UU,
Agama, dan Adat Minangkabau Khairil
Azhar: Perantau
Minang, bekerja di Jakarta |
MEDIA INDONESIA, 15 Juli 2022
RANCANGAN Undang-Undang (RUU) tentang
Sumatra Barat baru saja disahkan, sebagai pengganti UU tahun 1958. Salah satu
isi yang sempat memancing diskusi ialah tentang bagaimana “Adat dan budaya
Minangkabau berdasarkan pada nilai falsafah, adat basandi syara', syara'
basandi kitabullah sesuai dengan aturan adat salingka nagari yang
berlaku." Salah satu media massa nasional kemudian
menurunkan judul Implikasi UU Sumbar yang Baru, antara Perda Syariah atau
Sebatas Adat (CNN Indonesia, Rabu 6/7/2022). Seperti diketahui, praktik
legislasi lokal di periode reformasi, terutama di daerah-daerah yang memiliki
preseden keagamaan simbolis yang kental ialah apa yang disebut sebagai
peraturan daerah (perda) Syariah dan Injil. Dengan judul berita di atas, bisa saja
dipahami terdapat semacam indikasi bahwa dalam konteks Sumatra Barat akan
muncul lebih banyak lagi Perda Syariah. Kehidupan atau ruang publik hendak
diatur dengan pasal-pasal yang didasarkan atas ajaran, atau nilai-nilai yang
dipandang mewakili Islam sebagai agama mayoritas. Adat dan agama Dalam keseharian orang Minang, adat atau
tradisi (customary), yang dalam praktiknya bisa berbeda-beda pada tataran
partikularitas, pada dasarnya mengikat warga yang berelasi secara genealogis,
dan kultural dalam satu konteks nagari. Meskipun, jika ditelusuri bisa saja
dikatakan berasal dari satu mata air yang sama, tetapi cukup banyak yang
berkembang sebagai konstruksi sosial yang berbeda. Jika terjadi hubungan yang melampaui
nagari, misalnya terjadi pernikahan di antara warga satu nagari dan nagari
lain, akan terjadi penyesuaian-penyesuaian. Dalam hal ini, berlaku “di mana
bumi dipijak, di sana langit dijunjung.” Sejauh yang saya tahu, terdapat
fleksibilitas yang cukup, meskipun kadang kala penyelesaiannya bisa
bertele-tele. Dalam konteks yang lebih luas, misalnya
pada tingkat luhak, yang dalam bahasa administrasi pemerintahan disebut
kabupaten atau kota, terdapat nilai-nilai dan tradisi yang secara umum sama
atau mirip (commonality), tetapi juga ada perbedaan-perbedaan. Demikian pula
pada tingkat yang paling luas yang disebut sebagai Minangkabau—yang bukan
hanya mencakup teritorial Sumatra Barat, melainkan juga menjangkau
ranah-ranah di mana pun orang Minang merantau. Alhasil, sejauh menyangkut apa yang
disebut sebagai adat, lebih tepat untuk mengatakan bahwa terdapat kebinekaan,
yang kaya, unik, dan amat sayang kalau harus diseragamkan menggunakan tangan
besi politik. Misalnya, dengan peraturan daerah yang biasanya mengikat pada
tingkat kabupaten, kota, atau provinsi, ketika tumbuh kembang diversitas itu
ialah pada tingkat nagari, yang sekarang disetarakan dengan desa. Ketika adat dipahami sebagai konstruksi sosial,
yakni nilai dan tata aturan yang tumbuh dan berkembang secara lokal, agama
dalam konteks Minangkabau pada dasarnya ialah tata aturan yang datang dari
luar. Bukan hanya Islam, melainkan juga agama-agama sebelumnya seperti
Buddha. Dalam hal ini ada adagium “syara’ mandaki adat manurun.” Dalam model berpikir dialektis, atau
bisa juga sebagai satu kontinum ‘alam-rantau’, bisa dikategorisasi bahwa adat
itu berasal dari alam dan syara’ itu berasal dari rantau. Secara dialektis,
alam ialah tesis dan rantau ialah antitesis. Dalam proses pergumulan yang
bisa jadi lama atau bisa juga cepat, terjadi negasi atau mungkin juga
sintesis. Dilihat dalam model kontinum, dalam berbagai hal tertentu pengaruh
alam bisa jadi lebih besar atau kuat, ketika dalam ragam hal lainnya pengaruh
rantau yang lebih nyata. Jika produk yang lahir ialah “adat
bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah,” secara kasatmata terlihat jelas
bahwa pada dasarnya tesis (alam) cenderung telah dikalahkan (dinegasi).
Meskipun masih ada ruang bagi adat, tetapi adat sudah berada dalam pengawasan
melekat—surveillance—lengkap dengan panoptikonnya. Dalam tradisi Hegelian,
produk itu diposisikan sebagai final, sebagai titik puncak, tak ada lagi yang
lebih tinggi dari itu. Penting dicatat di sini bahwa
terlahirnya produk ini tak bisa dikatakan murni dialektis-kultural. Unsur
politik sangat kental. Situasi daerah Minangkabau di sepanjang abad ke-18
sampai awal abad ke-20, diwarnai ragam perubahan dan konflik—ekonomi,
kultural-agama, dan politik. Secara eksternal, Belanda tengah memaksakan
sistem untuk melipatgandakan keuntungan ekonomi dengan bermacam cara. Secara
internal, kaum tua dan kaum muda dari kalangan agamawan serta kaum adat tak
henti bersengketa. Di tengah pergumulan yang pelik
tersebut, adat dan agama pada akhirnya menjadi alat revolusioner. Nilai-nilai
dan tata-aturan tradisional, yang sebelumnya memiliki fleksibilitas—yang
menurut saya sengaja dibuat tidak tertulis supaya tidak kaku, dimasukkan satu
sistem yang diandaikan bisa mengikat rakyat banyak karena sifatnya yang
overarching dan sangat mungkin juga karena perbawa eskatologisnya, agama
(syara’) merebut posisi chief ideological weapon—panglima ideologis—yang
sekaligus mengambil alih posisi rasio yang misalnya diwakili konsepsi ‘alur
dan patut’. Apa konsekuensinya? Hal yang paling
jelas ialah tutup paksa peluang bagi keberlanjutan dialektika. Alam yang
sebelumnya silih berganti diperkaya oleh rantau dalam bentuk budaya,
pemikiran, atau ideologi yang warna-warni, yang diibaratkan sebagai ‘aia
gadang’, berpeluang mengalami stagnasi atau bahkan pemiskinan kultural.
Ruang-ruang bagi dialog kultural dan epistemis publik—dari mana gagasan,
inovasi, atau invensi diharapkan terlahir—berubah menjadi ruang penghakiman. Salah satu dampak, yang menurut saya
cukup nyata dalam beberapa dekade belakangan ini ialah involusi epistemis.
Tradisi intelektual tokoh-tokoh Minangkabau yang menonjol saat ini misalnya,
bisa dilihat bersifat reproduktif, afirmatif, konfirmatif, atau bahkan hanya
apologetik. Kalaupun ada kebaruan, itu diwakili individu atau kelompok yang
dipandang dissenting, atau mereka yang memilih hidup dan berkarya di rantau. Merantau Dalam pemakaian sehari-hari, merantau
pada umumnya berkonotasi ekonomi. Dalam bentuk konkret, merantau bisa bermakna
membuka lahan atau mata pencarian baru, bersekolah supaya nasib hidup bisa
diperbaiki dan seterusnya. Namun, merantau bisa juga jadi ekspresi supaya
bisa keluar dari lingkungan yang dirasa tak lagi kondusif, atau bahkan
pemberontakan terhadap adat yang mengekang sehingga bagi mereka yang sudah
tak cocok lagi berlama-lama di kampung halaman, marantau Cino atau merantau
untuk selamanya jadi pilihan. Lagu-lagu Minang baik klasik maupun populer
cukup menjelaskan semua fenomena ini. Pulang kampung, bisa jadi berarti
kembali ke alam untuk membawa hal-hal baru atau hasil yang diperoleh di
rantau. Para pengusaha pulang kampung membawa uang atau entitas ekonomi
lainnya. Sarjana-sarjana pulang membawa ilmu agama dan pengalaman. Jika tidak
pulang kampung secara fisik, terjadi pulang kampung kultural—berbagi lewat
pemikiran, gerakan, dan sebagainya. Alhasil, meskipun terbatas, dialektika
alam-rantau bisa tetap terjadi. ● Sumber :
https://mediaindonesia.com/opini/506888/uu-agama-dan-adat-minangkabau |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar