Minggu, 17 Juli 2022

 

Tantangan Ekonomi Digital

Haryo Kuncoro :  Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta dan Direktur Riset the Socio-Economic & Educational Business Institute (SEEBI) Jakarta

REPUBLIKA, 16 Juli 2022

 

 

                                                           

Perkembangan pesat teknologi informasi membawa perubahan besar pada hampir semua sendi kehidupan. Internet of things begitu menggejala. Transformasi menuju kehidupan digital tidak bisa dielakkan. Digitalisasi menjadi keharusan alih-alih sebatas opsi.

 

Sistem pembayaran pun tak luput dari dahsyatnya tsunami teknologi informasi.

 

Otoritas sistem pembayaran harus mengadaptasi dan mengadopsi perkembangan teknologi digital. Kebijakan sistem pembayaran, oleh karenanya, terus bermetamorfosis dari pola konvensional menuju strategi berbasis teknologi digital.

 

Sejalan dengan perkembangan di atas, Bank Indonesia (BI) selaku otoritas sistem pembayaran terus berinovasi. BI menginisiasi Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), penghubung antar-switching dalam pembayaran transaksi perbankan.

 

Muncul lagi babak baru dengan quick response Indonesia standard (QRIS) per 1 Januari 2020. Metode pembayaran nontunai berbasis kode QR ini, untuk semua aplikasi pembayaran uang elektronik berbasis server, dompet elektronik, dan mobile banking.

 

BI juga meluncurkan BI Fast, infrastruktur sistem pembayaran yang dapat diakses lewat aplikasi, yang disediakan industri sistem pembayaran dalam memfasilitasi transaksi pembayaran ritel bagi masyarakat secara cepat dan tersedia setiap saat.

 

Berbagai infrastruktur di atas, mendorong transaksi pembayaran lebih efisien, inklusi keuangan akan lebih cepat tercapai, kegiatan usaha lebih maju, dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Alhasil, visi Sistem Pembayaran Indonesia 2025 sudah diinisiasi.

 

Dalam perspektif teoretis, kenyataan di atas merupakan keniscayaan. Infrastruktur sistem pembayaran secara konseptual adalah ‘barang publik’. Barang publik sangat dibutuhkan masyarakat, tetapi tipikal tidak semua produsen mau dan mampu menjadi pemasoknya.

Kalaupun ada yang mau dan mampu menyediakan infrastruktur keuangan, kualitas dan kuantitasnya terlalu sedikit. Misalnya, sistem pembayaran digital, perbankan, dan lembaga jasa keuangan menyediakan layanan sendiri-sendiri dan eksklusif bagi nasabahnya.

 

Jika transaksi keuangan terjadi lintas lembaga jasa keuangan, biaya yang dipungut relatif mahal. Ini disinsentif tersendiri bagi pelaku ekonomi, yang nilainya jika dikalkulasi secara ekonomi sangat material.

 

Ketiadaan pemasok barang publik tersebut memang bisa dimaklumi. Sekali barang publik itu dipasok, konsumsi barang publik tidaklah bersaingan. Ketika sudah tersedia, konsumsi barang publik tidak dapat mengecualikan siapa penikmatnya.

 

Gejala ketiadaan pemasok serta konsumsinya tak bersaingan dan tak dapat dikecualikan, mengindikasikan fenomena kegagalan pasar. Sistem pembayaran digital yang menjangkau semua layanan keuangan menjadi kebutuhan bersama, yang tak bisa diserahkan ke mekanisme pasar.

 

Kegagalan mekanisme pasar menuntut pemerintah mengintervensi pasar. Ketiadaan produsen mewajibkan pemerintah turun tangan menjadi pemasoknya. Dengan argumen ini, pengembangan infrastruktur sistem pembayaran diambil alih BI sebagai ‘pemerintah’.

 

Komparasi dengan negara lain, menunjukkan kesamaan. Pengembangan infrastruktur keuangan digital adalah komponen fungsi makroprudensial untuk stabilisasi pasar. Infrastruktur sistem pembayaran menjadi bagian integral dari sirkulasi uang dan sistem pembayaran, yang menjadi ranah bank sentral.

 

Bagaimanapun, uang adalah ‘darah’ bagi perekonomian dan peredaran darah tadi berpusat di jantung, yakni lembaga keuangan. Alhasil, infrastruktur sistem pembayaran digital lintas semua lembaga keuangan menjadi wahana ‘jantung sehat’ guna memperlancar peredaran darah perekonomian.

 

Hanya persoalannya, ongkos penyediaan infrastruktur sistem pembayaran digital tadi terasa sangat mahal jika tidak optimal pemanfaatannya. Investasi BI sangat besar untuk membangun infrastruktur sistem pembayaran digital dengan kapasitas mumpuni.

 

Karena itu, BI harus bisa menceburkan semua pelaku ekonomi agar masuk ekosistem digital yang telah dibangun. Tesis ini sejatinya tak mengada-ada. Data menunjukkan, belum semua bank dan lembaga jasa keuangan yang beroperasi di Indonesia sebagai mitra BI Fast.

 

Keterceburan pelaku ekonomi ke ekosistem digital niscaya bukan lagi problem bagi mereka yang sudah ‘melek digital’. Mereka (konsumen, distributor, dan produsen) bisa mengalkulasi sendiri besaran biaya dan manfaat atas keputusannya masuk ke dalam ekosistem digital.

 

Persoalan muncul ketika berhadapan dengan pelaku ekonomi yang belum ‘melek digital’.

 

Berapa jumlah UMKM dan berapa yang sudah menggunakan QRIS sebagai media transaksi, dengan sendirinya menunjukkan betapa besar tantangan dalam membangun ekonomi digital. ●

 

Sumber :   https://www.republika.id/posts/29967/tantangan-ekonomi-digital%c2%a0

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar