THR
Samuel Mulia ;
Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di
Kompas
|
KOMPAS,
03 Agustus 2014
TIGA huruf di atas itu sungguh menjadi tiga huruf kecintaan saya
setiap tahun. Apalagi setelah mendapatkan THR, masih dilanjutkan dengan
gajian. Saya tak membayangkan mereka yang berpenghasilan di atas seratus juta
rupiah per bulannya.
Tetapi beberapa bulan yang lalu, saya disodori sebuah pertanyaan
oleh nurani saya sendiri. Apa makna THR buat saya? Saya itu suka kesal sama
nurani saya sendiri. Terlalu bawel.
Bayar utang
Beberapa karyawan di perusahaan saya yang tidak merayakan hari
raya Idul Fitri, telah mengajukan permohonan agar mereka boleh menerima THR
yang seyogianya mereka terima pada bulan Desember, yang masih lima bulan lagi
untuk dijalani. Di ruang rapat saya bertanya, apa alasan mereka mengajukan
permohonan itu. Salah satu dari mereka memberi alasan seperti ini. ”Istri saya sudah lama pengen beli kamera,
Mas.”
Kalau melihat kepanjangan dari THR yaitu tunjangan hari raya,
maka THR adalah sejumlah dana yang ditujukan untuk dipergunakan menunjang
hari raya. Dengan IQ jongkok ini, saya mengartikan menunjang hari raya itu,
yaaa...menunjang segala sesuatu yang berhubungan dengan keperluan hari raya.
Dan hal yang terpenting adalah menunjang sesuatu yang diperlukan, bukan
sesuatu yang diinginkan.
Nah, kalau mengambil contoh alasan karyawan saya di atas, maka
penjelasan macam ”sudah lama pengen beli kamera” itu, bukan sebuah hal untuk
menunjang hari raya. Kalaupun kamera bisa digunakan untuk mengabadikan momen
istimewa itu, alasan karyawan saya itu bukan untuk tujuan mengabadikan hari
raya.
La wong keinginan memiliki kameranya sudah sejak lama ada,
bahkan jauh sebelum hari raya tiba. Berarti sudah lama direncanakan untuk
dibeli, dan ia melihat THR bisa menjadi sebuah alat untuk memenuhi apa yang
diinginkan, dan bukan yang dibutuhkan.
Sementara itu, salah satu teman saya malah menggunakan dana THR
untuk membayar utang. ”Paling enggak
buat ngurangin utang kartu kredit gue ....” Meski hanya mendengar dari
dua mulut saja, THR bisa digunakan untuk sebuah tujuan yang melenceng jauh
dari tujuan utamanya.
Dalam THR terkandung kata hari raya. Artinya hari yang dimaknai
setiap agama sebagai hari istimewa, dan yang memaknainya adalah umatnya yang
memercayai ajaran agama tersebut. Kemudian melintas lagi sebuah pertanyaan.
Begini.
Memberi nilai
Bagaimana kalau seseorang berkata bahwa ia tidak memercayai
ajaran agama apa pun, sehingga merayakan hari raya tak pernah ada di dalam
agendanya, apakah ia masih berhak menerima THR? Apa perlunya menunjang
mereka?
Apakah hanya karena kolom agama di KTP-nya terisi, ia berhak
menerima itu? Apakah seyogianya, yang bersangkutan dengan besar hati untuk
menolak saja tunjangan itu, sehingga ia menjadi contoh manusia yang fair, dan
bukan hanya mau seenaknya saja?
Saya sungguh tak mengerti dan tak bisa menjawabnya. Pertanyaan
itu hanya menari-nari di benak saya sampai mumet rasanya. Kemudian saya malah
KO sendiri karena nurani saya mulai menyinggung cara saya hidup gara-gara
THR.
Nyaris tiga puluh tahun saya bekerja sebagai profesional. Digaji
dan menerima THR selama nyaris tiga puluh tahun itu. Selama masa panjang itu
saya menerima THR dengan riang gembira, dan menggunakan THR itu untuk
memenuhi banyak keinginan yang tak berhubungan dengan hari raya.
Selama masa itu saya hanya menerima THR, tanpa pernah merasa
risau bagaimana saya hidup. Bagaimana saya mengeksekusi apa yang saya
percayai dalam hidup sehari-hari.
Dalam dunia kerja dan di luar dunia itu, saya ini pun bukan
contoh yang baik. Apalagi menunjang kebutuhan orang lain, wah...itu jarang
sekali saya lakukan. Saya menolong atau menunjang kalau sedang lagi ada
maunya.
Selama ini saya berpikir bahwa THR itu hanya sejumlah dana yang
diberikan sebagai kewajiban sebuah perusahaan kepada karyawannya. Saya ini
tak pernah merasa bahwa pemberian THR itu sejujurnya sebuah penilaian atas
bagaimana saya hidup.
Sebuah penilaian yang harusnya dilakukan diri sendiri dengan
menggunakan nurani terhadap apa yang selama ini saya perbuat. Baik terhadap
sesama manusia dan kepada Sang Kuasa yang setiap hari memberi napas hidup.
Napas yang acapkali saya salah gunakan. Malas ke rumah ibadah
tetapi rajin ke mal, napas untuk berselingkuh, menipu, menjahati manusia,
menjatuhkan, untuk membiarkan iri hati merasuk ke dalam hati, dan yang
digunakan untuk berucap, tiada maaf bagimu.
Tunjangan hari raya itu seyogianya memberikan makna dalam bentuk
sebuah keberanian untuk menyodorkan dua pertanyaan kepada diri sendiri. Sudah
sepantasnyakah saya ini menerima THR? Dan kualitas manusia macam apakah yang
akan saya capai setelah menerima THR untuk kesekian kalinya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar