Donald
Trump dan Yerusalem
Amidhan Shaberah ; Ketua MUI (1995-2015); Komnas HAM (2002-2007)
|
KORAN
SINDO, 21 Desember 2017
Donald Trump terhenyak. Ia
tak mengira keputusannya mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel memicu
kemarahan dunia. Teman dan musuh politiknya tiba-tiba bersatu, mengecam
kebijakannya yang blunderitu. Ya. Rabu (6/12) lalu, Presiden Amerika Serikat
Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Israel, kata Trump,
adalah negara berdaulat .
Karenanya, Israel bebas
menentukan di mana ibu kotanya. Dan Amerika mendukungnya. Keputusan Trump
Rabu kelabu itu langsung memicu reaksi dunia. Liga Arab mendadak mengadakan
pertemuan. Hasilnya: menolak pengakuan Trump perihal ibu kota Israel
Yerusalem tadi. Malah lebih jauh menyatakan bahwa Liga Arab mendukung
Yerusalem sebagai ibu kota Palestina.
Organisasi Konferensi
Islam (OKI), juga menyatakan hal sama. Menolak pengakuan Trump bahwa
Yerusalem adalah ibu kota Israel. OKI minta dunia internasional mengakui
Yerusalem sebagai ibu kota Palestina. Tak hanya Dunia Islam dan Arab yang
menentang keras keputusan Trump.
Pemimpin Gereja Katolik
Dunia di Vatikan, Paus Fransiskus, mengecam keras pernyataan sepihak
Washington. Paus menegaskan, Ge reja Katolik sedunia menolak bila Yerusalem
jadi ibu kota negara Yahudi, Israel. Kenapa? Karena Yerusalem merupakan
tempat suci bagi umat Kristen, Yahudi, dan Muslim. Kedudukan Yerusalem
sekarang, kata Paus, masih status quo.
Sampai ada perundingan
yang diakui kedua pihak , Israel dan Palestina. Penetapan status quo ini
penting untuk memberikan ruang perundingan yang ber jalan alot dan panjang
tentang kedudukan Yerusalem selama ini. Tapi, akibat keputusan sepihak Trump,
status quo itu terancam gagal. B ila AS tetap meng akui Yerusalem sebagai ibu
kota Israel secara sepihak , Rusia pun bisa bertindak sama .
Rusia meng akui Yerusalem
sebagai ibu kota Palestina . Hal yang sama dilakukan China. Jika itu terjadi,
dunia makin tegang. Dua kekuatan raksasa—masing-masing dengan sekutunya—akan
berhadapan. Kekerasan, bahkan perang global, pun bisa ter jadi. Indonesia
telah secara tegas menyatakan Yerusalem bukan ibu kota Israel.
Presiden Joko Widodo
sebagai pemimpin negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia telah
berjuang keras meng galang persatuan negara-negara Islam dan negara-negara
berkembang menolak keputusan AS tersebut. Untuk mengingatkan kita se mua:
Indonesia termasuk negara pertama yang mengakui kemerdekaan Palestina.
De kla rasi Negara
Palestina merdeka itu berlangsung 15 November 1988 di Aljazair. Sebagai wujud
dukungan kemerdekaan Pa les tina itu, pada 19 Oktober 1989 di Jakarta telah
ditan datangani “K omunike Bersama Pembukaan Hubungan Diplomatik“ antara
Menlu RI, Ali Alatas, dan Menlu Palestina , Farouq Kaddoumi. Saat itu
diresmikan pembukaan Kedutaan Besar Ne gara Palestina di Jakarta.
Duta Besar Palestina untuk
Indonesia menyerahkan Surat-Surat Kepercayaannya kepada Presiden Soehar to
pada 23 A pr il 1990. Sebaliknya , Pemerintah RI menetapkan bahwa duta besar
RI di Tunis merangkap sebagai dubes RI untuk Negara Palestina. Sejak 1 Juni 2004,
KBRI di Yordania merangkap sebagai KBRI di Palestina.
Sejak itu, melalui
berbagai for um, termasuk PBB, OKI dan GNB (Gerakan Nonblok), Indonesia
secara konsisten menyuarakan dukungan terhadap perjuangan bangsa Palestina
untuk memperoleh kemerdekaan dan kedaulatan penuh. Indonesia juga mendukung
Palestina men jadi anggota UNESCO— Organisasi Pendidikan, Keilmuan, d an
Kebudayaan PBB (31/10/2011).
Selama 2015 Indonesia
telah menjadi tuan rumah dua kon ferensi besar. Dalam konferensi itu,
dukungan terhadap Palestina disuarakan Indonesia. Pada KT T Asia-Afrika,
April 2015, di Bandung dalam rangka memperingati 60 Tahun Konferensi A
sia-Afrika (KAA) 1955, dihasilkan deklarasi khusus mengenai dukungan terhadap
kedaulatan Palestina.
Ke mudian pada Inter national
Conference on the Question of Jerusalem (14-15 Desember 2015) dan UN Civil
Society Forum on the Question of Palestine (16 Desember 2015) di Jakarta,
dukungan terhadap kemerdekaan dan kedaulatan Palestina dikukuhkan kembali.
Semua ini menunjukkan Indonesia selalu mendukung eksistensi Ne gara
Palestina.
Jakarta pun, secara
diplomatis, selalu mengarahkan dunia internasional untuk mengakui Yerusalem
sebagai ibu kota Pales tina. Usaha keras Indonesia untuk mengarahkan dunia in
ter na sional mengakui Yerusalem se bagai ibu kota Palestina nyaris sia-sia
jika AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Soalnya , betapa pun besar
kecaman dunia terhadap Washington, sejarah menunjukkan AS sebagai negara
super power tetap punya pengar uh besar, baik terhadap aliansi strategisnya
(seperti Eropa Barat, Australia, dan Jepang ), maupun terhadap badan-bad an
dunia lain. Ingat, AS punya hak veto di Dewan Keamanan (DK) PBB, sehingga
bisa menganulir ke putusan DK PBB apa pun bentuknya.
Termasuk mengakui
kemerdekaan Palestina dengan ibu kota Yer usalem. Dari perspektif inilah kita
bisa menger ti munculnya aj ak an boikot produk-produk Amerika. Dr Reni
Marlinawati, Ketua Fraksi PPP DPR RI, misal nya, menyerukan rakyat dan Pe
merintah Indonesia memboikot produkpro duk AS. Be tul, seandainya dunia mem
boikot produk-produk industri AS, negeri itu akan kelimpungan.
Perekonomiannya bisa ambruk.
Tapi, mungkinkah mem
boikot ekonomi AS? Inilah yang harus kita pikirkan serius. Di saat ekonomi
dunia sudah “saling-kait-mengait” memang sulit mengidentifikasi mana produk
Amerika murni; mana produk Amerika hasil kerja sama dengan negaranegara lain.
Mes ki demikian, kalau dunia sepakat untuk memboikot produk-produk Amerika,
niscaya tetap ada hasilnya.
Paling tidak, AS akan
merasakan betapa buruknya keputusan Tr ump yang mengakui Yerusalem sebagai
ibu kota Israel. Minggu (16/12), umat Islam melakukan demo raksasa untuk
menolak keputusan Trump di lapangan Monas, Jakarta. Menariknya, tak hanya
umat Islam yang ikut demo di Monas, tapi seluruh umat beragama.
Ini karena umat manusia
menganggap keputusan Tr ump sebagai skandal peradaban d an kemanusiaan. Mana
mungkin manusia yang menetap di tanah airnya (Palestina) selama berabadabad,
tiba-tiba diusir untuk memberikan tempat kepada diaspora Yahudi yang ada di
seluruh dunia. Tragisnya , negeri yang basisnya diaspora orang Yahudi itu
didukung kekuatan adikuasa Amerika dan Inggris.
Mereka menganggap pemilik
tanah Pa lestina yang sebenarnya adalah orang Yahudi. Akibatnya, pen du duk
asli Palestina diusir. Di pe rangi. Dibunuh. Dibantai. Hak-hak hidup orang
Palestina dan peradabannya dihancur kan. Itulah yang kini sedang dibela di
Monas.
Seluruh rakyat Indonesia
berkumpul untuk mengecam dan menolak keputusan Donald Trump yang secara terang-terangan
melakukan skandal kemanusiaan dan peradaban di Palestina. Aneh memang. Di
dunia yang online, di mana setiap kejadian di muka bumi bisa ditampilkan di
jagat maya secara real time, masih saja ada pihak-pihak tertentu yang tanpa
malu bersembunyi di balik kenyataan.
Trump salah satunya.
Ketika ekonomi Amerika terpuruk. Pengangg uran melambung. Popularitas
terjatuh. Tiba-tiba Trump mengumumkan Washington akan mengalihkan kedubesnya
di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem. Harapannya , nama Trump terkerek. Yang
terjadi seba liknya. Namanya makin jatuh. Di dalam negeri nama Trump
terpuruk.
Di luar negeri, lebih pa
rah. Bahkan jadi musuh bersama. Musuh manusia yang peduli kemerdekaan,
perdamaian, keadilan, dan kese jahteraan. Keputusan Trump mengakui Yerusalem
sebagai ibu kota Israel niscaya memicu gelombang protes yang sangat-sangat
besar di seluruh dunia. Karena di balik keputusan itu, Trump sedang menghina
sejarah dan peradaban manusia.
Dam paknya, Trump menjadi
paria politik internasional. Sayangnya, Trump tak akan peduli dengan semua
itu. Kecuali ia masuk pusaran kesadaran yang datang dari langit. Tapi mana
mungkin Trump bisa seperti itu? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar