Idul
Fitri dan Keberadaban
Said Aqil Siradj ;
Ketua Umum PB NU
|
KORAN
JAKARTA, 28 Juli 2014
Puasa Ramadan telah berakhir dan Idul Fitri telah tiba. Secara
harfiah, Idul Fitri bermakna hari suci. Sering Idul Fitri diartikan hari
kembali sucinya jiwa umat muslim setelah menjalankan puasa dan berbagai
rangkaian ibadah sebulan penuh selama Ramadan.
Di Indonesia, Idul Fitri yang sering disebut "Lebaran"
ini tidak hanya milik umat muslim secara eksklusif, tapi telah menjadi kultur
bangsa yang unik. Pada momen ini, rasanya kita perlu mengudarakan kembali
refleksi terhadap makna tamaddun yang berarti berperadaban.
Inilah inti dari masyarakat yang hendak dicita-citakan Islam dan
telah diteladankan Nabi Muhammad. Bukanlah masyarakat eksklusif yang hendak
dibangun Islam, tapi yang menjunjung tinggi akhlak, martabat, serta mengelola
pluralitas menjadi kekuatan positif. Cita-cita masyarakat utama yang
berakhlak mulia dan bermarbat inilah menjadi titik sentral misi kerasulan
Nabi Muhammad lewat sabdanya, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan
akhlak manusia menjadi lebih mulia.”
Warisan
Pejuang-pejuang kebangsaan Indonesia sejak dulu sampai masa
moderen, semuanya mempelajari dan mempraktikkan budaya jujur, adil,
arif-bijaksana, tertib, disiplin, moderat, dan rendah hati. Unsur-unsur
budaya beradab tersebut dijalankan dengan pengalaman jatuh-bangun untuk
membangun diri dan bangsa menjadi insan beradab, bermartabat, serta
terhormat.
Transformasi berkeadaban dan bermartabat itu dilakukan melalui
interaksi yang santun dan dialog produktif dalam masyarakat plural.
Dimulai dari pemahaman peorangan, keluarga, dan warga masyarakat
tentang perlunya cinta-kasih antarsesama, memupuk rasa keindahan, empati
dalam penderitaan, serta kegelisahan orang lain. Kemudian tentu saja juga
menghormati hukum, keadilan, berpandangan positif untuk hidup bersama. Selain
itu, juga memunyai tanggung jawab dalam pengabdian dan berpengharapan yang
optimistis dalam kehidupan.
Keadaban ini jelas bergayut dengan kesadaran terhadap
kemajemukan. Masyarakat majemuk dapat dipahami sebagai masyarakat yang
terdiri dari berbagai kelompok, strata sosial, ekonomi, suku, bahasa, budaya,
dan agama. Di dalam masyarakat majemuk, setiap orang dapat bergabung dengan
kelompok tanpa rintangan-rintangan sistemik yang mengakibatkan terhalangnya
hak untuk berkelompok dengan kelompok tertentu.
Dari sejarahnya, masyarakat Indonesia yang beradab dan
bermartabat sudah pernah lahir sebagai kekuatan dunia dalam bentuk
kerajaan-kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan kesultanan-kesultanan Islam sejak
abad ke-9 sampai ke-15.
Realitas sejarah mengesankan kepada generasi sekarang bahwa
bobot dan kualitas berkeadaban serta bermartabat itu lahir dari rahim
masyarakat majemuk.
Moto kemajemukan Bhinneka Tunggal Ika merupakan cantelan dalam
berkehidupan bermasyarakat yang beradab dan bermartabat. Moto ini adalah
cita-cita adiluhung bangsa Indonesia untuk terciptanya masyarakat yang
beradab dan bermartabat.
Upaya untuk mencapai kualitas hidup yang optimal untuk menjadi
lebih sejahtera, berkeadilan, dan berkemakmuran, niscaya akan membawa
masyarakat dapat duduk sama rendah serta tegak sama tinggi dengan
bangsa-bangsa lain dunia.
Untuk itulah, diperlukan infrastruktur harmonisasi sosial dalam
kehidupan bersama. Menghormati pluralitas harus sejalan dengan menghormati
peradaban dan martabat. Tidak ada artinya pluralitas kalau yang dipertahankan
adalah budaya primitif, keterbelakangan, dan hanya asal berbeda. Alasannya
demi kemurnian penghormatan budaya lokal atau hak asasi manusia, tanpa
mempertimbangkan hak manusia lainnya dalam sistem kehidupan bersama.
Sikap sadar kemajemukan berarti pula sikap sadar terhadap
multikulturalisme. Artinya, sikap ini menekankan keanekaragaman kebudayaan
dalam kesederajatan. Konsep tersebut mengajak masyarakat dalam arus perubahan
sosial, sistem tata nilai kehidupan dengan menjunjung tinggi toleransi,
kerukunan, perdamaian, serta menghindari sejauh mungkin konflik atau
kekerasan, meskipun terdapat perbedaan sistem sosial di dalamnya.
Konsep multikulturalisme
tidaklah hanya disamakan dengan konsep keanekaragaman yang cuma menggambarkan
bahwa kita beragam secara agama, suku bangsa, atau kebudayaan yang menjadi
ciri khas masyarakat majemuk.
Yang terpenting, multikulturalisme lebih menekankan adanya
saling menghargai dan rasa memiliki dalam kesederajatan serta meningkatkan
solidaritas. Ini menuntut kita untuk melupakan upaya-upaya penguatan
identitas. Kehidupan multikultural adalah landasan kesadaran akan keberadaan
diri tanpa merendahkan yang lain.
Kedamaian
Dalam ajaran Islam, semangat perdamaian dan toleransi antar-umat
memiliki landasan legitimasi yang kokoh sebab ajaran ini hadir dengan misi
rahmatan lil alamin. Artinya menciptakan peradaban yang penuh kasih dan
damai, tidak saja bagi umat manusia seluruhnya, tapi juga pada segala
penghuni alam raya.
Sekali lagi, bangsa Indonesia adalah warga yang hidup dalam
suasana pluralitas dan multikultural sehingga terbiasa dengan berbagai
perbedaan. Mereka menerima perbedaan tersebut dengan prinsip hidup
berdampingan secara damai.
Jangan sampai dalam mengarungi arus modernisasi dan derap
perubahan sosial yang demikian cepat, kedamaian yang sudah berlangsung lama
itu terganggu kemunculan konflik-konflik sosial. Ini dipenuhi semangat
pembedaan serta pembelaan etnik dan agama sehingga integritas keindonesiaan,
kerukunan umat beragama yang pernah dibanggakan, diakui bangsa lain, menjadi
luntur.
Kebinekaan merupakan kekayaan. Keberadaan dan perbedaan agama
jelas sebagai rahmat yang harus disyukuri. Agama datang untuk kehidupan yang
tenang, aman, dan damai. Maka andai kehidupan ini dijadikan sebagai industri
kekerasan tentu hidup manusia tidak akan aman.
Untuk itu, perlu dikembalikan menjadi industri kecintaan yang
diharapkan tercipta suatu kedamaian. Ada dua pilihan hidup di dunia ini,
untuk menjadikan rahmat atau dihancurkan oleh globalisme. Supaya kita menjadi
rahmat, maka harus saling mengakui pluralitas. Di antara tanda-tanda
kebesaran Tuhan adalah penciptaan dunia, perbedaan lidah, dan bahasa. Demi
itu semua harus mengembalikan integrasi dan kerja sama sesama kita.
Bumi ini diciptakan untuk makhluk hidup, kita semua. Jadi, semua
berhak hidup di Bumi ini. Kita harus berpacu untuk menghidupkan manusia dan
memuliakannya demi keberlangsungan hidup mereka. Kita harus melawan kezaliman
karena bertentangan dengan kefitrian. Momentum Idul Fitri kali ini dapat
dijadikan sebagai penyadaran kembali dalam membangun hidup yang harmonis dan
penuh tenggang rasa di era kepemimpinan baru dalam berbangsa dan bernegara
ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar