Rasa Salah, Rasa
Malu, dan Pemanfaatan Diri
Kristi Poerwandari ;
Kolumnis “Konsultasi
Psikologi” Kompas
|
KOMPAS,
03 Agustus 2014
Bulan Ramadhan dan hari raya Lebaran memberi kita kesempatan
untuk berefleksi, meningkatkan kualitas diri, dan memperbaiki hubungan dengan
orang lain, melalui ketulusan saling meminta dan memberi maaf.
Sebenarnya meminta dan memberi maaf itu bukan hanya terkait
dengan orang lain. Hal yang juga sangat penting adalah bicara mengenai
pemaafan diri. Apa hubungan antara rasa salah, rasa malu, dan pemaafan? Lebih
sulit manakah, memaafkan diri sendiri atau memaafkan orang lain? Apa bedanya
orang yang merasa bersalah dan kemudian memaafkan diri sendiri dengan orang
yang sebenarnya tidak merasa bersalah dan mencari-cari alasan untuk
membenarkan tindakannya?
Terkadang kita tidak dapat lepas dari situasi di mana kita
merasa sangat sulit untuk memaafkan diri. Dalam situasi seperti itu,
tampaknya ada dua perasaan dominan, entah rasa salah, atau rasa malu. Mungkin
kita merasa bersalah atas tindakan kita, misal berbohong, marah secara kasar,
melukai hati orang lain. Bisa jadi kita merasa malu karena gagal
mempertahankan perkawinan, kalah bersaing, lepas kendali saat marah, tidak
mencapai karier yang dicita-citakan.
Kedua perasaan itu dekat, tetapi berbeda. Bukan tidak mungkin,
kedua perasaan itu bertumpukan. ”Bersalah” adalah perasaan buruk mengenai
”apa yang sudah kulakukan” (aku melakukan tindakan menipu). Sementara itu,
”malu” adalah perasaan buruk mengenai ”who
I am”, mengenai diriku, sesuatu yang mendasar tentang diri sendiri (kok
bisa-bisanya aku menipu, betapa buruknya aku, aku tidak mampu menatap diriku
sendiri).
Pemaafan diri palsu
Tampaknya rasa ”malu” lebih kompleks daripada rasa ”bersalah”.
Apabila bersalah lebih mudah dilokalisasi pada suatu tindakan tertentu, malu
sudah bicara mengenai diri sebagai suatu keutuhan, jati diri, sebagai suatu
eksistensi. Bisa jadi memang ada tindakan khusus kita yang membuat kita
merasa sangat malu. Atau ada hal di luar diri, atau dilakukan/terjadi pada
orang lain yang membuat individu malu karena mengacaukan konsepnya tentang
diri sendiri. Apabila orang yang saya taksir lebih tertarik pada orang lain,
saya dipermainkan orang, atau yang saya capai jauh di bawah yang saya tuntut
terhadap diri sendiri, saya mungkin merasa malu dengan keutuhan eksistensi
diri saya.
Rasa malu dapat mengguncang diri, menjadi suatu situasi yang
mungkin memerlukan pemaafan, tetapi pemaafan diri itu bukan hal mudah untuk
dilakukan. Karena itu, bukan tidak mungkin manusia masuk dalam situasi
”pemaafan diri yang palsu”, oleh beberapa tokoh, misal Fisher dan Exline,
2006; Hall dan Fincham, 2005, disebut pseudo
self-forgiveness. Jika kita merasa bersalah atau malu, barangkali kita
menghindari emosi-emosi negatif mengenai diri dan akuntabilitasnya dengan
mengembangkan proses-proses defensif, seperti mengingkari tanggung jawab,
meminimalkan kesalahan, mencari pembenaran tindakan, atau memindahkan
penjelasan buruk ke luar diri.
Situasi di atas dapat membawa kita masuk dalam ”pemaafan diri”,
atau mungkin lebih tepatnya, langkah pembenaran diri, tanpa atau sebelum ada
kesadaran bahwa kita sungguh-sungguh bersalah. Ini juga dapat memunculkan
bahaya karena kita akan mudah melakukan lagi tindakan salah yang pernah
dilakukan, tidak memperbaiki tindakan, dan tidak bertumbuh lebih baik secara
moral.
Manusia secara otentik memaafkan diri, ketika sadar telah
melakukan kesalahan, merasa buruk mengenai hal itu, kemudian melakukan
langkah-langkah sadar untuk mengembangkan perasaan lebih positif mengenai
diri dengan (a) mengakui telah melakukan kesalahan; (b) berupaya menerima
yang telah terjadi sebagai hal tidak terhindarkan; dengan sekaligus (c)
mengembangkan penerimaan, belas kasih dan perasaan sayang terhadap diri
sendiri.
Memaafkan untuk
menumbuhkan diri
Proses memaafkan diri yang utuh berjalan dalam beberapa tahapan
(Enright et al, 1996). Pertama,
wajar jika di awal ada pengingkaran atau kegagalan menyadari telah ada
tindakan buruk yang dilakukan. Ini analog dengan ”pemaafan diri palsu” yang
telah kita bahas. Yang sehat adalah jika penghayatan berlanjut ke tahapan
berikut, yakni manusia menyadari tindakan buruknya dan mengambil tanggung
jawab atas hal itu.
Ketika manusia menyadari tindakannya yang tidak pantas, salah,
atau buruk, dengan sendirinya ini akan membawa pada reaksi-reaksi ”merasa
buruk tentang diri”, kesulitan memaafkan diri. Ada perasaan bersalah, malu,
marah pada diri sendiri. Ada ingatan berulang akan kejadian spesifik yang
memunculkan rasa bersalah atau rasa malu itu, dan kata-kata atau penilaian
buruk yang terarah pada diri. Mungkin terjadi bahwa orang tidak bersedia
menjalani proses yang sulit ini, tidak bersedia mengambil tanggung jawab
untuk melalui perjalanan pemaafan yang sesungguhnya, dan memilih terjebak
dalam pengingkaran, tidak berjalan maju menuju pemaafan diri yang otentik.
Sementara itu, yang terjadi pada individu yang lebih sehat
adalah ia berani mengambil tanggung jawab menghayati perasaan-perasaan buruk
tentang diri, untuk kemudian memprosesnya sedemikian rupa sehingga tidak
berhenti pada penyalahan diri dan penghukuman. Ia tidak menggampangkan
persoalan dengan mencari pembenaran, tetapi mencoba menemukan konteks untuk
menjelaskan pada dirinya sendiri bahwa hal tersebut terjadi dalam konteks dan
bahwa ia bukan manusia sempurna.
Maka di samping mengakui kesalahan, individu sekaligus menemukan
kembali kasih sayangnya kepada diri sendiri. Rasa salah, rasa malu, dan
proses untuk sampai pada pemaafan diri akan membawanya menemukan pembelajaran
baru dari apa yang terjadi mengenai situasi, orang lain, maupun diri sendiri.
Semoga itulah yang terjadi pada kita. Selamat merayakan Lebaran, mohon maaf
lahir batin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar