Menghidupkan
Pancasila
Anas Urbaningrum ; Ketua Umum
DPP Partai Demokrat
SUMBER : SINDO, 1
Juni 2012
Sudah
lama kita tidak membicarakan Pancasila secara hangat dan intens.Pancasila
seolah lenyap dalam hiruk-pikuk politik pasca-Reformasi. Pancasila sudah keburu
identik dengan hafalan murid sekolah dasar.
Membicarakan
Pancasila dianggap tidak seksi bagi banyak pihak, termasuk politisi, pengamat,
atau media.Mereka yang membicarakan Pancasila malah dianggap terjebak masa lalu
atau dituduh pro-Orde Baru. Kita tidak ingat bahwa perdebatan pendiri bangsa
ini mengenai Pancasila adalah serangkaian diskusi filosofis yang penuh gelora
intelektual.
Bapak-bapak bangsa tersebut mendialogkan khazanah keilmuan dan filsafat, mengutip pemikiran Barat dan Islam, menggali nilai-nilai di Nusantara, lalu membenturkannya dengan realitas pedih sebagai bangsa terjajah.Pancasila adalah karya filsafat yang bermutu tinggi, terbukti dengan keandalannya menjadi rancang arsitektur negara-bangsa kita. Pancasila memang pernah tercerabut dari hati rakyat.
Pemerintahan Orde Baru mendominasi pemaknaan Pancasila dan menjadikannya alat pembenaran atas kebijakan pembangunan yang dijalankan. Berbeda atau bersikap kritis terhadap pemerintah akan dicap “anti-Pancasila” sehingga wajah Pancasila terkaburkan oleh wajah rezim. Di mata rakyat, Pancasila menjadi abstrak, tak membumi,bahkan asing.Inilah yang menyebabkan Pancasila seolah runtuh jadi debu seiring runtuhnya Orde Baru.
Imajinasi dan Kesadaran
Lahirnya Pancasila erat berhubungan dengan lahirnya Indonesia sebagai suatu imajinasi sosial yang menghadirkan gambaran situasi yang ingin dituju (Setiawan, 2010). Gambaran tujuan itulah yang memberi arah dan orientasi bagi institusi sosial dan pranata politik serta melahirkan budaya.
Semua itu hasil dari proses menyejarah,yang dilakukan dengan menengok ke belakang dan mencandra ke depan, yang berujung pada kesimpulan nasionalisme Indonesia. Nasionalisme Indonesia bukanlah etnonasionalisme yang didasari kesamaan etnis.Nasionalisme Indonesia adalah hasil kesadaran,yang diekspresikan dalam sebuah sumpah:
Sumpah Pemuda,untuk bersatu menjadi negara-bangsa yang lepas dari cengkeraman kemelaratan akibat penjajahan menuju kesejahteraan yang hanya dapat diwujudkan jika bangsa Indonesia bernaung dalam sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Sumpah Pemuda 1928 adalah penegasan identitas sebagai bangsa yang baru,yang berbeda dari suku-suku bangsa yang sudah ada pada waktu itu.
Penegasan bahasa Indonesia sebagai modus eksistensi,bukan bahasa Jawa yang mayoritas atau bahasa Belanda yang dominan, mencerminkan kesadaran dan hasrat untuk melangkah ke dalam suatu konstruksi dunia baru bernama Indonesia. Kesadaran tersebut membutuhkan titik temu untuk menjembatani perbedaan dan menjadi orientasi dalam melangkah bersama ke masa depan.Pancasila menjadi titik temu itu.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengakui keberagamaan bangsa Indonesia tanpa terjebak menjadi teokrasi yang mengacu pada agama tertentu. Agama mayoritas memberi tempat yang sama kepada agama lain sehingga tidak mendominasi rumusan cetak biru bangsa Indonesia. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dan Sila Persatuan Indonesia merupakan penegasan alasan dibentuknya negara Indonesia merdeka, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Dalam terang Pancasila, kemanusiaan hanya dapat diwujudkan dengan keadilan dan keadaban. Atau, keadilan hakiki yang ingin diwujudkan oleh negara Indonesia adalah keadilan yang mengutamakan kemanusiaan, bukan keadilan “sama-rata-sama-rasa” yang berpotensi mengorbankan kemanusiaan dan keadaban.
Sila persatuan juga konsisten terhadap hasrat beridentitas baru Sumpah Pemuda, sebagai bangsa yang satu,bertanah air satu. Sila keempat merupakan rancangan cara mencapai tujuan kita merdeka. Kerakyatan menegaskan bahwa demokrasi Indonesia bukanlah demokrasi borjuasi; hikmat kebijaksanaan merupakan konsep dasar teknokrasi,
kepemimpinan rakyat bukan sekadar kepemimpinan populis, melainkan juga teknokratis yang kompeten; dan permusyawaratan/ perwakilan sebagai cara untuk melahirkan keputusan dalam pranata demokrasi dan kepemimpinan politik. Akhirnya, keadilan sosial harus terwujud karena itulah tujuan dan alasan kita menjadi Indonesia.
Tugas Pemimpin
Pertanyaannya, bagaimana mengembalikan Pancasila menjadi relevan dalam derap kehidupan sekarang? Tugas besar kita adalah menghidupkan kembali ruh Pancasila sebagai ideologi yang hidup (living ideology) dan ideologi yang bekerja (working ideology) yang adaptif dan responsif. Pandangan ini disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam peringatan Hari Kelahiran Pancasila pada 1 Juni 2010.
Pancasila tidak patut diperlakukan sebagai dogma, apalagi dikeramatkan, karena tindakan tersebut justru menghalang-halangi Pancasila dalam merespons tantangan zaman. Menurut Presiden SBY,itulah nilai terbesar Pancasila ketika diaktualisasikan untuk menghadapi tantangan zaman kini dan mendatang.
Pancasila tidak boleh menjadi dasar negara yang beku, tetapi hidup dan relevan karena selalu didiskusikan dalam kehidupan sehari-hari anak bangsa.Pancasila tidak sematamata menjadi domain negara sehingga rakyat tidak peduli, tetapi ia seyogianya berada di ranah publik, dalam sebuah ruang bersama dan dirawat bersama-sama untuk menjadi acuan solusi bagi pelbagai permasalahan kebangsaan kita.
Kembali berkaca pada sejarah, sumbangsih Presiden Soekarno ketika merumuskan Pancasila adalah menghadirkan imajinasi sosial yang sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Memang ada yang berpendapat bahwa Bung Karno “bereksperimen”, mulai dari Pancasila, Manipol-USDEK, hingga demokrasi terpimpin. Tidak semua berhasil,namun itulah sejatinya tugas pemimpin: menghadirkan imajinasi yang menggambarkan tujuan yang ingin dicapai.
Bung Karno telah memberi teladan tentang upaya untuk terus mendiskusikan suatu narasi hidup yang berkaitan dengan kondisi waktu itu. Kita harus bisa melangkah lebih dari apa yang telah dicontohkan Bung Karno. Dengan tingkat pendidikan yang lebih baik, keterbukaan informasi, dan kemajuan demokrasi yang kita miliki sekarang, kita harus mampu merealisasikan kekuatan Pancasila sebagai ideologi yang hidup dan bekerja sehingga mampu mengatasi dan melintasi dimensi ruang dan waktu. ●
Bapak-bapak bangsa tersebut mendialogkan khazanah keilmuan dan filsafat, mengutip pemikiran Barat dan Islam, menggali nilai-nilai di Nusantara, lalu membenturkannya dengan realitas pedih sebagai bangsa terjajah.Pancasila adalah karya filsafat yang bermutu tinggi, terbukti dengan keandalannya menjadi rancang arsitektur negara-bangsa kita. Pancasila memang pernah tercerabut dari hati rakyat.
Pemerintahan Orde Baru mendominasi pemaknaan Pancasila dan menjadikannya alat pembenaran atas kebijakan pembangunan yang dijalankan. Berbeda atau bersikap kritis terhadap pemerintah akan dicap “anti-Pancasila” sehingga wajah Pancasila terkaburkan oleh wajah rezim. Di mata rakyat, Pancasila menjadi abstrak, tak membumi,bahkan asing.Inilah yang menyebabkan Pancasila seolah runtuh jadi debu seiring runtuhnya Orde Baru.
Imajinasi dan Kesadaran
Lahirnya Pancasila erat berhubungan dengan lahirnya Indonesia sebagai suatu imajinasi sosial yang menghadirkan gambaran situasi yang ingin dituju (Setiawan, 2010). Gambaran tujuan itulah yang memberi arah dan orientasi bagi institusi sosial dan pranata politik serta melahirkan budaya.
Semua itu hasil dari proses menyejarah,yang dilakukan dengan menengok ke belakang dan mencandra ke depan, yang berujung pada kesimpulan nasionalisme Indonesia. Nasionalisme Indonesia bukanlah etnonasionalisme yang didasari kesamaan etnis.Nasionalisme Indonesia adalah hasil kesadaran,yang diekspresikan dalam sebuah sumpah:
Sumpah Pemuda,untuk bersatu menjadi negara-bangsa yang lepas dari cengkeraman kemelaratan akibat penjajahan menuju kesejahteraan yang hanya dapat diwujudkan jika bangsa Indonesia bernaung dalam sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Sumpah Pemuda 1928 adalah penegasan identitas sebagai bangsa yang baru,yang berbeda dari suku-suku bangsa yang sudah ada pada waktu itu.
Penegasan bahasa Indonesia sebagai modus eksistensi,bukan bahasa Jawa yang mayoritas atau bahasa Belanda yang dominan, mencerminkan kesadaran dan hasrat untuk melangkah ke dalam suatu konstruksi dunia baru bernama Indonesia. Kesadaran tersebut membutuhkan titik temu untuk menjembatani perbedaan dan menjadi orientasi dalam melangkah bersama ke masa depan.Pancasila menjadi titik temu itu.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengakui keberagamaan bangsa Indonesia tanpa terjebak menjadi teokrasi yang mengacu pada agama tertentu. Agama mayoritas memberi tempat yang sama kepada agama lain sehingga tidak mendominasi rumusan cetak biru bangsa Indonesia. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dan Sila Persatuan Indonesia merupakan penegasan alasan dibentuknya negara Indonesia merdeka, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Dalam terang Pancasila, kemanusiaan hanya dapat diwujudkan dengan keadilan dan keadaban. Atau, keadilan hakiki yang ingin diwujudkan oleh negara Indonesia adalah keadilan yang mengutamakan kemanusiaan, bukan keadilan “sama-rata-sama-rasa” yang berpotensi mengorbankan kemanusiaan dan keadaban.
Sila persatuan juga konsisten terhadap hasrat beridentitas baru Sumpah Pemuda, sebagai bangsa yang satu,bertanah air satu. Sila keempat merupakan rancangan cara mencapai tujuan kita merdeka. Kerakyatan menegaskan bahwa demokrasi Indonesia bukanlah demokrasi borjuasi; hikmat kebijaksanaan merupakan konsep dasar teknokrasi,
kepemimpinan rakyat bukan sekadar kepemimpinan populis, melainkan juga teknokratis yang kompeten; dan permusyawaratan/ perwakilan sebagai cara untuk melahirkan keputusan dalam pranata demokrasi dan kepemimpinan politik. Akhirnya, keadilan sosial harus terwujud karena itulah tujuan dan alasan kita menjadi Indonesia.
Tugas Pemimpin
Pertanyaannya, bagaimana mengembalikan Pancasila menjadi relevan dalam derap kehidupan sekarang? Tugas besar kita adalah menghidupkan kembali ruh Pancasila sebagai ideologi yang hidup (living ideology) dan ideologi yang bekerja (working ideology) yang adaptif dan responsif. Pandangan ini disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam peringatan Hari Kelahiran Pancasila pada 1 Juni 2010.
Pancasila tidak patut diperlakukan sebagai dogma, apalagi dikeramatkan, karena tindakan tersebut justru menghalang-halangi Pancasila dalam merespons tantangan zaman. Menurut Presiden SBY,itulah nilai terbesar Pancasila ketika diaktualisasikan untuk menghadapi tantangan zaman kini dan mendatang.
Pancasila tidak boleh menjadi dasar negara yang beku, tetapi hidup dan relevan karena selalu didiskusikan dalam kehidupan sehari-hari anak bangsa.Pancasila tidak sematamata menjadi domain negara sehingga rakyat tidak peduli, tetapi ia seyogianya berada di ranah publik, dalam sebuah ruang bersama dan dirawat bersama-sama untuk menjadi acuan solusi bagi pelbagai permasalahan kebangsaan kita.
Kembali berkaca pada sejarah, sumbangsih Presiden Soekarno ketika merumuskan Pancasila adalah menghadirkan imajinasi sosial yang sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Memang ada yang berpendapat bahwa Bung Karno “bereksperimen”, mulai dari Pancasila, Manipol-USDEK, hingga demokrasi terpimpin. Tidak semua berhasil,namun itulah sejatinya tugas pemimpin: menghadirkan imajinasi yang menggambarkan tujuan yang ingin dicapai.
Bung Karno telah memberi teladan tentang upaya untuk terus mendiskusikan suatu narasi hidup yang berkaitan dengan kondisi waktu itu. Kita harus bisa melangkah lebih dari apa yang telah dicontohkan Bung Karno. Dengan tingkat pendidikan yang lebih baik, keterbukaan informasi, dan kemajuan demokrasi yang kita miliki sekarang, kita harus mampu merealisasikan kekuatan Pancasila sebagai ideologi yang hidup dan bekerja sehingga mampu mengatasi dan melintasi dimensi ruang dan waktu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar