Politisasi
Birokrasi
Salahudin ;
Dosen Ilmu Pemerintahan Univ. Muhammadiyah Malang,
Penulis buku “Catatan Politik di Tahun Politik”, Terbit
2014
|
OKEZONENEWS,
21 Agustus 2014
Salah satu tesis Karl Marx yang terkenal yaitu mengenai makna
subyektifitas. Menurut Karl Marx struktur negara termasuk birokrasi tidak
pernah netral (obyektif) dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Mereka pasti
dan akan berpihak kepada kepentingan-kepentingan politik yang mereka miliki
(subyektif). Tesis ini relevan untuk menggambarkan perilaku birokrasi di
tahun politik seperti yang berlangsung saat ini. Birokrasi mulai dari
struktur yang teratas hingga terendah menampakkan perilaku subyektif dalam
menjalankan tugas dan fungsinya. Mereka mengedepankan kepentingan politik
masing-masing.
Perilaku subyektif Presiden SBY mendapat kritikan tajam dari
publik. Sejatinya Presiden SBY sebagai kepala pemerintahan harus menunjukkan
perilaku obyektif, namun kepentingan politik memaksa Presiden SBY untuk
subyektif dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Ironisnya, Presiden SBY
terang-terangan memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan politik.
Presiden SBY menggunakan pesawat kenagaraan untuk menuju daerah kampanye
partai politik yang dipimpinnya. Dan pada saat itu, Presiden SBY didampingi
oleh beberapa menteri negara.
Perilaku Presiden SBY tersebut diikuti oleh sejumlah menteri
terutama menteri yang berasal dari partai politik. Para menteri yang berasal
dari partai politik rela meninggalkan tugas negara demi menjalankan tugas
politik (kampanye politik). Para menteri-menteri itu tidak berdaya dengan
desakan partai politik untuk melaksanakan program-program politik demi
mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Pada konteks ini, pandangan dan
pemikiran mereka bukan lagi menegakkan profesionalitas sebagai birokrasi,
namun menegakkan dan menjunjung tujuan-tujuan politik partai politik.
Kepala daerah (Gubernur, Wali Kota, Bupati), tidak kalah dengan
perilaku subyektif presiden dan para menteri. Bahkan kepala daerah lebih
subyektif dari Presiden dan para menteri. Hanya saja kepala daerah tidak
cukup intens disorot media dan masyarakat, sehingga informasi mengenai kepala
daerah menjalankan tugas-tugas politiknya cukup terbatas. Pada hakikatnya
mereka intens menjalankan tugas-tugas politiknya. Mereka berusaha secara
langsung mengarahkan massa dan kekuatan-kekuatan lain untuk mendukung
kepentingan politik mereka masing-masing. Bahkan di antara mereka tidak segan-segan
menginstruksikan birokrasi Pegawai Negeri Sipil (PNS), para Camat, para
Lurah, dan Kepala Desa untuk mendukung penuh kepentingan politik mereka.
Politisi Dewan Perwakilan Rakyat baik di pusat maupun di daerah
sangat intens dan sistematis menjalankan agenda-agenda politik mereka
masing-masing. Mereka menempatkan agenda politik sebagai agenda penting dari
pada agenda profesional kelembagaannya. Mereka lebih memikirkan kepentingan
politik pribadi dan partai daripada kepentingan negara dan rakyat. Sehingga
slogan yang terbentuk “Dewan dari Rakyat dan untuk Partai”. Menurut saya,
kendati mereka sebagai politisi sejatinya tidak pantas untuk terlalu
mengedepankan agenda politik karena mereka berada di bawah naungan lembaga
negara (legisaltif) yang mestinya harus mengedepankan agenda profesionalitas
kelembagaan (menjalankan fungsi legislasi, pengawasan, anggaran).
Perilaku subyektif Presiden, para meteri, dan kepala daerah
dilakukan dalam berbagai bentuk diantaranya turun langsung untuk membantu partai
politik melalui kampanye politik, membuat peraturan perundang-undangan yang
berpihak kepada kepentingan politik pribadi dan partai, dan membuat kebijakan
anggaran untuk membiayai program-program yang berorientasi politis. Bentuk
pertama dilakukan pada saat Pemilu seperti saat ini. Pada saat Pemilu para
pejabat negara didesak partai politik untuk turun langsung melakukan kampanye
politik yang bertujuan mendapatkan simpati rakyat untuk mendukung kepentingan
politik partai politik. Partai politik mendesak para kadernya yang berada di
struktur birokrasi negara untuk membantu melakukan kampanye politik. Pada
konteks ini, para pejabat negara tidak lagi patuh terhadap aturan negara
namun lebih patuh terhadap aturan partai dan pimpinan partai.
Fenomena perilaku subyektif para pejabat semakin menguat dan
sistematis dengan membentuk kebijakan anggaran (APBN/APBD) untuk mendukung
program-program pembangunan yang berlabelkan kerakyatan. Memasuki tahun
politik para pejabat negara (Presiden, DPR/D, Menteri, dan Kepala Daerah)
senang menyusun kebijakan anggaran yang berpihak kepada program-program yang
berlabelkan kerakyatan seperti BLSM, BLT, PNPM, Raskin, Bansos, dan segala
macam program lainnya. Sesungguhnya program-program tersebut semata-mata
untuk kepentingan politik para pejabat negara. Program-program itu hanya
dibuat berdasarkan kepentingan politik. Karena itu, seringkali
program-program tersebut dibuat tanpa didasari kajian yang mendalam sehingga
tidak berdampak positif bagi kehidupan masyarakat.
Fenomena subyektif pejabat negara seperti yang dibahas di atas
menunjukkan teori Marx tentang makna subyektifitas struktur negara merupakan
hal yang nyata terjadi dalam kehidupan birokrasi negara. Menurut Marx, negara
seperti ini akan menjadikan dirinya sebagai eksploitator yang menyedihkan
bagi kehidupan masyarakat. Teori Marx tersebut tidak direspons positif,
justru dikritik oleh pemikir strukturalis fungsional seperti Weber. Bagi
Weber birokrasi adalah struktur negara yang profesional dalam menjalankan tugas
dan fungsinya sesuai peraturan hukum dan prosedur yang berlaku. Memahami
fenomena subyektif birokrasi yang dibahas di atas menunjukkan teori Weber
tentang profesionalitas birokrasi hanya impian dan normatif belaka. Dalam
teori Weber tolok ukur profesionalitas birokrasi adalah menjalankan tugas dan
fungsi berdasarkan keahlian, prosedur, peraturan hukum, dan berorientasi
melayani publik (masyarakat).
Hendaknya para pejabat negara memiliki komitmen untuk
menempatkan diri sebagai birokrasi profesional. Jika saat ini para pejabat
negara menginginkan kehidupan bernegara bebas dari KKN, hendaknya mereka
harus netral, profesional, dan mengedepankan kepentingan negara dan
masyarakat, bukan kepentingan pribadi dan partai politik. Semoga para pejabat
negara pada pemilu 2014 ini segera memiliki political and good will untuk menempatkan diri mereka sebagai
pejabat publik, dari publik, dan untuk publik, bukan untuk pribadi dan partai
politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar