujukan ataupun yang berdampak
pada pemanipulasian, memutarbalikkan, dan mengacaukan kebenaran materiil dan
fungsi peradilan.
Dalam hal ini, imunitas advokat selalu
dibatasi oleh iktikad baik, yang didefinisikan dalam Penjelasan Pasal 16 UU
Advokat, yaitu yang dimaksud dengan iktikad baik adalah menjalankan tugas
profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan
klien.
Jika mengacu pada pemahaman di atas, justru
di antara obstruction of justice dan hak imunitas advokat memiliki kesamaan
unsur dalam irisannya, yakni adalah sama-sama memedomani dan memegang teguh
tegaknya hukum dan fungsi peradilan baik formal maupun materiil. Secara
logika, jika dua hal yang memiliki unsur sama bertentangan artinya bahwa ada
salah satu yang salah.
Menarik untuk mengamati seorang advokat
yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena obstruction of justice.
Obstruction of justice sudah dirumuskan dalam sebuah aturan hukum konkret
yang berlaku bagi semua orang secara objektif, sedangkan iktikad baik dalam
imunitas dapat dipandang dalam dua perspektif, yaitu yang bersifat subjektif
dan objektif.
Iktikad baik yang bersifat objektif dalam
hal ini adalah sebuah tindakan harus berpedoman pada norma kepatutan, yaitu
pada apa yang dianggap patut pada masyarakat. Dalam perspektif subjektif
artinya pada kejujuran dan sikap batin seorang advokat saat melakukan
tugasnya.
Menarik untuk menyimak berbagai argumen
yang disampaikan advokat yang ditangkap KPK karena obstruction of justice
mudah diverifikasi jika obstrasuction of justice dan iktikad baik telah
memiliki kesamaan, yaitu pada komitmen penegakan hukum. Obstruction of
justice adalah berlaku umum dan bersifat objektif sebagai suatu tindakan yang
telah dirumuskan dalam norma sehingga bisa diuji dengan komponen iktikad
baik, secara objektif maupun secara subjektif.
Secara objektif adalah apakah yang
dilakukan advokat tersebut dinilai memiliki kepatutan dalam masyarakat dan
secara subjektif apakah tindakan yang dilakukan advokat tersebut memiliki
kejujuran dalam praktik penegakan hukum mengingat dalam UU Advokat disebutkan
bahwa advokat adalah penegak hukum.
Amnesia
sosial
Fenomena yang terbaru adalah menggeser
imunitas kepada impunitas. Adapun impunitas sendiri menurut kamus adalah
pembebasan dari hukuman. Saat ini banyak argumen yang dibangun untuk
menciptakan amnesia sosial dengan melakukan represi terhadap memori sebagai
upaya untuk menghapus jejak kejahatan.
Amnesia sosial sendiri akan menciptakan
//chaos// dalam hukum, yaitu destruktif //chaos// yang menciptakan keadaan
ketidakteraturan hukum sehingga masyarakat tidak dapat lagi melihat secara
jeli dan hak imunitas advokat seakan akan dapat menjadi suatu pembenaran bagi
tindak pidana yang jelas jelas bertentangan dengan iktikad baik sebagaimana
dimaksud dalam penjelasan Pasal 16 UU Advokat.
Salah satu instrumen untuk menghindari
bergesernya imunitas kepada impunitas adalah dengan politik memori yang
menggunakan pendekatan merekam dan mengingat sebagai sebuah strategi kolektif
tentang bagaimana kebenaran yang objektif dapat diperoleh dengan menegakkan
keadilan.
Melawan amnesia sosial ini penting untuk
sebuah peradaban yang baik. Untuk melawan amnesia sosial yang mengakibatkan
chaos yang bersifat negatif yang hendak menggeser imunitas kepada impunitas
diperlukan pendekatan yang mampu mengingat semangat dari hak imunitas advokat
itu sendiri.
Hak imunitas diberikan kepada advokat
sehubungan dengan peran dan tugas advokat sebagai penegak hukum. Selanjutnya
obstruction of justice merupakan tindakan melawan hukum yang tentu saja tidak
memiliki iktikad baik sehingga bila obstruction of justice terjadi dan hak
imunitas berfungsi maka yang terjadi adalah impunitas.
Impunitas bukan hak yang dimiliki oleh
advokat sebagai penegak hukum. Namun, hak itu adalah imunitas. Hak imunitas
diberikan guna mendukung optimalnya peran dan tugas advokat dalam rangka
penegakan hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar