Mereka
yang Punya Kuasa
Dicky Pelupessy ;
Dosen dan Mantan Ketua Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI,
Kandidat Doktor dalam Psikologi Komunitas di Victoria University Melbourne, Australia
|
KORAN
SINDO, 22 Agustus 2014
Dalam beberapa bulan belakangan ini pemilu, baik pemilu
legislatif maupun pemilu presiden, sejatinya menyajikan perlombaan memperoleh
kuasa (power).
Saat pemilu legislatif, para caleg dari partai-partai politik
peserta pemilu bersaing untuk memperoleh kuasa dengan menjadi anggota DPRD
atau DPR. Saat pemilu presiden, para capres dan cawapres bersaing untuk
memperoleh kuasa dengan menjadi presiden dan wakil presiden. Baik saat pemilu
legislatif maupun pemilu presiden, berbagai macam cara ditempuh para caleg
dan capres dan cawapres untuk memenangkan persaingan.
Ada yang menggunakan cara-cara yang baik dan sesuai aturan, namun
ada pula yang menggunakan cara-cara yang tidak baik dan tidak sesuai aturan.
Semua cara yang dilakukan—apa pun itu—tertuju pada satu hal, yaitu kuasa.
Karena soal kuasa ini pulalah, di salah satu partai politik yaitu Partai
Golkar terjadi keributan. Keributan terjadi tatkala Partai Golkar melakukan
pemecatan terhadap beberapa kadernya yang dianggap melakukan pembangkangan
dengan mendukung Jokowi-JK dalam pemilu presiden. Akibat keputusan pemecatan
tersebut, kaderkader yang dipecat melakukan perlawanan.
Dalam perlawanannya, tiga kader yang dipecat: Poempida
Hidayatullah, Agus Gumiwang, dan Nusron Wahid berencana untuk menggugat Ketua
Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie ke Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata
Usaha Negara. Ada yang menyesakkan dalam rencana gugatan tersebut, yaitu
gugatan sebesar Rp1 triliun yang apabila dimenangi akan diserahkan kepada
korban lumpur Lapindo. Menyesakkan karena secara tiba-tiba korban lumpur
Lapindo dijadikan agenda. Namun dengan menggunakan akal sehat, kita tahu
bahwa korban lumpur Lapindo sebatas sedang dijadikan permainan politis.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas Partai Golkar dan
ketiga individu kader Partai Golkar yang dipecat. Tulisan ini dimaksudkan
untuk membahas kuasa dan mereka yang memiliki kuasa vis-à-vis mereka yang kurang kuasa (powerless) berkaca pada kasus rencana gugatan Rp1 triliun.
Wujud Kuasa
Ada banyak definisi dari kuasa di dalam khasanah ilmu sosial.
Isaac Prilleltensky (2008), seorang psikolog komunitas terkemuka,
mengemukakan bahwa kuasa merujuk pada kemampuan dan kesempatan yang dimiliki
orang atau sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan personal, relasional,
dan kolektifnya. Artinya, orang yang memiliki kuasa adalah orang yang
memiliki kemampuan dan kesempatan untuk mewujudkan apa yang dibutuhkannya
secara individual dan bersama orang lain.
Dengan kata lain, Prilleltensky menegaskan bahwa kuasa
memberikan kesempatan kepada orang atau sekelompok orang untuk mendatangkan
apa yang baik bagi dirinya atau diri mereka dan bagi bersama orang lain.
Namun demikian, kuasa tidak selalu sama dengan membawa kebaikan. Kuasa pun bisa
mendatangkan penderitaan karena kuasa memiliki tiga wujud yang berbeda, yaitu
kuasa untuk melakukan penindasan (power
to oppress), kuasa untuk menciptakan kesejahteraan (power to promote wellness), dan kuasa untuk melawan penindasan
dan memperjuangkan pembebasan (power to
resist oppression and strive for liberation).
Dalam kasus rencana gugatan Rp1 triliun di atas, korban lumpur Lapindo
tidak lebih sebagai mereka yang tidak punya kuasa di hadapan mereka yang
punya kuasa– Partai Golkar dan ketiga kader di atas. Cukup mudah membedakan
mana yang punya kuasa: Partai Golkar yang pernah berkuasa lama, runner-up dalam pemilu legislatif
2014, dan satu dari ketiga orang di atas adalah peraih suara terbanyak di
Partai Golkar dalam Pemilu Legislatif 2014; dan mana yang tidak punya kuasa: korban lumpur Lapindo (digarisbawahi:
korban).
Dan, korban lumpur Lapindo saat ini sedang dipermainkan. Korban
lumpur Lapindo dapat diibaratkan sebagai balon yang baru ditiup dan kemudian
dilempar ke sana kemari dijadikan mainan oleh sekelompok politisi. Saat
mereka yang punya kuasa masih bersekutu, kita tidak pernah mendengar ada
rencana untuk mengumpulkan dan menyumbangkan uang gugatan sebesar Rp1 triliun
untuk korban lumpur Lapindo. Baru saat terjadi perselisihan di antara
merekalah, kita mendengar ada rencana memberikan uang hingga sebesar Rp1 triliun
kepada korban lumpur Lapindo.
Rencana itu pun sekadar keinginan, bukan kemauan yang tulus
untuk memperjuangkan korban lumpur Lapindo. Rencana itu terkesan hanya untuk
mencari perhatian. Agenda pokok gugatan Rp1 triliun adalah tentang
memenangkan kuasa di antara mereka yang punya kuasa. Mereka yang punya kuasa
sedang mempertontonkan kepada publik bahwa mereka menggunakan kuasa untuk
menghadapi satu sama lain dengan memanfaatkan mereka yang tidak punya kuasa.
Mereka yang punya kuasa tidak lebih sedang menunjukkan
penindasan atas mereka yang tidak punya kuasa. Dan, penindasan itu
bersembunyi di balik pernyataan bernada menunjukkan simpati kepada korban.
Mereka yang punya kuasa tidak sedang dalam upaya serius menciptakan
kesejahteraan dan memperjuangkan pembebasan bagi mereka yang nirkuasa.
Menurut Nietzsche (1968), kuasa adalah kapasitas untuk mendefinisikan
realitas. Kuasa menjadikan suatu kondisi terlegitimasi saat menjadikannya
nyata dan bermoral.
Kasus rencana gugatan sebesar Rp1 triliun amat jelas menunjukkan
kapan saat korban lumpur Lapindo dianggap sebagai realitas dan bukan realitas
itu sendiri. Korban lumpur Lapindo didefinisikan sebagai realitas yang patut
diperhatikan, disuarakan, dan dibantu hanya saat mereka yang punya kuasa
melihatnya penting bagi kepentingannya. Dan kepentingan mereka tak lain dan
tak bukan adalah kuasa itu sendiri. Kepentingan korban, yaitu mendapat
perlindungan, pemulihan, dan keadilan, bukanlah kepentingan utama para
pemilik kuasa yang sedang bertikai.
Korban lumpur Lapindo menjadi korban sudah sejak lama, sedangkan
pertikaian para pemilik kuasa itu baru-baru ini saja terjadi. Atas dasar
moral apakah korban lumpur Lapindo, baru sekarang menjadi realitas yang
penting? Atas dasar moral kemanusiaan atau politik kuasakah? Pertanyaan
berikutnya: sampai kapankah korban lumpur Lapindo akan dimanfaatkan sebagai
permainan politik, wahai politisi? Wallahu
a’lam…. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar