Hemat
Anggaran via Internet
Syafiq Basri Assegaff ; Konsultan Komunikasi, dan Dosen Komunikasi
di Universitas
Paramadina, Jakarta
SUMBER : INILAH.COM,
1 Juni 2012
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajak bangsa
Indonesia berhemat, beberapa hari silam. SBYmemang menekankan soal menghemat
anggaran belanja lewat kebijakan terkait BBM dan energi – khususnya bagi para
pegawai pemerintah dan BUMN.
Namun, terkait usaha menghemat kocek
pemerintah itu, sebenarnya salah satu upaya lain yang penting dan mendesak
untuk digalakkan adalah pemanfaatan teknologi Internet secara lebih efektif dan
efisien.
Sejauh ini memang sudah ada beberapa kegiatan
pemerintah dengan menggunakan teknologi Internet. Selain surat elektronik (surel) alias e-mail dan penayangan ‘brochure-ware’ melalui berbagai situs
kantor pemerintahan dan BUMN, syukurlah sudah ada program e-procurementatau pun e-government.
Tetapi banyak hal masih perlu ditingkatkan
penggunaannya. Misalnya, para pengambil keputusan tidak mesti melakukan rapat
secara tatap-muka dalam setiap rapat kerja – kecuali ketika masalah yang
dihadapi demikian pelik sehingga memerlukan kehadiran semua pihak.
Namun bila rapat hanya membahas beberapa soal
rutin, seperti rapat tiap Selasa yang digagas Menteri BUMN Dahlan Iskan, umpamanya,
kiranya para pegawai pemerintah bisa memanfaatkan teknologi seperti ‘web-cam’, kamera yang tersambung dengan
Internet. Jangankan pada komputer atau laptop, bahkan sekarang ini web-cam juga sudah menjadi
fitur utama berbagai telepon seluler (ponsel).
Lewat ‘rapat
jarak jauh’ begitu, sang peserta rapat tak perlu bepergian ke luar kantor.
Mobilnya pun cukup diparkir, dan tak usah membuang-buang waktu di jalan yang
macet (di Jakarta) atau pun terbang mendatangi tempat rapat di luar kota.
Demikian pula dengan pelatihan. Banyak
pelatihan sebenarnya dapat dilakukan dengan menggunakan fasilitas multimedia di
Internet atau video streaming --
sehingga tak perlu membayar mahal pelatih untuk berkeliling ke beberapa kantor
cabang.
Melalui cara-cara demikian, dengan sekali
dayung bukan hanya satu-dua pulau terlampau, melainkan bisa lima-enam sungai
pun terseberangi.
Satu hal lain yang bisa memotong banyak
ongkos adalah memanfaatkan teknologi Google
Earth dan Google Map untuk
mempromosikan pariwisata dan semua keperluan ‘geospatial’ bumi pertiwi – termasuk peta dan foto areal
pertambangan, perkebunan dan obyek wisata -- ke konsumen di mana pun di dunia.
Kabarnya, Google telah menunjuk agen
pengembangan Google Qualified Developer
di Asia Tenggara lewat perusahaan ‘Exist.Inc Indonesia,’ yang berkantor di
Jakarta.
Itu di satu sisi. Di sisi lain, sesungguhnya
pemerintah selayaknya makin gencar mendulang dan mendukung pemasukan dana lewat
pasar online dan media sosial yang
kian hari kian marak.
Pemerintah pusat dan daerah serta semua BUMN
sejatinya dapat menginfiltrasi ‘pasar tanpa sekat’ di dunia, melalui jejaring online yang makin cepat, makin murah dan
makin luas penggunaannya.
Sebagai gambaran luasnya penggunaan Internet,
mari kita tengok transaksi jual-beli produk konsumen secara online.
Pada tahun ini saja, nilai transaksi online produk Indonesia
diperkirakan mencapai lebih US$4 miliar -- meningkat dari US$3,4 miliar pada
2010. Di antara situs belanja yang paling populer di Indonesia saat ini adalah
pakaian dan aksesori (sekitar 36%), disusul kupon (voucher dan sebagainya) sebesar 33%, serta buku dan DVD (33%).
Potensi perkembangan itu bakalan melejit luar
biasa, mengingat kontribusi Internet terhadap produk domestik bruto
sesungguhnya baru mencapai 1,6%. Lebih lagi, karena Indonesia kini menempati
urutan kelima negara pengakses Internet terbesar dunia.
Diperkirakan rasio jumlah konsumen online terhadap
prosentase penduduk kita saat ini telah mencapai 57%. Memang itu masih di bawah
Malaysia (67%) dan Vietnam (61%), tetapi prosentase itu sama dengan Singapura,
dan di atas India (54%).
Menurut data yang ada, memang penjualan online di dunia terus
meningkat. Sehingga tak heran bila firma pembayaran online ‘PayPal’
meramalkan, pada 2016 uang fisik akan ditinggalkan orang, digantikan uang
digital.
Menurut Presiden Direktur Finnet Indonesia Waldan R. Bakara,
Indonesia juga segera menyusul menggunakan uang digital itu. “Pada 2020,
sekitar 50% warga Indonesia akan menggunakan uang digital ini,” kata Waldan
kepada INILAH.COM.
PayPal
belum lama ini meluncurkan aplikasi InStore.
Melalui aplikasi ini, konsumen tak perlu lagi mengantre di toko, karena penjual
cukup menggunakan pemindai portabel yang ada di ponsel untuk membaca barcode pembeli. Sesudah itu pembeli
cukup memasukkan PIN miliknya, dan selesailah ‘ijab-kabul’ jual beli, hanya dalam hitungan 30 detik.
Walhasil, bicara mengenai Internet dan
penggunaannya bisa membuat orang berdecak heran. Dalam sejarah manusia di bumi
ini, belum ada media komunikasi yang berkembang secepat Internet.
Coba saja bandingkan: jika radio dulu
memerlukan waktu 30-an tahun untuk mencapai 50 juta pendengar, dan TV
membutuhkan 10 tahun untuk meraih 50 juta pemirsa di dunia, maka Internet atau
‘world wide web’ (www) hanya perlu
sekitar empat tahun guna meraih 50 juta pengguna.
Tetapi para ahli mengingatkan bahwa teknik
memasarkan jasa dan produk pada zaman Internet tidak sama dengan marketing konvensional.
Di antara yang berubah pada pemasaran via
Internet, pertama, adalah bahwa kini harapan atau tuntutan konsumen terhadap
kenyamanan makin besar. Kini konsumen tak mau menunggu lama, dan ingin memilih
sendiri waktu dan tempat mereka berbelanja, misalnya pada tengah malam dan
dilakukan di kamar tidur.
Artinya, bila Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) hendak mengkampanyekan sebuah program ‘wisata
baru’ di pasar Jerman, misalnya, maka penjaga situs kampanye wisata
Kemenparekraf itu mesti siap menjawab pertanyaan calon wisatawan itu, meski pun
itu dilakukan pada jam 9 malam waktu Jerman, alias sekitar pukul empat pagi
WIB.
Sejumlah respon kompetitif berlangsung pada waktu berjalan, in real time. Berbeda
dengan pemasaran konvensional, saat ini konsumen dapat dengan mudah
membandingkan harga jasa dengan jasa pesaingnya pada saat yang sama. Saat
seorang konsumen membeli tiket pesawat misalnya, ia bisa secara mudah
membandingkan beberapa harga tiket berbagai maskapai penerbangan sekaligus.
Para ahli yang lain menyarankan bahwa saat
ini, perusahaan atau penjual tak cukup hanya mendengar atau mempelajari apa
yang diinginkan konsumen melalui kegiatan ‘partisipasi’.
Konsumen, bahkan yang menjadi ‘fans’ bagi sebuah brand di Facebook,
umpamanya, menuntut perusahaan memberi respon secara lebih bermakna.
Artinya, secara orang per orang, setiap
individu ingin mendapatkan input mengenai brand
yang mereka beli, dan cara-cara apa saja yang bisa mereka lakukan
untuk membeli produk atau jasa itu.
Metode yang disebut enlightened engagement
itu, kini menjadi fase awal evolusi di dunia komersial lewat keterlibatan
sosial di Internet.
Dalam era Internet
Marketing ini, kita memerlukan ‘P’ yang kelima – menyempurnakan 4-P yang
lazim dikenal dalam dunia pemasaran. Dan ‘P’ kelima itu adalah ‘people’, orang-orang yang mewakili marketing, jasa dan bauran komersial.
Penjaga situs Kemenparekraf tadi, misalnya,
mesti bisa berinteraksi, secara sosial, menawarkan paket yang
dipersonalisasikan kepada calon wisatawan secara penuh empati.
Bila tidak, maka kita bukan hanya menghalangi
aktifnya dampak sosial dalam urusan komersial yang berlangsung, melainkan, yang
lebih parah, boleh jadi calon wisatawan Jerman tadi akan direbut negara
tetangga lebih dulu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar