“The
Unforced Error”
Muhammad Chatib Basri ; Pendiri CReco Research Institute;
Dosen Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia
SUMBER : KOMPAS, 4
Juni 2012
Saya ingat pada satu pagi, lebih dari 25
tahun lalu, di Universitas Indonesia, Prof Soedradjad Djiwandono memberikan
kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi bagi kami, mahasiswa pemula. Ia memulai dengan
pertanyaan: mengapa harga berlian lebih mahal daripada harga air? Bukankah air
jauh lebih berguna dibandingkan dengan berlian? Kami terdiam.
Lalu, ia menjelaskan diamond-water paradox. Intinya: nilai barang tak dipengaruhi oleh
total nilai gunanya (total utility),
tetapi oleh nilai guna marjinalnya (marginal
utility). Mudahnya: karena air relatif banyak tersedia, kita bisa terus
mengonsumsinya sampai nilai guna marjinalnya sangat kecil atau bahkan nol.
Contohnya: jika kita minum air terus sampai haus kita hilang dan perut kita
kembung, tambahan satu gelas air setelah itu tak lagi memiliki nilai guna
marjinal. Sebaliknya, karena jumlah berlian sangat terbatas, kita tak bisa
mengonsumsinya sampai nilai guna marjinalnya sangat kecil atau nol. Nilai guna
marjinallah yang memengaruhi nilai atau harga suatu barang. Contoh lain, di
gurun yang tak ada air dan kita kehausan, nilai guna marjinal air sangat
tinggi, bahkan bisa jadi lebih tinggi dibandingkan dengan berlian.
Saya ingat kuliah pembuka itu ketika kita
bicara soal bahan bakar minyak (BBM) dan program penghematan energi. BBM adalah
sumber energi yang jumlahnya relatif terbatas di Indonesia (kita bukan lagi
produsen neto). BBM juga tak terbarukan. Implikasinya: harga BBM tak bisa murah
lagi di Indonesia karena nilai guna marjinalnya relatif tinggi. Harga BBM yang
murah karena disubsidi tak akan membuat orang menyadari nilai guna marjinal
yang sesungguhnya.
Akibatnya, orang tak akan mau berhemat. Itu
sebabnya, program penghematan BBM yang baru diumumkan tak akan sepenuhnya
efektif apabila harga BBM tetap seperti saat ini. Ini bukan pertama kalinya
kita punya program penghematan. Kita tahu, kebijakan pembatasan energi
membutuhkan administrasi dan pengawasan yang ketat, sesuatu yang pemerintah
sangat lemah. Ingat, dulu ada kebijakan pendingin ruangan harus 25 derajat
minimum, pegawai pemerintah wajib mengenakan baju lengan pendek. Pelaksanaan
dan pengawasannya? Apakah perlu dibentuk Menteri
Negara Urusan AC 25 Derajat dan Baju Lengan Pendek?
Program konversi BBM ke bahan bakar gas (BBG)
juga hanya akan berhasil apabila perbedaan harga antara BBM bersubsidi dan BBG
cukup signifikan. Tanpa itu, orang tak akan mau mengorbankan kenyamanannya
mengonsumsi BBM bersubsidi. Artinya, harga BBM tak bisa semurah sekarang jika
program konversi ingin berjalan.
Dan, yang menyedihkan, apa yang saya
khawatirkan mulai terjadi. Dalam Analisis Ekonomi Kompas bulan April lalu, saya
katakan bahwa apabila BBM tak jadi naik, konsumsi Premium akan terus meningkat.
Alasannya: disparitas harga antara harga BBM bersubsidi dan harga pasar akan
mendorong migrasi dari Pertamax ke Premium. Selain itu, hal ini juga mendorong
penyelundupan.
Bukan Karena Negara Pesaing
Tengok apa yang terjadi saat ini: seperti
yang disampaikan oleh PT Pertamina di media (Tempo, 2/5/2012), Premium dan
solar telah melampaui kuotanya, masing-masing 10 persen dan 7 persen.
Berdasarkan daerah penyalurannya, dari 33 provinsi, sebanyak 23 provinsi dipastikan
telah mengalami kelebihan kuota dengan rata-rata realisasi penyaluran di atas 7
persen dari kuota. Bahkan, DKI Jakarta dan Jawa Barat masing-masing mencapai
136 persen dan 119 persen terhadap kuota.
Sebaliknya, Kalimantan mengeluh karena BBM
tak tersedia, akibatnya terjadi protes pemblokiran batubara di Kalimantan. Di
sini kita bisa lihat komplikasi persoalan akibat akrobat politik parlemen akhir
Maret lalu. Konsumsi yang besar dan tak diimbangi oleh pasokan mengakibatkan
terjadinya kekurangan (shortage).
Solusinya hanya dua: meningkatkan pasokan dan
mendistribusikan dengan baik (ini tak mudah dan implikasinya impor minyak akan
terus meningkat) atau menurunkan permintaan. Penghematan hanya akan efektif
jika harga dinaikkan, tanpa itu sulit.
Dan, prediksi saya terjadi: permintaan
terhadap impor minyak terus naik, neraca perdagangan mengalami tekanan. PT
Pertamina membutuhkan dollar AS lebih banyak. Di sisi lain, pertumbuhan ekspor
mulai melambat karena situasi global. Akibatnya, defisit transaksi berjalan
meningkat. Ini menambah tekanan pada nilai tukar rupiah.
Pada saat yang sama, kemungkinan keluarnya
Yunani dari zona euro telah membuat pasar panik sehingga permintaan dollar AS
menjadi jauh lebih tinggi. Ketika likuiditas dollar AS tersendat, pasar menganggap
adanya kontrol devisa oleh Bank Indonesia secara terselubung. Terjadilah
kepanikan pasar dan rupiah melemah. Risiko ekonomi makro meningkat. Sesuatu
yang sebenarnya bisa dihindari jika BBM dinaikkan. Itu sebabnya, jika saya
ditanya, apa risiko terbesar bagi perekonomian Indonesia saat ini, jawabannya
bukanlah gejolak eksternal, melainkan kesalahan dalam antisipasi kebijakan.
Ekonom Raden Pardede mengingatkan saya akan
istilah unforced error dalam
permainan tenis. Artinya, pihak lawan memperoleh angka bukan karena kehebatan
mereka, melainkan karena kesalahan yang kita buat sendiri. Saya kira Pardede
betul: yang bisa membuat modal meninggalkan Indonesia bukanlah karena negara
pesaing kita lebih hebat, melainkan karena kita terus membuat kesalahan kebijakan
yang tak perlu, the unforced error. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar