Memutus
Rantai Pungli di Polri
Andy Suryadi ; Dosen, Pegiat pada Pusat Kajian
Kepolisian
Fakultas
Ilmu Sosial (FIS) Universitas Negeri Semarang (Unnes)
|
SUARA
MERDEKA, 26 Agustus 2014
"Menjadi rahasia
umum unit Lalu Lintas bersama Samsat dan Reskrim jadi sumber penghasilan tak
resmi"
SEWAKTU pemerintah mengeluarkan beleid memberikan remunerasi untuk
Polri mulai 2010 muncul pertanyaan besar, apakah tambahan penghasilan itu
bisa menghentikan budaya korup di korps Bhayangkara? Pengamat kepolisian dari
UI, Bambang Widodo Umar dan pengamat hukum dari UGM, Zainal Arifin Mochtar berkeyakinan
remunerasi tidak akan mampu menghilangkan budaya pungli sepanjang tidak ada
peningkatan kebijakan dalam pengawasan (Vivanews,
18/12/10).
Kini, keyakinan mereka tampaknya benar-benar
terbukti. Kita bisa merangkaikan dari pengungkapan kasus pungli di jembatan
Comal Pemalang, disusul keterungkapan suap miliaran rupiah terkait judi
online di Bandung, pungli di pos polisi Kalibanteng Semarang (SM, 16/8/14), hingga yang terkini,
Selasa (19/8) Propam Polda Jateng mengungkap kasus serupa di sekitar Pasar
Kambing Semarang. Sesungguhnya, langkah cepat jajaran Propam Polri mengungkap
kasus pungli dan suap anggotanya layak diapresiasi. Namun publik masih
pesimistis apakah serangkaian tindakan tersebut benar-benar bisa menjamin
terhapusnya terbiasanya praktik pungli dan suap di jajaran Tri Brata?
Ada dua hal yang mendasari pesimisme
masyarakat, yakni pertama; biasanya tindakan penertiban itu hanya berjalan
atau berlaku insidental, dalam arti itu dilakukan ketika sedang menjadi
sorotan media massa alias hangathangat tahi ayam. Kedua; pengungkapan
perbuatan tercela itu tidak selalu diikuti dengan penerapan sanksi tegas yang
dapat menjerakan. Sesungguhnya praktik pungli dan suap sudah menjadi kultur
khas birokrasi di negara kita, tak hanya di lingkungan Polri. Dulu isu
keminiman kesejahteraan personel polisi kerap menjadi kambing hitam untuk
berbuat menyimpang. Namun setelah pemerintah memberikan remunerasi mulai 2010
pun, Polri belum juga terbebas dari belenggu pungli dan suap.
Ada beberapa penyebab sulitnya memberantas
praktik pungli dan suap di Polri. Pertama; keminiman pengawasan internal
sehingga sejumlah anggota di lapangan mencobacoba menyiasati peraturan.
Kedua; sanksi tidak tegas, bahkan acap berkesan melindungi pelaku. Berkait
kasus Comal misalnya, pelaku hanya dikenai sanksi etik. Ketiga; ”kultur” suap
dalam pengurusan posisi/jabatan basah di Polri sehingga anggota yang ingin
menduduki jabatan tertentu harus pandaipandai mencari ”sumber penghasilan
lain” untuk memenuhinya. (Tempo, 1/6/13).
Keempat; sudah menjadi rahasia umum bahwa unit
Lalu Lintas bersama Samsat dan Reskrim sering menjadi sumber penghasilan tak
resmi guna membiayai operasional. Kelima; kultur menjamu atau melayani secara
berlebihan oleh pejabat Polri di suatu wilayah terhadap atasan/koleganya
ketika mereka berkunjung. Seringkali ”tugas” itu dibebankan kepada institusi
secara tak resmi itu yang berimbas sebagai beban anggota di lapangan. Para
atasan, baik yang memberi atau menerima jamuan, bukannya tidak tahu namun
mereka seperti membiarkan, bahkan cenderung menikmati kultur yang sudah
berlangsung secara turun-temurun tersebut. Keenam; kesadaran hukum masyarakat
yang masih sangat rendah sehingga kerap memilih jalan pintas, antara lain
dengan menyuap, semisal supaya dipermudah urusannya kendati ia tahu bahwa hal
itu tak sesuai prosedur atau melanggar aturan.
Sanksi Menjerakan
Lantas, bagaimana cara mengakhiri budaya
pungli? Kita harus optimistis, minimal berharap praktik itu diminimalisasi,
dan itu bisa ditempuh melalui beberapa cara. Pertama; pimpinan Polri harus
memiliki komitmen dan keberanian memperbaiki situasi itu dengan pendekatan
sistemik, misalnya pengawasan dan jerat sanksi yang benar-benar menjerakan.
Upaya itu juga dibarengi pendekatan kultural, dimulai dari diri sendiri
Misalnya, tegas menolak suap atau jamuan/servis secara berlebihan yang secara
logika mustahil ditanggung oleh lembaga dalam kondisi normal. Kedua; mengubah
pembayaran denda pelanggaran lalu lintas dengan cara yang lebih mempermudah
pelanggar, misal sistem pembayaran denda elektronik (E-denda). Terobosan ini
perlu dilakukan mengingat pelanggar umumnya lebih memilih menyuap, bukan
karena besarnya denda resmi melainkan dianggap lebih ”merepotkan” andai harus
menjalani sidang.
Ketiga; menerapkan reward and punishment secara tegas dan transparan sehingga
masyarakat juga tahu dan bisa ikut mengawal. Keempat; masyarakat dan media
lebih aktif lagi mengawal kinerja polisi. Contoh, keterungkapan praktik
pungli di Comal diawali dari laporan anggota masyarakat kepada Gubernur
Ganjar Pranowo via Twitter yang kemudian diteruskan ke Polda Jateng. Selain
itu, sanksi-sanksi yang bersifat sosial dari masyarakat, tampaknya juga perlu
dicoba sebagai salah satu resep meminimalisasi budaya pungli. Contoh kecil
misalnya, mengganti istilah pungli yang berkesan ”ringan” dengan frasa
”korupsi” mengingat pada hakikatnya pungli juga termasuk kategori itu.
Publik berhak berharap bahwa pengungkapan
kasus pungli dan suap oleh Propam Polda Jateng benar-benar bisa menjadi
momentum perbaikan di tubuh Polri, minimal di Polda Jateng. Jangan
hangathangat tahi ayam, dan jangan ”mengintimidasi” dan terlalu cepat
memutasi pejabat yang sudah terbukti giat memberantas (termasuk mengkritisi)
praktik pungli dan suap, kendati menyangkut kolega, teman seangkatan, bahkan
atasan atau institusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar