Ahok
Arswendo Atmowiloto ;
Budayawan
|
KORAN
JAKARTA, 26 Juli 2014
Bayangkan situasi yang
agak-agak panas. Pertarungan capres Jokowi dengan Prabowo yang
kian keras. Saat itu terdengar komentar di luar dugaan.
“Kalau Pak Jokowi menang, saya jadi gubernur. Kalau
Pak Prabowo yang menang, saya jadi Menteri Dalam Negeri.”
Yang mengatakan adalah Ahok. Nama yang lebih akrab
diucap dibandingkan nama resmi Ir Basuki Tjahaja
Purnama. Karier politiknya menempatkan dalam posisi yang menguntungkan
dari segi nasib. Ia, saat itu Wakil Gubernur, dan
diusung Partai Gerindra.
Kini, Ahok yang menjadi
Pelaksana Tugas sejak 1 Juni 2014, tinggal menunggu
waktu menjadi Gubernur DKI. Gubernur yang “sangat
dekat dengan presiden, bisa sering ngobrol”. Dan
kenyataannya begitu. Jokowi yang kini menjabat lagi sebagai gubernur adalah
Jokowi yang resmi menjadi presiden Oktober nanti.
Dan
kita, masyarakat DKI dan juga masyarakat Indonesia,
akan lebih terbiasa mendengar komentar yang tidak biasa. Bagi
Ahok, agaknya keterbukaan adalah kekuatannya
sekaligus kritik yang diarahkan padanya. Ia memang
kontroversial, meskipun ketika ketemu saya, justru julukan
itu-itu yang ditempelkan ke saya.
Keterbukaannya mencerminkan
keberanian. Keterbukaan didasari kejujuran. Itu yang membuatnya
bersuara keras. Kadang juga terdengar pedas. Merampas
perhatian sehingga beberapa orang dekatnya, termasuk
kru acara TVRI, Minggu Malam bersama Slamet Rahardjo, menjuluki
Ahok “salah minum obat”.
Anehnya, Ahok justru
menyukai julukan itu dan menceritakan ke mana-mana.
Saya mengenal melalui acara itu, dan beberapa kali. Karena Ahok
narasumber yang selalu siap, tepat waktu, dan membuat suasana
tidak garing. Selalu ada kemungkinan ledakan, dan ia tak ingin
meralatnya, waktu itu selalu taping, direkam sehingga
bisa dikoreksi.
Secara agak pribadi, saya
pernah diajak datang ke pertemuan. Waktu itu menjelang kampanye
Gubernur DKI. Ada satu pertemuan di daerah sekitar
Halim. Sebaiknya saya datang. Tumben Ahok pengen ditemani. “Lu tau kan yang ngadain pertemuan ini
orang-orang Solo dan sekitarnya. Mana gua kenal?”
Kira-kira begitulah gaya bicaranya. Dan memang saat
itu Jokowi tak bisa datang karena harus balik ke Solo
yang katanya ada bom meledak. Di panggung pun Ahok
mengatakan hal ini ketika memperkenalkan diri.
Keterbukaan tercermin
dalam gerak dan pilihan langkah. Ini yang awal-awalnya membuat
pendengarnya terperangah, membuat telinga merah, gerah.
Sampai kemudian berkesimpulan ini tindakan yang
gagah, atau tak mau kalah. Kasus Ahok didemo Forum
Pembela Islam yang merasa dipojokkan, juga dijawab
tenang. “Lho, Pak Presiden SBY maunya FPI dibubarkan.
Mendagri nyuruh kerja sama. Bingung saya.” Keterbukaan ini
sudah terekspresikan sejak anggota DPRD atau Bupati di daerah
asal- nya, Belitung Timur. Dengan memberikan nomor
kontak, dan benar-benar dicermati, sehingga beberapa
saat lalu sempat terjadi peristiwa yang menggelikan. Ada SMS
masuk yang memberitahukan “ada kabar gembira”,
langsung dijawab “apa itu?” Dan ketika dijelaskan
bahwa itu bagian dari iklan, ada penyesalan supaya
jangan bercanda di nomor ini.
Itulah Ahok, dan inilah gubernur
DKI resmi, kalau sudah dilantik. Dan Jakarta dalam
hal tertentu memerlukan sikap terbuka, tegas, dan
kontinu. Ahok sangat memiliki modal untuk itu, dan
agaknya zaman perubahan memberi peluang yang sangat
bagus untuknya. Keterbukaan
yang ditunjukkan menuntut bersih diri, seperti yang
dikatakan. “Pemimpin yang tidak ikut main, bisa bebas
menekan, termasuk memecat yang korup.” Ia benar dalam
hal ini. Orang miskin jangan melawan orang kaya,
orang kaya jangan melawan pejabat, adalah kata mutiara kuno yang
menemukan bentuk operasionalnya pada zaman yang
terbuka. Dan ini dimungkinkan sekarang di Ibu Kota kita, dengan
Gubernur Koh Ahok. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar