Tantangan
Ekonomi Digital Haryo
Kuncoro
: Guru Besar Fakultas
Ekonomi Universitas Negeri Jakarta dan Direktur Riset the Socio-Economic
& Educational Business Institute (SEEBI) Jakarta |
REPUBLIKA, 16 Juli 2022
Perkembangan pesat
teknologi informasi membawa perubahan besar pada hampir semua sendi
kehidupan. Internet of things begitu menggejala. Transformasi menuju
kehidupan digital tidak bisa dielakkan. Digitalisasi menjadi keharusan
alih-alih sebatas opsi. Sistem pembayaran pun tak
luput dari dahsyatnya tsunami teknologi informasi. Otoritas sistem pembayaran
harus mengadaptasi dan mengadopsi perkembangan teknologi digital. Kebijakan
sistem pembayaran, oleh karenanya, terus bermetamorfosis dari pola
konvensional menuju strategi berbasis teknologi digital. Sejalan dengan
perkembangan di atas, Bank Indonesia (BI) selaku otoritas sistem pembayaran
terus berinovasi. BI menginisiasi Gerbang Pembayaran Nasional (GPN),
penghubung antar-switching dalam pembayaran transaksi perbankan. Muncul lagi babak baru
dengan quick response Indonesia standard (QRIS) per 1 Januari 2020. Metode
pembayaran nontunai berbasis kode QR ini, untuk semua aplikasi pembayaran
uang elektronik berbasis server, dompet elektronik, dan mobile banking. BI juga meluncurkan BI
Fast, infrastruktur sistem pembayaran yang dapat diakses lewat aplikasi, yang
disediakan industri sistem pembayaran dalam memfasilitasi transaksi
pembayaran ritel bagi masyarakat secara cepat dan tersedia setiap saat. Berbagai infrastruktur di
atas, mendorong transaksi pembayaran lebih efisien, inklusi keuangan akan
lebih cepat tercapai, kegiatan usaha lebih maju, dan mendorong pertumbuhan
ekonomi. Alhasil, visi Sistem Pembayaran Indonesia 2025 sudah diinisiasi. Dalam perspektif teoretis,
kenyataan di atas merupakan keniscayaan. Infrastruktur sistem pembayaran
secara konseptual adalah ‘barang publik’. Barang publik sangat dibutuhkan
masyarakat, tetapi tipikal tidak semua produsen mau dan mampu menjadi
pemasoknya. Kalaupun ada yang mau dan
mampu menyediakan infrastruktur keuangan, kualitas dan kuantitasnya terlalu
sedikit. Misalnya, sistem pembayaran digital, perbankan, dan lembaga jasa
keuangan menyediakan layanan sendiri-sendiri dan eksklusif bagi nasabahnya. Jika transaksi keuangan
terjadi lintas lembaga jasa keuangan, biaya yang dipungut relatif mahal. Ini
disinsentif tersendiri bagi pelaku ekonomi, yang nilainya jika dikalkulasi
secara ekonomi sangat material. Ketiadaan pemasok barang
publik tersebut memang bisa dimaklumi. Sekali barang publik itu dipasok,
konsumsi barang publik tidaklah bersaingan. Ketika sudah tersedia, konsumsi
barang publik tidak dapat mengecualikan siapa penikmatnya. Gejala ketiadaan pemasok
serta konsumsinya tak bersaingan dan tak dapat dikecualikan, mengindikasikan
fenomena kegagalan pasar. Sistem pembayaran digital yang menjangkau semua
layanan keuangan menjadi kebutuhan bersama, yang tak bisa diserahkan ke
mekanisme pasar. Kegagalan mekanisme pasar
menuntut pemerintah mengintervensi pasar. Ketiadaan produsen mewajibkan
pemerintah turun tangan menjadi pemasoknya. Dengan argumen ini, pengembangan
infrastruktur sistem pembayaran diambil alih BI sebagai ‘pemerintah’. Komparasi dengan negara
lain, menunjukkan kesamaan. Pengembangan infrastruktur keuangan digital
adalah komponen fungsi makroprudensial untuk stabilisasi pasar. Infrastruktur
sistem pembayaran menjadi bagian integral dari sirkulasi uang dan sistem
pembayaran, yang menjadi ranah bank sentral. Bagaimanapun, uang adalah
‘darah’ bagi perekonomian dan peredaran darah tadi berpusat di jantung, yakni
lembaga keuangan. Alhasil, infrastruktur sistem pembayaran digital lintas
semua lembaga keuangan menjadi wahana ‘jantung sehat’ guna memperlancar
peredaran darah perekonomian. Hanya persoalannya, ongkos
penyediaan infrastruktur sistem pembayaran digital tadi terasa sangat mahal
jika tidak optimal pemanfaatannya. Investasi BI sangat besar untuk membangun
infrastruktur sistem pembayaran digital dengan kapasitas mumpuni. Karena itu, BI harus bisa
menceburkan semua pelaku ekonomi agar masuk ekosistem digital yang telah
dibangun. Tesis ini sejatinya tak mengada-ada. Data menunjukkan, belum semua
bank dan lembaga jasa keuangan yang beroperasi di Indonesia sebagai mitra BI
Fast. Keterceburan pelaku
ekonomi ke ekosistem digital niscaya bukan lagi problem bagi mereka yang
sudah ‘melek digital’. Mereka (konsumen, distributor, dan produsen) bisa
mengalkulasi sendiri besaran biaya dan manfaat atas keputusannya masuk ke
dalam ekosistem digital. Persoalan muncul ketika
berhadapan dengan pelaku ekonomi yang belum ‘melek digital’. Berapa jumlah UMKM dan
berapa yang sudah menggunakan QRIS sebagai media transaksi, dengan sendirinya
menunjukkan betapa besar tantangan dalam membangun ekonomi digital. ● Sumber :
https://www.republika.id/posts/29967/tantangan-ekonomi-digital%c2%a0 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar