Grasi
Corby yang Tak Masuk Akal
Bambang Soesatyo ; Anggota
Komisi III DPR Fraksi Partai Golkar
SUMBER : SUARA
MERDEKA, 2 Juni 2012
"Apa yang sudah dilakukan Australia
terhadap nelayan Indonesia yang mereka tangkap karena melintasi batas laut?
Nyaris tak ada"
PEMBERIAN grasi 5 tahun untuk terpidana narkotika Schapelle Leigh Corby sama sekali tidak masuk akal. Bahkan Mahkamah Agung (MA) dan para pembantu Presiden harus merekayasa argumen untuk menguatkan pembenaran kebijakan yang nyata-nyata bertentangan dengan semangat memerangi jaringan internasional narkotika dan sel-selnya di Indonesia.
Awalnya, jubir kepresidenan menegaskan tak ada masalah terkait pemberian grasi itu karena sudah berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2002, yang diperbaharui dengan UU Nomor 5 Tahun 2010. Ia juga mengungkapkan Presiden menandatangani grasi itu setelah menyimak pertimbangan MA.
Sekadar menyegarkan memori pembaca, Corby divonis 20 tahun penjara dan denda Rp 100 juta oleh PN Denpasar pada Mei 2005 karena terbukti membawa 4,2 kg ganja melalui Bandara Ngurah Rai. Oktober 2005 melalui pengadilan banding, hukumannya dikurangi 5 tahun. Namun Januari 2006 putusan kasasi MA kembali menguatkan vonis 20 tahun penjara.
Dasar pertimbangannya antara lain narkotika yang diselundupkan Corby tergolong kelas I yang berbahaya. Dasar pertimbangan MA ini seharusnya menuntut semua pihak, termasuk Presiden SBY, untuk konsisten memberikan sanksi ekstrakeras terhadap pengedar narkotika, terutama kelas kakap, seperti Corby.
Begitu kecaman terhadap pemberian grasi itu makin kencang, giliran MA mendalihkan bahwa pertimbangan merekomendasikan grasi itu semata-mata alasan kemanusiaan mengingat Corby sering sakit-sakitan di LP Kerobokan. Namun menurut kepala LP, sampai April 2012 wanita terpidana itu, bersama sejumlah terhukum asal Australia, sehat-sehat saja. Jadi, siapa yang benar?
Setelah itu, Menkumham Amir Syamsuddin mengatakan pemerintah kita berharap pemberian grasi kepada Corby memberikan pesan kepada Australia dan pemerintahan negara sahabat lainnya agar melakukan hal sama terhadap tahanan atau terpidana asal Indonesia.
Lalu dimunculkan sejumlah fakta perlakuan manusiawi dari otoritas hukum sejumlah negara sahabat terhadap tahanan atau terpidana asal Indonesia. Portugal, Arab Saudi, dan Malaysia, katanya sudah memberikan perlakuan manusiawi kepada sejumlah WNI yang bermasalah dengan hukum di tiga negara itu.
Kejahatan Besar
Apa yang sudah dilakukan Australia terhadap nelayan Indonesia yang mereka tangkap karena melintasi batas laut? Nyaris tidak ada. Bahkan mereka menahan anak-anak nelayan kita, menjadi satu dengan tahanan dewasa. Berkat kerja Komisi I DPR dan Kemenlu, anak-anak itu dipindahkan ke ruang tahanan khusus anak.
Jadi tidak mengherankan bila Mahkamah Konstitusi (MK) ikut mengecam pemberian grasi untuk Corby. Bahkan Ketua MK Mahfud MD menegaskan grasi itu tidak sesuai dengan konstitusi kita mengingat ada kesepakatan bersama bahwa narkoba merupakan salah satu kejahatan besar.
Apalagi, Indonesia sudah meratifikasi Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988, dengan menerbitkan UU Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika.
Presiden SBY ketika berpidato memperingati Hari Antinarkotika Internasional 2011 di Monas beberapa waktu lalu juga menunjukkan komitmen kuat terhadap pemberantasan narkoba. Dengan demikian, arus kecaman terhadap kebijakan pemberian grasi untuk Corby lagi-lagi menunjukkan masyarakat Indonesia sejatinya cerdas dan kritis, serta menuntut konsistensi.
Karena itu, tidak berlebihan muncul perlawanan. Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) misalnya, berencana mengajukan gugatan ke PTUN. Bila pengadilan itu menetapkan pemberian grasi tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, putusan hukum itu bisa menjadi dasar untuk membatalkan pemberian grasi tersebut.
Jangan pula menilai mengada-ada bila sejumlah anggota Komisi III DPR berinisiatif menggalang kekuatan untuk mengajukan hak meminta penjelasan atau interpelasi atas pemberian grasi kepada Corby. ●
PEMBERIAN grasi 5 tahun untuk terpidana narkotika Schapelle Leigh Corby sama sekali tidak masuk akal. Bahkan Mahkamah Agung (MA) dan para pembantu Presiden harus merekayasa argumen untuk menguatkan pembenaran kebijakan yang nyata-nyata bertentangan dengan semangat memerangi jaringan internasional narkotika dan sel-selnya di Indonesia.
Awalnya, jubir kepresidenan menegaskan tak ada masalah terkait pemberian grasi itu karena sudah berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2002, yang diperbaharui dengan UU Nomor 5 Tahun 2010. Ia juga mengungkapkan Presiden menandatangani grasi itu setelah menyimak pertimbangan MA.
Sekadar menyegarkan memori pembaca, Corby divonis 20 tahun penjara dan denda Rp 100 juta oleh PN Denpasar pada Mei 2005 karena terbukti membawa 4,2 kg ganja melalui Bandara Ngurah Rai. Oktober 2005 melalui pengadilan banding, hukumannya dikurangi 5 tahun. Namun Januari 2006 putusan kasasi MA kembali menguatkan vonis 20 tahun penjara.
Dasar pertimbangannya antara lain narkotika yang diselundupkan Corby tergolong kelas I yang berbahaya. Dasar pertimbangan MA ini seharusnya menuntut semua pihak, termasuk Presiden SBY, untuk konsisten memberikan sanksi ekstrakeras terhadap pengedar narkotika, terutama kelas kakap, seperti Corby.
Begitu kecaman terhadap pemberian grasi itu makin kencang, giliran MA mendalihkan bahwa pertimbangan merekomendasikan grasi itu semata-mata alasan kemanusiaan mengingat Corby sering sakit-sakitan di LP Kerobokan. Namun menurut kepala LP, sampai April 2012 wanita terpidana itu, bersama sejumlah terhukum asal Australia, sehat-sehat saja. Jadi, siapa yang benar?
Setelah itu, Menkumham Amir Syamsuddin mengatakan pemerintah kita berharap pemberian grasi kepada Corby memberikan pesan kepada Australia dan pemerintahan negara sahabat lainnya agar melakukan hal sama terhadap tahanan atau terpidana asal Indonesia.
Lalu dimunculkan sejumlah fakta perlakuan manusiawi dari otoritas hukum sejumlah negara sahabat terhadap tahanan atau terpidana asal Indonesia. Portugal, Arab Saudi, dan Malaysia, katanya sudah memberikan perlakuan manusiawi kepada sejumlah WNI yang bermasalah dengan hukum di tiga negara itu.
Kejahatan Besar
Apa yang sudah dilakukan Australia terhadap nelayan Indonesia yang mereka tangkap karena melintasi batas laut? Nyaris tidak ada. Bahkan mereka menahan anak-anak nelayan kita, menjadi satu dengan tahanan dewasa. Berkat kerja Komisi I DPR dan Kemenlu, anak-anak itu dipindahkan ke ruang tahanan khusus anak.
Jadi tidak mengherankan bila Mahkamah Konstitusi (MK) ikut mengecam pemberian grasi untuk Corby. Bahkan Ketua MK Mahfud MD menegaskan grasi itu tidak sesuai dengan konstitusi kita mengingat ada kesepakatan bersama bahwa narkoba merupakan salah satu kejahatan besar.
Apalagi, Indonesia sudah meratifikasi Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988, dengan menerbitkan UU Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika.
Presiden SBY ketika berpidato memperingati Hari Antinarkotika Internasional 2011 di Monas beberapa waktu lalu juga menunjukkan komitmen kuat terhadap pemberantasan narkoba. Dengan demikian, arus kecaman terhadap kebijakan pemberian grasi untuk Corby lagi-lagi menunjukkan masyarakat Indonesia sejatinya cerdas dan kritis, serta menuntut konsistensi.
Karena itu, tidak berlebihan muncul perlawanan. Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) misalnya, berencana mengajukan gugatan ke PTUN. Bila pengadilan itu menetapkan pemberian grasi tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, putusan hukum itu bisa menjadi dasar untuk membatalkan pemberian grasi tersebut.
Jangan pula menilai mengada-ada bila sejumlah anggota Komisi III DPR berinisiatif menggalang kekuatan untuk mengajukan hak meminta penjelasan atau interpelasi atas pemberian grasi kepada Corby. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar