Pancasila
dan Tantangan Zaman
Eko Sulistyo ; Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi
Informasi
Kantor Staf Presiden
|
KORAN
SINDO, 31
Mei 2017
Pancasila adalah konsensus nasional yang menyatukan
Indonesia yang majemuk menjadi satu ikatan bangsa bernama Indonesia. Para pendiri bangsa yang merumuskan
Pancasila menyadari bahwa Indonesia memiliki ribuan pulau, ratusan bahasa,
suku, dengan tradisi budayanya yang beragam. Untuk itu, diperlukan landasan
bernegara yang bisa diterima semua pihak. Dengan demikian, Pancasila selain
menjadi dasar dan falsafah negara sekaligus alat pemersatu bangsa. Selain
itu, Pancasila juga menjadi “roh” penggerak bangsa Indonesia dalam menapaki
setiap tantangan zaman.
Dalam menghadapi tantangan ini, nilai-nilai ideal yang
terkandung dalam kelima sila Pancasila harus menjadi realitas bangsa. Sebagai
penggagas Pancasila, Soekarno sendiri pernah mengatakan, Pancasila baru akan
menjadi realitas dengan “perjuangan, perjuangan, dan sekali lagi perjuangan.”
Perjuangan itu akan berlanjut terus dalam Indonesia merdeka sebagai sebuah
bangsa. “Nanti kita ber sama-sama sebagai bangsa yang bersatu padu, berjuang
terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan dalam Pancasila” (Soenardi,
1978).
Untuk itu, Pancasila adalah ruang yang hidup dan dinamis
dalam merespons tantangan zaman. Sebagai ruang hidup, Pancasila mempunyai
sejarah dan proses penerimaan yang dinamis di antara warga negara. Proses
dinamis yang menye - jarah ini akan terus berlangsung selama Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) berdiri.
Konsensus Bangsa
Pancasila juga dapat di ang - gap sebagai konsensus bangsa
untuk memperjuangkan lima agenda pokok visi kebangsaan. Di mana nilai-nilai
funda men - tal yang positif dari ideologi modern diakomodasi seperti keadilan
sosial, HAM, kesetara - an, persatuan bangsa, demo - krasi, serta paham
religiusitas.
Dalam konteks ini, Pancasila dapat dikatakan kristalisasi
semua ideologi bagi panduan bangsa Indonesia melintasi tantangan zaman.
Sementara upaya menuju nilai ideal kelima sila Pancasila adalah sebuah proses
sejarah panjang bangsa Indonesia yang terus berlangsung sampai hari ini.
Karena itu, Pancasila terus berproses secara dialektis antara manusia
Indonesia dan ide Pancasila di setiap kurun zaman. Tulisan Yudi Latief,
“Soekarno sebagai Penggali Pancasila” dapat membantu kita memahami visi
Pancasila sebagai pokok-pokok moralitas dan haluan kebang sa - an di setiap
sila yang ada (Yudi Latief, 2013).
Dalam sila pertama Pancasila adalah nilainilai ketuhanan
sebagai sumber etika dan spiritualitas kehidup - an bernegara. Sebagai negara
yang dihuni multiagama dan ke - yakinan, negara harus melin d - ungi dan
mengambil jarak yang sama terhadap semua agama/ keyakinan. Nilai-nilai sila
kedua Pan ca - sila adalah “prinsip kebang sa - an” yang mengarah pada per -
sau daraan dunia. Keluar, bang - sa Indonesia akan ikut dalam ketertiban
dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Ke da - lam, bangsa Indonesia meng - akui dan memuliakan
hak-hak dasar warga negaranya. Sila ketiga dari Pancasila menyatakan bahwa
Indonesia adalah negara persatuan ke - bang saan yang mengatasi pa - ham
golongan dan perse orang - an. Persatuan dari kebinekaan masyarakat
Indonesia, yang memberi ruang hidup bagi aneka perbedaan agama/ keyakinan,
budaya, bahasa, dan suku bangsa. Pada sila keempat Pancasila dapat dianggap
sebagai per - wujudan kedaulatan rakyat. Dalam prinsip musyawarah mufakat
keputusan tidak di - dikte oleh golongan mayoritas atau kekuatan minoritas
elitepolitik dan pengusaha. Semen - tara sila kelima Pancasila dapat dibaca
bahwa bila empat sila dijalankan akan melahirkan ke - adilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila adalah Masa Depan
Menjadikan Pancasila se - bagai “realitas” bangsa jelas
tidak mudah. Dinamika politik sangat memengaruhi bagai - mana Pancasila
ditafsirkan dan dijalankan. Era Presiden Soekarno, penafsiran Pancasila
dianggap sebagai alat mem per - satukan bangsa untuk meng - hantam apa yang
disebutnya bahaya neokolonialisme dan neoimperialisme (Neokolim).
Pada zaman Presiden Soeharto, Pancasila dijadikan
“ideologi negara” untuk mem - benarkan kekuasaan politik otoritarianisme.
Sementara era reformasi setelah Soeharto (1998), Pancasilaseperti“rumah megah
yang kosong” yang di - ting galkan para penghuninya. Lalu bagaimana kita
menem - patkan Pancasila dalam tan - tang an zaman saat ini? Dalam konteks
global saat ini, banyak ideologi-ideologi seperti komunisme, liberal - isme,
sosialisme, nasionalisme, bahkan spiritualisme meng - alami krisis dan
kehilangan legitimasi.
Ketika ideologi-ideologi besar itu dianggap gagal, maka
pencarian ideologi menemukan dirinya pada cara yang ekstrem, antikemanusia -
an dan antiperadaban. Masya - ra kat yang putus asa lalu meng - gantungkan
harapan dan masa depannya pada “monster po - litik” antiperadaban. Seperti
ISIS di Suriah dan Irak. Bagi kelompok ini, masa depan umat manusia jalan ke
- luarnya adalah dengan ekstre - mitas dalam menafsirkan agama, bila perlu
dengan mem bunuh, membasmi umat manusia yang tak sepaham. Ironisnya, se bagi
- an dari anak bangsa termakan ideologi ini. Bahkan ada yang mencoba
menerapkannya di Indonesia.
Bangsa Indonesia patut ber - syukur bahwa pada masa lalu
para pendiri bangsa sudah men - ciptakan Pancasila sebagai “ideo - logi
alternatif” yang visioner. Dengan Pancasila, ketika ideo - logi besar bertum
bangan dan mengalami krisis, kita tidak perlu mencari lagi ideologi alter
natif. Sebab, Pancasila adalah ideologi masa depan yang sudah ada pada masa
lalu dan masa kini. Dalam menghadapi krisis ideologi besar saat ini, yang
perlu dilakukan adalah me wujud kan nilai-nilai yang ada dalam Pancasila
menjadi realitas.
Per - juangan itu harus dimulai dari dalam diri bangsa
kita sendiri. Seperti disampaikan Presiden Jokowi dalam sebuah kesem - patan,
“Pancasila harus menjadi ideologi yang bekerja, yang ter - lembagakan dalam
sistem, dalam kebijakan baik di bidang ekonomi, politik, maupun sosial
budaya”. Karena itu, ide Presiden Jokowi menggagas Unit Kerja Presiden untuk
Pemantapan Ideologi Pancasila adalah hal yang patut didukung. Presiden merasa
Pancasila makin men - jauh, tidak hanya dalam hati dan pikiran, tapi juga
aktivitas warga negara.
Sementara ancam an intoleransi, kekeras - an atas nama
agama, terorisme bisa mengganggu ketertiban sosial. Namun, pemerintah tidak
perlu mengulangi cara Orde Baru menjadikan Pancasila se - bagai
indoktrinisasi untuk men dukung kekuasaan. Panca - s ila harus menjadi
nilai-nilai kewarganegaraan yang dijalan - kan secara konkret dalam ke -
hidupan sehari-hari.
Pancasila harus bermakna bagi petani, buruh, perempuan,
kaum miskin, intelektual, dan ekonomi rakyat. Akhirnya, masa depan Pancasila
tidak bisa hanya tergantung pada negara dan pemerintah. Pancasila harus
menjadi realitas yang mampu menjawab tantangan kehidupan masyarakat secara
nyata. ●
|
(Mohon maaf, karena
proses edit belum diselesaikan )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar