Pendidikan
Islam
di
Tengah Gesekan Pendidikan Sekuler
Faisal Ismail ; Guru Besar Pascasarjana
FIAI UII Yogyakarta
|
KORAN
SINDO, 19 Januari 2018
Pada mulanya kerajaan-kerajaan Kristen di
Eropa tidak memisahkan antara gereja (church) dan negara (state) . Pada masa
itu antara gereja dan negara masih terintegrasi.
Namun sejak Abad Pertengahan, di Barat
mulai terjadi proses pemisahan antara agama dan negara. Dominasi gereja yang
terlalu ketat terhadap urusan keduniawian dirasa kurang pas oleh masyarakat
Barat. Oleh karena itu masyarakat Barat mulai melepaskan diri dari dominasi
gereja. Sejak itulah sekularisme muncul yang dalam perkembangannya menjadi
pandangan hidup masyarakat Barat. Sekularisme dipahami sebagai ideologi dan
pandangan hidup yang memisahkan urusan duniawi dari urusan keagamaan.
Sekularisme bersaudara kembar atau
berpautan dengan westernisme (paham Barat). Barat adalah sekuler, sekuler
adalah Barat. Pendidikan Barat berwatak sekuler. Murid-murid di sekolah tidak
boleh berdoa di ruang kelas karena agama dipandang sebagai urusan pribadi
yang tidak boleh masuk ke ruang publik. Sains dan teknologi terlepas dari
nilai-nilai agama. Kemajuan di bidang teknologi kedokteran dan kebidanan
digunakan untuk melakukan aborsi yang memang dilegalkan di Barat. Sperma
lakilaki dapat diawetkan, disimpan di bank sperma, dan dapat dibeli oleh yang
membutuhkan untuk mendapatkan keturunan.
Dengan menggunakan kemajuan sains dan teknologi
yang canggih, sperma dan ovum dari pasangan tertentu (bisa pula bukan dari
pasangan yang bersangkutan) bisa dibuahi dan dititipkan kepada rahim wanita
lain yang disewa (sewa rahim). Nilai praktis dan pragmatis sains dan
teknologi lebih dikedepankan dan tidak lagi dipandang dari etika dan
nilai-nilai agama.
Haruskah
Melakukan Pembaratan?
Adalah benar tesis yang menyatakan bahwa
pendidikan adalah kunci kemajuan suatu bangsa. Kemajuan Barat (Amerika
Serikat dan negara-negara Eropa Barat) membuktikan tesis ini. Tapi apakah
untuk menjadi bangsa yang maju, suatu bangsa harus mencontoh dan menjadi
Barat dalam arti menerapkan sistem pendidikan sekuler Barat? Menurut saya,
untuk bisa menjadi bangsa yang maju, suatu bangsa tidak harus mencontoh
Barat, tidak harus menjadi Barat (melaksanakan westernisasi/ pembaratan), dan
tidak harus menerapkan sistem pendidikan sekuler Barat.
Buktinya di era keemasan peradaban Islam
(7-13 M), bangsa Arab-muslim jauh mendahului bangsa-bangsa Barat dalam
mencapai kemajuan di bidang sains, kebudayaan, dan peradaban. Bangsa-bangsa
Barat pada abad 7-13 M masih amat terpuruk dan belum melek ilmu pengetahuan.
Dari abad 7 M hingga 13 M sama sekali belum dikenal istilah
westernisme-westernisasi dan sekularisme-sekularisasi. Seperti diutarakan di
awal tulisan ini, istilah westernismewesternisasi dan sekularismesekularisasi
baru muncul pada Abad Pertengahan dan mencapai klimaksnya pada awal abad
ke-20 M.
Poin yang hendak ditekankan di sini adalah
pendidikan yang dibangun, dikelola, dan dikembangkan oleh bangsa-bangsa
muslim-Arab pada abad-abad itu berbasis agama (Islam). Fakta sejarah ini
secara terang-benderang menjelaskan bahwa tanpa menjadi Barat (tanpa
melaksanakan westernisasi/pembaratan) dan tanpa melaksanakan sekularisme- sekularisasi,
pendidikan yang dilaksanakan dengan kurikulum, sistem, dan program yang baik
dapat menciptakan kemajuan kebudayaan dan peradaban suatu bangsa. Contoh
konkretnya adalah Universitas Cordova di Spanyol pada masa Daulah Umayyah.
Banyak mahasiswa baik muslim maupun
kristiani berbondongbondong belajar secara serius di Universitas Cordova
untuk mempelajari, mendalami, dan menimba ilmu-ilmu keislaman dengan segala
disiplin, jenis, dan cabangnya. Universitas Cordoba memiliki daya tarik
tersendiri karena menawarkan program studi keilmuan yang memikat minat para
mahasiswa Barat yang pada masa itu memang haus akan ilmu pengetahuan.
Apalagi pada masa itu Universitas Cordova
meru-pakan universitas kelas dunia yang sangat amat terkenal di Eropa,
reputasi akademik dan program studinya sudah mengungguli Universitas Al-Azhar
(Kairo) dan Nizamiyah (Baghdad). Tentang Universitas Cordova ini Philip K
Hitti menyatakan: “Under him (al-Hakam II) the University of Cordova rose to
a place of preeminence among the educational institutions of the world. It
preceded both al-Azhar and Nizamiyah of Baghdad and attracted students,
Christians and Muslim, not only from Spain but also from other parts of
Europe .” (Di bawah pemerintahan Al- Hakam II [961-976 M], Universitas
Cordova meningkat menjadi suatu pusat yang terbaik di antara lembaga-lembaga
pendidikan di dunia.
Ia mengungguli baik Universitas Al-Azhar
maupun Nizamiyah di Baghdad dan menarik para mahasiswa, baik kristiani maupun
muslim, tidak saja dari Spanyol tetapi juga dari berbagai penjuru Eropa).
Tidak hanya mempelajari ilmu pengetahuan, tetapi para sarjana Barat juga
menjadikan Universitas Cordova sebagai model ideal pendidikan tinggi mereka
dengan cara mengadopsi sistem pendidikan tinggi, tradisi akademik, dan budaya
ilmiah yang berkembang di Universitas Cordova dan menggunakan buku-buku
filsafat dan kedokteran muslim sebagai bahan bacaan standar di
universitas-universitas Barat.
Dengan cara demikian, Barat mulai bangkit
dan secara bertahapmulaimemasuki masa Renaisans. Masa Renaisans inilah yang
menjadi mata rantai munculnya masa Aufklarung dan Enlightment di Barat
sehingga Barat menjadi modern dan canggih seperti kita saksikan dewasa ini.
Pendidikan
Indonesia dan Islam
Poin penting yang hendak ditekankan dengan
mencuplik fragmen sejarah di atas adalah suatu bangsa (tentunya termasuk
bangsa Indonesia) tidak harus mencontoh Barat, tidak harus menjadi Barat, dan
tidak harus menerapkan sistem pendidikan sekuler Barat untuk menjadi bangsa
yang maju dan canggih. Tentu, kita tidak harus anti-Barat. Kita mengambil
halhal positif dan baik dari Barat (juga dari Timur) untuk memperbaiki sistem
pendidikan kita (termasuk program dan kurikulumnya) dan untuk memperkaya ilmu
pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban kita.
Halhal yang tidak cocok dengan agama dan
pandangan hidup bangsa (Pancasila) sudah selayaknya tidak kita contoh dan
tidak kita ambil. Tepat sekali desain dan tujuan pendidikan Indonesia yang
telah dirumuskan dalam sistem pendidikan nasional (UU SPN) yang menyatakan:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
”Dalam Islam, pendidikan dan ilmu
pengetahuan tidak boleh dipisahkan dari agama. Islam menolak sekularisme dan
menolak sekularisasi pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam segala bentuk dan
manifestasinya. Dalam perspektif Islam, pendidikan sekuler bersifat berat
sebelah, hanya menekankan pengembangan intelek (akal), tetapi tidak memberikan
perhatian yang semestinya pada pengembangan spiritual. Sistem pendidikan
seperti ini sudah pasti terasa timpang dan pincang karena tidak menempatkan
manusia sebagai makhluk utuh yang punya unsur spiritual-moral dan
akalkecerdasan.
Hasilnya hanya menciptakan orang-orang
pandai, cerdas, terampil, dan cakap, tetapi spiritualitas-iman mereka kering
kerontang dan gersang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar