Minggu, 17 Juli 2022

 

UU, Agama, dan Adat Minangkabau

Khairil Azhar: Perantau Minang, bekerja di Jakarta

MEDIA INDONESIA, 15 Juli 2022

 

                                                

 

RANCANGAN Undang-Undang (RUU) tentang Sumatra Barat baru saja disahkan, sebagai pengganti UU tahun 1958. Salah satu isi yang sempat memancing diskusi ialah tentang bagaimana “Adat dan budaya Minangkabau berdasarkan pada nilai falsafah, adat basandi syara', syara' basandi kitabullah sesuai dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku."

 

Salah satu media massa nasional kemudian menurunkan judul Implikasi UU Sumbar yang Baru, antara Perda Syariah atau Sebatas Adat (CNN Indonesia, Rabu 6/7/2022). Seperti diketahui, praktik legislasi lokal di periode reformasi, terutama di daerah-daerah yang memiliki preseden keagamaan simbolis yang kental ialah apa yang disebut sebagai peraturan daerah (perda) Syariah dan Injil.

 

Dengan judul berita di atas, bisa saja dipahami terdapat semacam indikasi bahwa dalam konteks Sumatra Barat akan muncul lebih banyak lagi Perda Syariah. Kehidupan atau ruang publik hendak diatur dengan pasal-pasal yang didasarkan atas ajaran, atau nilai-nilai yang dipandang mewakili Islam sebagai agama mayoritas.

 

Adat dan agama

 

Dalam keseharian orang Minang, adat atau tradisi (customary), yang dalam praktiknya bisa berbeda-beda pada tataran partikularitas, pada dasarnya mengikat warga yang berelasi secara genealogis, dan kultural dalam satu konteks nagari. Meskipun, jika ditelusuri bisa saja dikatakan berasal dari satu mata air yang sama, tetapi cukup banyak yang berkembang sebagai konstruksi sosial yang berbeda.

 

Jika terjadi hubungan yang melampaui nagari, misalnya terjadi pernikahan di antara warga satu nagari dan nagari lain, akan terjadi penyesuaian-penyesuaian. Dalam hal ini, berlaku “di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung.” Sejauh yang saya tahu, terdapat fleksibilitas yang cukup, meskipun kadang kala penyelesaiannya bisa bertele-tele.

 

Dalam konteks yang lebih luas, misalnya pada tingkat luhak, yang dalam bahasa administrasi pemerintahan disebut kabupaten atau kota, terdapat nilai-nilai dan tradisi yang secara umum sama atau mirip (commonality), tetapi juga ada perbedaan-perbedaan. Demikian pula pada tingkat yang paling luas yang disebut sebagai Minangkabau—yang bukan hanya mencakup teritorial Sumatra Barat, melainkan juga menjangkau ranah-ranah di mana pun orang Minang merantau.

 

Alhasil, sejauh menyangkut apa yang disebut sebagai adat, lebih tepat untuk mengatakan bahwa terdapat kebinekaan, yang kaya, unik, dan amat sayang kalau harus diseragamkan menggunakan tangan besi politik. Misalnya, dengan peraturan daerah yang biasanya mengikat pada tingkat kabupaten, kota, atau provinsi, ketika tumbuh kembang diversitas itu ialah pada tingkat nagari, yang sekarang disetarakan dengan desa.

 

Ketika adat dipahami sebagai konstruksi sosial, yakni nilai dan tata aturan yang tumbuh dan berkembang secara lokal, agama dalam konteks Minangkabau pada dasarnya ialah tata aturan yang datang dari luar. Bukan hanya Islam, melainkan juga agama-agama sebelumnya seperti Buddha. Dalam hal ini ada adagium “syara’ mandaki adat manurun.”

 

Dalam model berpikir dialektis, atau bisa juga sebagai satu kontinum ‘alam-rantau’, bisa dikategorisasi bahwa adat itu berasal dari alam dan syara’ itu berasal dari rantau. Secara dialektis, alam ialah tesis dan rantau ialah antitesis. Dalam proses pergumulan yang bisa jadi lama atau bisa juga cepat, terjadi negasi atau mungkin juga sintesis. Dilihat dalam model kontinum, dalam berbagai hal tertentu pengaruh alam bisa jadi lebih besar atau kuat, ketika dalam ragam hal lainnya pengaruh rantau yang lebih nyata.

 

Jika produk yang lahir ialah “adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah,” secara kasatmata terlihat jelas bahwa pada dasarnya tesis (alam) cenderung telah dikalahkan (dinegasi). Meskipun masih ada ruang bagi adat, tetapi adat sudah berada dalam pengawasan melekat—surveillance—lengkap dengan panoptikonnya. Dalam tradisi Hegelian, produk itu diposisikan sebagai final, sebagai titik puncak, tak ada lagi yang lebih tinggi dari itu.

 

Penting dicatat di sini bahwa terlahirnya produk ini tak bisa dikatakan murni dialektis-kultural. Unsur politik sangat kental. Situasi daerah Minangkabau di sepanjang abad ke-18 sampai awal abad ke-20, diwarnai ragam perubahan dan konflik—ekonomi, kultural-agama, dan politik. Secara eksternal, Belanda tengah memaksakan sistem untuk melipatgandakan keuntungan ekonomi dengan bermacam cara. Secara internal, kaum tua dan kaum muda dari kalangan agamawan serta kaum adat tak henti bersengketa.

 

Di tengah pergumulan yang pelik tersebut, adat dan agama pada akhirnya menjadi alat revolusioner. Nilai-nilai dan tata-aturan tradisional, yang sebelumnya memiliki fleksibilitas—yang menurut saya sengaja dibuat tidak tertulis supaya tidak kaku, dimasukkan satu sistem yang diandaikan bisa mengikat rakyat banyak karena sifatnya yang overarching dan sangat mungkin juga karena perbawa eskatologisnya, agama (syara’) merebut posisi chief ideological weapon—panglima ideologis—yang sekaligus mengambil alih posisi rasio yang misalnya diwakili konsepsi ‘alur dan patut’.

 

Apa konsekuensinya? Hal yang paling jelas ialah tutup paksa peluang bagi keberlanjutan dialektika. Alam yang sebelumnya silih berganti diperkaya oleh rantau dalam bentuk budaya, pemikiran, atau ideologi yang warna-warni, yang diibaratkan sebagai ‘aia gadang’, berpeluang mengalami stagnasi atau bahkan pemiskinan kultural. Ruang-ruang bagi dialog kultural dan epistemis publik—dari mana gagasan, inovasi, atau invensi diharapkan terlahir—berubah menjadi ruang penghakiman.

 

Salah satu dampak, yang menurut saya cukup nyata dalam beberapa dekade belakangan ini ialah involusi epistemis. Tradisi intelektual tokoh-tokoh Minangkabau yang menonjol saat ini misalnya, bisa dilihat bersifat reproduktif, afirmatif, konfirmatif, atau bahkan hanya apologetik. Kalaupun ada kebaruan, itu diwakili individu atau kelompok yang dipandang dissenting, atau mereka yang memilih hidup dan berkarya di rantau.

 

Merantau

 

Dalam pemakaian sehari-hari, merantau pada umumnya berkonotasi ekonomi. Dalam bentuk konkret, merantau bisa bermakna membuka lahan atau mata pencarian baru, bersekolah supaya nasib hidup bisa diperbaiki dan seterusnya. Namun, merantau bisa juga jadi ekspresi supaya bisa keluar dari lingkungan yang dirasa tak lagi kondusif, atau bahkan pemberontakan terhadap adat yang mengekang sehingga bagi mereka yang sudah tak cocok lagi berlama-lama di kampung halaman, marantau Cino atau merantau untuk selamanya jadi pilihan. Lagu-lagu Minang baik klasik maupun populer cukup menjelaskan semua fenomena ini.

 

Pulang kampung, bisa jadi berarti kembali ke alam untuk membawa hal-hal baru atau hasil yang diperoleh di rantau. Para pengusaha pulang kampung membawa uang atau entitas ekonomi lainnya. Sarjana-sarjana pulang membawa ilmu agama dan pengalaman. Jika tidak pulang kampung secara fisik, terjadi pulang kampung kultural—berbagi lewat pemikiran, gerakan, dan sebagainya. Alhasil, meskipun terbatas, dialektika alam-rantau bisa tetap terjadi.

 

Sumber :   https://mediaindonesia.com/opini/506888/uu-agama-dan-adat-minangkabau

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar