Taji
Polisi Lembaga Keuangan
W Riawan Tjandra ; Dosen Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
|
SUARA
MERDEKA, 25 Agustus 2014
“Kepercayaan dan keyakinan pasar terhadap
lembaga pengawas merupakan komponen utama good governance”
OTORITAS Jasa Keuangan (OJK) kini makin
menunjukkan taji. Mereka memulai dari menata sistem penawaran jasa finansial
lewat telepon sampai memproteksi nasabah jasa asuransi dengan cukup efektif,
dalam usianya yang masih muda. Latar belakang kelahiran ’’polisi’’ lembaga
keuangan bank dan nonbank itu tak bisa dilepaskan dari krisis finansial yang
berulang melanda sektor jasa keuangan negeri ini. Hampir selalu pada masa
pergelaran politik, ada bank mengalami krisis.
Kasus Bank Century merupakan salah satu contoh
bank gagal yang terjadi pada masa pergelaran politik. Sebelumnya terjadi
kasus BLBI, dan nyaris kembali terjadi hal serupa sewaktu muncul wacana akuisisi
BTN. Kehadiran OJK, yang menggantikan peran BI, dalam sistem tata kelola
keuangan di Indonesia (finance
governance) memberikan harapan positif terhadap upaya penguatan sektor
jasa keuangan
Kehadirannya bahkan bisa memenuhi fungsi
mewujudkan stabilitas ekonomi sebagaimana diatur Pasal 4 UU Nomor 21 Tahun
2011, regulasi yang berlaku mulai 1 Januari 2013. Lembaga keuangan nonbank
yang diawasi oleh OJK adalah asuransi, dana pensiun, bursa efek/pasar modal,
modal ventura, perusahaan anjak piutang, reksadana, serta perusahaan
pembiayaan, dana pensiun dan asuransi.
Krisis keuangan di Asia merupakan implikasi
kelemahan kualitas sistem keuangan di benua itu. Pada Juli 1997, Indonesia
mulai terkena dampaknya karena struktur ekonomi nasional masih lemah untuk
menghadapi krisis global. Kurs rupiah terhadap dolar AS melemah pada 1
Agustus 1997 yang diikuti penutupan 16 bank bermasalah oleh pemerintah pada
November 1997.
Kemudian, pemerintah dan BI membentuk Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) guna mengawasi 40 bank bermasalah
lainnya. Selain itu, mengeluarkan beleid Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI) untuk membantu beberapa bank bermasalah. Namun kebijakan itu tidak
berjalan efektif karena dana bantuan disalahgunakan oleh sejumlah pihak.
Hal itu memperburuk citra perbankan dan sistem
pengawasan perbankan yang waktu itu dilakukan BI. Krisis ekonomi 1997-1998
yang dialami Indonesia mengharuskan pemerintah membenahi sektor perbankan
dalam rangka stabilisasi sistem keuangan dan mencegah terulangnya krisis.
Namun tahun 2008, kasus serupa kembali terjadi
pada Century, hasil merger antara Bank CIC, Pikko, dan Danpac. Sebagai
pengawas bank, BI mengizinkan merger tersebut meskipun terdapat pelanggaran
administratif. Beberapa kasus tersebut memberikan sinyal bahwa fungsi
pengawasan yang dilakukan BI masih memiliki sejumlah kelemahan. Hal itulah
yang mendorong pemerintah membentuk OJK, institusi independen yang diberi
atribusi wewenang mengawasi sektor jasa keuangan bank dan nonbank.
Meskipun latar belakang pembentukannya tak
selalu sama, cukup banyak negara membentuk institusi semacam OJK untuk
melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor keuangan secara terpadu.
Memang ada beberapa faktor yang memicu dilakukannya perubahan terhadap
struktur kelembagaan pengawas jasa keuangan.
Konglomerasi Keuangan
Pertama;
kemunculan konglomerasi keuangan dan awal penerapan universal banking
di banyak negara. Kondisi ini menyebabkan regulasi yang didasarkan atas
sektor menjadi tidak efektif karena terjadi kesenjangan antara regulasi dan
supervisi. Kedua; stabilitas sistem keuangan telah menjadi isu utama bagi
lembaga pengawas yang awalnya belum memperhatikan stabilitas sistem keuangan,
dan mereka mulai mencari struktur kelembagaan yang tepat untuk meningkatkan
stabilitas sistem keuangan.
Ketiga; kepercayaan dan keyakinan pasar
terhadap lembaga pengawas menjadi komponen utama good governance. Dalam
konteks untuk mengakselerasi keterwujudannya pada lembaga pengawas jasa
keuangan, banyak negara merevisi struktur lembaga pengawas jasa keuangannya.
Adapun kewenangan yang diatribusikan kepada
OJK sebagaimana terdapat pada Pasal 7, 8 dan 9 UU Nomor 21 Tahun 2011
merupakan derivasi dari Pasal 34 Ayat (1) UU BI Nomor 3 Tahun 2004 yang
mengatur bahwa tugas mengawasi bank dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor
jasa keuangan yang independen, dan dibentuk berdasarkan undang-undang.
Dengan demikian, dalam isu konstitusional,
karakter constitutionally important
dari UU OJK dapat ditelusuri melalui Pasal 34 UU BI yang bersumber dari Pasal
23D UUD 1945. Pasal itu mengamanatkan bahwa negara harus memiliki bank
sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan
independensinya, diatur oleh undang-undang.
Bahkan secara sistematis, dapat pula
menelusuri landasan konstitusionalnya dalam Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945.
Atribusi kewenangan dalam UU tentang OJK dan pengaturan mengenai
institusionalnya, merupakan manifestasi dari jiwa konstitusi. Terutama dengan
memahami dialektika Pasal 23D dan Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945. Kehadiran
lembaga itu diharapkan bisa memberikan terapi terhadap penyakit kronis sistem
keuangan di negeri ini. Lebih jauh, supaya sektor jasa keuangan terhindar
dari moral hazard dan salah urus sebagaimana berulang kali terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar