Alangkah
“Parah”-nya Pertimbangan Itu
Adi Andojo Soetjipto ; Mantan Hakim Agung
SUMBER : KOMPAS, 4
Juni 2012
Pemberian grasi terhadap terpidana narkotika
warga negara asing bernama Schapelle Corby membuat saya terenyak. Betapa
”parah”-nya kita bangsa Indonesia sampai terjebak membuat keputusan yang sangat
merugikan masa depan bangsa yang sedang giat-giatnya membangun.
Kalau dikatakan ada 50.000 orang meninggal
setiap tahun akibat mengonsumsi narkotika, marilah secara bodoh-bodohan kita
analisis akibat dari pemberian grasi selama lima tahun itu. Berarti ada lima
kali 50.000 orang meninggal, sama dengan 250.000 orang mati. Kalau yang mati
itu berusia di bawah 20 tahun, berarti kita kehilangan generasi muda potensial
untuk membangun bangsa. Mereka mungkin kalau hidup akan menjadi orang-orang
yang otaknya brilian, yang bisa menciptakan karya-karya monumental di segala
bidang dan bisa menjadikan negara ini hebat dan disegani bangsa lain.
Banyak Kehilangan
Mengenai 250.000 orang yang meninggal ini,
juga bisa kita analisis dengan cara lain. Berapa hektar luas tanah yang harus
digunakan untuk mengubur mayat mereka. Tanah seluas itu bisa kita gunakan untuk
yang lebih bermanfaat.
Lalu, berapa meter kain kafan untuk mengafani
mayat-mayat mereka. Pasti ribuan meter. Sayang, mestinya kain-kain itu nilainya
bisa untuk memberi pakaian orang-orang miskin.
Belum kalau kita berpikir soal peti jenazah.
Katakanlah kalau semua mayat itu dikubur memakai peti jenazah. Berapa meter
kubik kayu yang kita gunakan untuk membuat peti-peti itu. Hutan kita bisa
gundul, yang menyebabkan banjir terjadi di mana- mana dan kesengsaraan menimpa
rakyat banyak. Padahal, kayu-kayu untuk membuat peti itu bisa kita gunakan
untuk membangun sekolah-sekolah yang rusak atau jembatan-jembatan di desa yang
ambruk.
Konon, keputusan untuk memberikan grasi
merupakan salah satu pilihan dari banyak pilihan yang paling sulit. Lagi pula,
sudah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung.
Saya dulu, sewaktu masih aktif sebagai Ketua
Muda Bidang Pidana, tugas saya juga memberikan pertimbangan itu sebagai masukan
bagi Ketua Mahkamah Agung. Kala itu, untuk permohonan grasi bagi narapidana
pembunuhan, koruptor, dan narkotika, saya selalu menyarankan untuk ditolak.
Sekarang saya tidak mengerti mengapa Mahkamah
Agung memberikan advis untuk mengabulkan, sedangkan saat ini sudah ada
keputusan Menteri Hukum dan HAM soal moratorium untuk pemberian remisi bagi
narapidana kasus narkotika.
Perikemanusiaan?
Katanya lagi pemberian grasi ini diputuskan
atas dasar kemanusiaan. ”Perikemanusiaan” yang bagaimana? Apa karena Corby
seorang wanita? Saya rasa tidak tepat kalau alasannya itu.
Buktinya bisa dilihat dari tayangan televisi.
Walaupun dia telah mendekam di penjara selama tujuh tahun, badannya terlihat
gemuk, tidak kurus karena menderita. Berarti dia enjoy, menikmati hidup di penjara! Jadi, alasan kemanusiaan menurut
pendapat saya kurang tepat.
Lalu alasan apa yang harus dijelaskan kepada
publik?
Yang pasti pemberian grasi ini akan berdampak
lebih pada sisi negatifnya daripada positifnya. Para petugas yang dulunya giat
memberantas narkoba bisa jadi mengendur. Apalagi grasi diberikan kepada warga
negara asing anggota sindikat internasional yang dengan susah payah sedang
diberantas petugas-petugas kita.
Mudah-mudahan perkiraan saya tidak benar. Hal
kedua yang patut dikhawatirkan adalah sikap kaum muda yang mengedarkan dan atau
menggunakan narkoba. Mereka bisa jadi tidak takut lagi masuk bui, toh nanti
diberi grasi. Harus adil dong. Warga negara asing saja diberi grasi, masa
bangsa sendiri tidak. Oleh karena itu, keputusan yang tak bisa ditarik kembali
itu seharusnya dipikir masak-masak terlebih dahulu. Sesal kemudian tidak
berguna. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar