Menyandera
Verifikasi Parpol
Khairul Fahmi ; Dosen HTN;
Peneliti Pemilu Pusat
Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas
|
KORAN
SINDO, 19 Januari 2018
Pascaputusan MK Nomor 53/PUU-XV/2017,
tahapan verifikasi partai politik (parpol) peserta pemilu 2019 memasuki babak
baru.
Putusan yang menyatakan Pasal 173 ayat (3)
UU No 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 itu eksplisit memuat perintah agar
semua parpol calon peserta pemilu diverifikasi. Semua parpol, baik peserta
pemilu 2014 maupun parpol baru, mesti diperiksa kembali keterpenuhan
syaratnya sebelum ditetapkan sebagai parpol peserta pemilu 2019. Walaupun
demikian, pemerintah dan fraksi-fraksi di DPR justru hendak membelokkannya.
Dalam rapat konsultasi DPR, pemerintah dan penyelenggara pemilu dua hari lalu
diusulkan agar verifikasi faktual ditiadakan.
Untuk itu, seluruh fraksi di DPR
mengusulkan agar pengaturan tentang verifikasi faktual dalam Peraturan KPU No
11/2017 dihilangkan. Pada saat yang sama, verifikasi cukup dimaknai sebatas
penelitian administrasi yang sudah selesai dilakukan. Dengan begitu,
bengkalai verifikasi faktual tidak perlu lagi diselesaikan KPU. Seluruh
parpol yang sudah lulus penelitian administrasi sudah dianggap lulus
verifikasi dan langsung ditetapkan sebagai peserta pemilu.
UU
dan Putusan MK
Usulan memaknai verifikasi sebatas
penelitian administrasi jelas merupakan upaya pembangkangan terhadap hukum.
Usulan itu dibangun atas argumentasi bahwa UU No 7/2017 tidak mengatur
tentang verifikasi faktual dan MK tidak menegaskan ihwal verifikasi itu.
Dalil tersebut jelas tak lebih dari sekadar akal-akalan belaka. Pertama, UU
No 7/2017 memang tidak menyebut istilah verifikasi faktual sebagaimana pernah
digunakan dalam UU No 8/2012, tetapi hanya menggunakan istilah verifikasi.
Sesuai Pasal 174 dan Pasal 178 UU Pemilu,
verifikasi itu dilakukan dengan melaksanakan dua aktivitas, yaitu penelitian
administrasi dan penetapan keabsahan persyaratan. Penelitian administrasi
merupakan kegiatan yang berhubungan dengan pemeriksaan terhadap kelengkapan
persyaratan yang ditentukan undang-undang. Pada tahap ini, KPU sebatas
memeriksa apakah persyaratan yang ada sudah lengkap secara kuantitatif,
termasuk memeriksa syarat minimal jumlah anggota masing-masing parpol.
Selanjutnya, keterpenuhan syarat secara kuantitatif itu ditindaklanjuti
dengan melakukan pemeriksaan keabsahan syarat atau disebut juga dengan
verifikasi faktual.
Pada tahap ini, syarat-syarat yang ada
diperiksa kebenarannya. Pemeriksaan pada tahap inilah yang akan jadi
penilaian akhir menentukan apakah parpol calon peserta pemilu memenuhi syarat
atau tidak. Rangkaian penelitian administrasi (verifikasi administrasi) dan
penetapan keabsahan (verifikasi faktual) itu merupakan satu kesatuan tahapan
verifikasi. Apabila verifikasi hanya dimaknai sebatas penelitian administrasi
sebagaimana kehendak pemerintah dan DPR, maka penetapan keabsahan yang
diperintahkan UU Pemilu tentu tidak akan dilaksanakan. Dalam arti, perintah
UU akan di-abaikan atau disimpangi. Pengabaian dimaksud dipastikan akan
berdampak pada ditetapkannya parpol sebagai peserta pemilu, sekalipun belum
pernah dibuktikan keabsahan persyaratannya.
Kedua, putusan MK juga dianggap tidak menegaskan
keharusan verifikasi faktual. Apabila alasan ini benar adanya, maka hal itu
jelas sebuah kekeliruan besar. Dalam pertimbangan hukum, putusan No
53/PUU-XV/2017, secara eksplisit ditegaskan bahwa verifikasi faktual harus
dilaksanakan. Tepatnya, MK menyatakan, peraturan KPU yang terkait dengan
verifikasi parpol peserta pemilu harus mengatur secara lengkap mekanisme dan
teknis pelaksanaan verifikasi faktual terhadap semua persyaratan yang dimuat
dalam Pasal 173 ayat (2) UU Pemilu. Artinya, MK memerintah KPU agar mengatur
secara detail bagaimana verifikasi faktual dilaksanakan.
Bahkan, MK juga menyoroti masalah
verifikasi syarat kepengurusan parpol tingkat kecamatan yang sama sekali
tidak pernah dilakukan pada Pemilu 2014. Dalam pertimbangan hukum MK
dinyatakan, KPU juga harus mengatur dan melaksanakan verifikasi faktual
terhadap kepengurusan partai politik tingkat kecamatan. Lebih jauh
ditegaskan, mengabaikan verifikasi faktual atas semua persyaratan dimaksud di
samping kontradiksi dengan penyederhanaan jumlah parpol peserta pemilu, juga
sangat mungkin menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari. Dalam hal ini,
kehati-hatian penyelenggara untuk memastikan semua persyaratan dilakukan
verifikasi faktual begitu penting.
Dari pertimbangan-pertimbangan tersebut,
bagian mana sesungguhnya dalam putusan MK dimaksud yang dinilai tidak menegaskan
ihwal keberadaan verifikasi faktual sehingga hendak dibelokkan pula? Bukankah
alasan bahwa MK tidak menegaskan keberadaan verifikasi faktual hanyalah
sebatas argumentasi yang dibuat-buat untuk sekadar menghindar dari lorong
verifikasi faktual yang seharusnya dilewati?
Ujian
Kemandirian
Usulan fraksi-fraksi DPR untuk
menghilangkan ketentuan verifikasi faktual dalam peraturan KPU juga merupakan
bukti keengganan parpol untuk diverifikasi. Secara a contrario dapat
dipahami, berbagai alasan yang dibangun ketika melahirkan norma Pasal 173
ayat (3) UU Pemilu terkandung niat untuk tidak mau diverifikasi lagi. Parpol
di DPR ingin mengikuti pemilu tanpa perlu diverifikasi keterpenuhan
syaratnya.
Keengganan itu salah satunya dilatari
kekhawatiran tidak akan mampu memenuhi syarat yang diatur undang-undang. Hal
itu sangat logis, mengingat mayoritas parpol memang tidak mengelola
organisasisecara baik. Infrastruktur, kepengurusan, dan keanggotaan parpol
tidak terjaga secara baik dan berkesinambungan. Parpol hanya ada menjelang
pemilu dan tenggelam kembali ketika momen pemilu dan pilkada berlalu. Sikap
enggan untuk diverifikasi tersebut jelas merupakan kemunduran. Seharusnya,
proses verifikasi dijadikan momentum evaluasi bagi kemajuan organisasi
parpol. Bersamaan dengan itu, sarana bagi parpol untuk melakukan evaluasi ke
dalam terkait kekuatan dan kemampuan organisasinya.
Sementara bagi rakyat, proses verifikasi
merupakan jaminan bahwa suara yang akan mereka berikan dalam pemilu
betulbetul diserahkan kepada parpol yang mengurus organisasinya dengan baik.
Bila organisasi parpol saja tidak terkelola, bagaimana pula parpol akan dapat
mengelola negara dan kepentingan rakyat secara lebih luas. Di samping
merupakan kemunduran, masalah serius yang kemudian muncul dari keengganan itu
adalah upaya menyandera proses verifikasi faktual. Hal itu dilakukan dengan
menolak permintaan KPU memperpanjang waktu verifikasi atau tambahan anggaran
verifikasi.
Tanpa perpanjangan waktu atau tambahan
anggaran, sulit bagi KPU untuk menyelesaikan verifikasi faktual. Kesempatan
inilah yang dijadikan alasan untuk menyandera KPU agar tunduk pada keinginan
parpol di DPR. Bagaimana pun, KPU tidak boleh tunduk pada tekanan itu. Hukum
yang berlaku tidak boleh bertekuk lutut pada kepentingan jangka pendek
parpol. Permintaan untuk tidak dilakukan verifikasi faktual tidak beralasan
untuk dikabulkan. Lagi pula, bagaimana mungkin KPU menghentikan proses
verifikasi faktual terhadap parpol baru yang sedang berjalan dan langsung
menetapkannya sebagai peserta pemilu?
Ke mana “wajah” KPU hendak “disurukkan”
jika permintaan tidak logis itu dipenuhi. Oleh karena itu, satu-satunya jalan
yang harus ditempuh adalah melaksanakan verifikasi faktual terhadap semua
parpol. Dari aspek kelembagaan, usulan menghilangkan tahap verifikasi faktual
juga merupakan ujian kemandirian penyelenggara. KPU harus berjalan sesuai
hukum yang ada demi untuk menjaga kemandiriannya dan menjauhkan diri dari
perangkap ketidakmandirian. Jalan yang diusulkan fraksi-fraksi DPR adalah bom
waktu kematian independensi KPU. Bila tetap nekat menempuhnya, wassalam
kemandirian KPU. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar