Mewaspadai
“Virus” ISIS
Biyanto ; Dosen UIN Sunan Ampel,
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
|
KORAN
SINDO, 04 Agustus 2014
Seruan berbagai komponen bangsa agar masyarakat tidak
terprovokasi ajakan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) harus
ditindaklanjuti dengan langkah yang lebih konkret.
Pemerintah bersama kekuatan civil
society harus mengambil langkah langkah antisipasi agar kelompok militan
tersebut tidak menyebarkan virus radikalisme di Indonesia. Itu karena di
negara asalnya, Irak dan Suriah, ISIS dikenal sebagai kelompok yang menempuh
cara radikal dalam mewujudkan perjuangannya. Kelompok ISIS pimpinan Abu Bakr Al-Baghdadi
juga selalu mengobarkan semangat jihad demi mewujudkan Negara Islam Terpadu
yang melintas dari Irak hingga perbatasan Suriah.
Karena itu, tidak berlebihan jika New York Times dalam
pemberitaannya menyebut ISIS (Islamic
State in Iraq and Syria) sebagai kelompok militan yang harus diwaspadai.
Sejak menguasai kota-kota penting di Irak dan Mosul di Tikrit, ISIS terus
menjadi perbincangan dunia. Dalam edisi berbahasa Arab, ISIS diterjemahkan
dengan Al-Dawlah Al-Islamiyah fi Al-Al-
Dawlah Al-Islamiyah fi Al-Iraq wa Al-Sham. Kata Al-Sham merupakan nama
klasik untuk Damaskus, pusat kekuasaan Islam semasa kekhalifahan Daulah
Umayah. Kini Al-Sham meliputi wilayah Suriah, Israel, Lebanon, dan bagian
tenggara Turki.
Dengan demikian, cakupan wilayah Negara Islam Terpadu yang
dicitakan ISIS melintasi batas negara-bangsa. Selain menggunakan strategi
jihad yang disertai radikalisme, cita-cita ISIS untuk mewujudkan Negara Islam
Terpadu bercorak kekhalifahan jelas bertabrakan dengan semangat nasionalisme
yang digelorakan para pendiri bangsa. Ironisnya, beberapa kelompok
fundamentalis di Tanah Air dikabarkan telah memberikan dukungan bagi
perjuangan ISIS. Ini jelas dapat menjadi virus yang berbahaya bagi NKRI,
gagasan nasionalisme, dan dakwah Islam yang moderat.
Embrio gagasan nasionalisme dapat dilacak dari spirit Dokter
Wahidin Sudirohusodo dan beberapa pelajar sekolah kedokteran saat mendirikan
Budi Utomo di Jakarta pada 20 Mei 1908. Tanggal pendirian Budi Utomo itu
ditetapkan sebagai permulaan kebangkitan nasional atau gerakan kebangsaan.
Sebagai gerakan kebangsaanyangberideologi nasionalis- Jawa, Budi Utomo telah
menunjukkan sifat terbuka. Itu dapat diamati melalui penerimaan anggota Budi
Utomo terhadap kelompok dari luar. Penting juga dikemukakan hubungan baik
tokoh-tokoh Budi Utomo dengan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
Dahlan bahkan berkesempatan untuk memberikan pelajaran agama
pada anggota Budi Utomo. Saat Budi Utomo menyelenggarakan kongres pada 1917,
Dahlan diundang secara khusus untuk memberikan ceramah. Hebatnya, kongres
Budi Utomo itu diselenggarakan di rumah Dahlan. Peserta kongres ternyata
sangat tertarik dengan ceramah Dahlan sehingga di antara mereka meminta untuk
memberikan pengajian sekaligus membuka cabang Muhammadiyah di daerahnya.
Fakta ini penting dikemukakan untuk memberikan penegasan bahwa
telah terjadi sinergi antara pelopor gerakan nasionalisme dan tokoh-tokoh
Islam. Sinergi itu dimungkinkan karena di antara mereka memiliki kesamaan
tujuan yakni mengantarbangsamenjadilebih maju, berdaulat, dan terbebas dari
segala penindasan. Pertemuan tokoh-tokoh nasionalis dan agamais juga
menunjukkan bahwa cita-cita gerakan kebangsaan sejalan dengan ajaran agama.
Melalui gerakan kebangsaan, tokoh-tokoh nasionalis berjuang dengan sepenuh
hati untuk mencapai kedaulatan bangsa.
Agama juga mengajarkan spirit yang senada dengan cita-cita
bangsa seperti ajaran tentang kemerdekaan (al-hurriyah), keadilan (al-al-adalah),
musyawarah (syura), egalitarianisme
(al-musawa), dan keberagaman (al-tanawwual-tanawwu). Nilai-nilai
keagamaan itu sangat relevan dengan keinginan tokoh-tokoh pergerakan yang
bercita-cita agar bangsa Indonesia terbebas dari kolonialisme sehingga
berdaulat, berkeadilan, dan berkedudukan yang sama dengan bangsa lain.
Melalui kesamaan persepsi itulah, tokoh-tokoh pergerakan, baik
yang berlatar belakang nasionalis maupun agamais, bersatu untuk mewujudkan
organisasi politik yang dalam konteks modern disebut negara bangsa (nation state). Kesadaran untuk
mewujudkan suatu bangsa jelas membutuhkan pengorbanan semua komponen. Apalagi
jika berkaca pada realitas kemajemukan bangsa yang multietnik, agama, dan
budaya. Dalam konteks inilah kita perlu merenungkan pernyataan teoretikus
Prancis, Ernest Renan (1823-1892), ketika mendefinisikan bangsa.
Menurut Renan, bangsa adalah suatu perwujudan solidaritas
tingkat tinggi yang dibangun oleh kesediaan berkorban pada masa lalu berikut
kesiapan untuk menghadapi masa depan. Ungkapan Renan menegaskan bahwa untuk
tetap menjadi suatu bangsa, yang dibutuhkan adalah kemampuan merawat
solidaritas dan semangat rela berkorban. Untuk merawat nilai-nilai
solidaritas dan pengorbanan yang menjadi ikatan suatu bangsa ternyata tidak
mudah. Itu karena kini bermunculan gerakan keagamaan yang bercorak
transnasional. Salah satunya ISIS yang saat ini mengundang perhatian dunia.
Meski gerakan keagamaan transnasional terkadang bervariasi,
umumnya mereka memiliki pandangan politik yang sama. Doktrin politik yang
dianut adalah agama dan negara merupakan satu kesatuan. Ajaran Islam dipahami
mencakup persoalan agama dan negara sekaligus (al-din wa aldawlah).
Doktrin ini menekankan Islam sebagai totalitas sistem yang
secara universal bersifat kompatibel sehingga harus dilaksanakan di segala
waktu dan tempat. Bagi gerakan keagamaan fundamentalis, pemisahan agama dan
negara adalah sesuatu yang tidak terbayangkan. Kelompok fundamental juga
berpandangan bahwa praktik politik yang harus dijadikan rujukan adalah Islam
periode awal yakni pada masa Nabi dan sahabat. Cita-cita kelompok Islam
politik ini kemudian diwujudkan melalui perjuangan yang berorientasi pada
gerakan transnasional.
Kelompok ini pun berpandangan bahwa sistem khilafah merupakan
solusi yang paling tepat untuk menegakkan cita-cita politik umat. Dengan
mencitakan dunia yang dipimpin seorang khalifah berarti tidak ada tempat bagi
nasionalisme sebab nasionalisme lebih menekankan kesamaan tujuan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Gagasan nasionalisme juga mengakui
eksistensi keragaman etnik, agama, budaya, dan bahasa sebagai entitas yang
memiliki tujuan untuk mewujudkan kebaikan bersama.
Sementara cita-cita politik gerakan transnasional bersifat
lintas batas dan didasarkan kesamaan agama. Kini tugas kita adalah mengajak
berbagai elemen, terutama pemuda, agar tidak teracuni virus yang diwacanakan
ISIS dan kelompok transnasionalisme lainnya. Apalagi sudah jelas bahwa dalam
menempuh setiap perjuangannya, mereka selalu menghalalkan segala cara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar