Minggu, 17 Juli 2022

 

Politik Energi dan Kenaikan Harga BBM

  Herry Mendrofa :  Pengamat Sosial-Politik dan Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Strategic Actions (CISA)

KUMPARAN.COM, 15 Juli 2022

 

 

                                                           

Secara mengejutkan Pemerintah kembali menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM)  non subsidi seperti Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex serta Gas per Minggu 10 Juli 2022 yang lalu.

 

Kebijakan kenaikan harga BBM ini berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 62 K/12/MEM/2020 tentang Formula Harga Dasar Dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum.

 

Selain itu pertimbangan pemerintah menaikkan harga BBM dan Gas secara tiba-tiba ini dikaitkan dengan insiden naiknya harga minyak mentah dunia seperti Brent dan West Texas Intermediate (WTI) yang masing-masing naik sekitar 2 persen.

 

Padahal kenaikan harga Brent dan WTI ini sebenarnya masih fluktuatif. Sehingga tak bisa dipungkiri kondisi ini juga berdampak terhadap situasi harga BBM dalam negeri.

 

Keputusan Pemerintah menaikkan harga BBM non subsidi juga dipengaruhi oleh besarnya tanggungan APBN dalam memberikan subsidi bagi jenis BBM seperti Pertalite dan Biosolar.

 

Diketahui bahwa total anggaran yang diberikan untuk subsidi dan kompensasi energi pada tahun 2022 saja telah mencapai Rp 443,6 triliun dari alokasi awal Rp 152,5 triliun.

 

Adapun rincian dari tambahan anggaran untuk subsidi Rp 208,9 triliun dari semula hanya Rp 134 triliun atau lebih tinggi Rp 74,9 triliun dari APBN, dan tambahan anggaran kompensasi BBM dan listrik yang meningkat menjadi Rp 293,5 triliun dari semula dalam APBN hanya Rp 18,5 triliun atau lebih tinggi Rp 275 triliun dari APBN.

 

Sedangkan anggaran kompensasi energi terdiri dari kompensasi BBM Rp 252,5 triliun dan anggaran kompensasi listrik Rp 41 triliun.

 

Nilai kompensasi energi pun naik 5 kali lipat dari postur awal, sementara subsidi energi naik 48 persen. Maka, kita tak heran jika belanja negara dalam APBN tahun 2022 mencapai Rp3.106 triliun.

 

Politik Energi

 

Pada dasarnya politik energi sebuah negara merupakan salah satu variabel penting yang dibutuhkan dalam konteks memetakan potensi yang dimiliki negara tersebut. Lazimnya, politik energi biasanya diterjemahkan dalam berbagai macam kebijakan yang kemudian dikeluarkan pemerintah di berbagai aspek untuk mendukung sektor energi.

 

Politik energi inilah kemudian diberlakukan juga di negara-negara lain. Bahkan tak tanggung-tanggung beberapa negara-negara di dunia ini justru memiliki konsepsi yang tegas mengenai target yang jelas dalam pengembangan atau pemanfaatan sumber energi di negaranya.

 

Seperti halnya Amerika Serikat (AS) misalnya, telah memiliki konsepsi politik energi dengan istilah addict to oil sehingga semua kebijakan yang dikeluarkan AS melalui kebijakan perdagangan, luar negeri, dan lainnya harus koheren dan bertujuan untuk mendukung atau menyokong kebijakan energi negara tersebut.

 

Selain itu ada Tiongkok yang juga merupakan negara yang paling agresif dalam meningkatkan produktifitas energi melalui politik energi secara aplikatif. Kebijakan politik energi Tiongkok juga membuat negara ini menjadi konsumen minyak terbesar kedua dunia setelah AS. Sehingga dalam hal memenuhi kebutuhan yang sangat besar tersebut, stakeholder negara itu mengambil kebijakan untuk bersepakat agar negaranya harus lebih agresif terlibat dalam pasar minyak dunia.

 

Memang mesti disadari bahwa usaha Tiongkok pun ini mulai mengikuti mekanisme pasar internasional yang berlaku dan tidak memiliki pilihan lain kecuali mengikuti praktik kompetisi global untuk produk-produk energi agar terlihat jelas.

 

Kebijakan politik energi Tiongkok juga mempengaruhi jumlah permintaan untuk minyak yang terus meningkat. Kondisi ini pun kemudian mendorong Tiongkok melakukan ekspansi berbagai kegiatan bisnisnya termasuk soal energi ke wilayah Asia dan Afrika.

 

Kondisi Dalam Negeri

 

Akhirnya publik pun ingin tahu bagaimana dengan politik energi Indonesia? apakah langkah Indonesia menaikan harga BBM khususnya non subsidi merupakan pilihan kebijakan yang tepat? atau karena Indonesia belum memiliki konsepsi mengenai politik energi dalam negeri yang jelas dan terukur?

 

Pada dasarnya kita tidak perlu ragu bahwa Indonesia berlimpah soal kekayaan alamnya tanpa terkecuali soal minyak.

 

Bahkan Indonesia tercatat sebagai negara yang tergabung dalam negara-negara 10 besar G20 lainnya yang membuat Indonesia sukses menempati posisi ke-9 dalam daftar ini dengan produksi minyak mentah sebesar 644 ribu barel per hari (bph) periode September 2021.

 

Ditambah lagi tersedianya 7 blok minyak potensial seperti Blok Rokan, Blok Cepu, Blok Mahakam, Kilang Minyak Cilacap, Kilang Minyak di Sumatera Selatan, Kilang Minyak Balongan, serta Natuna Sea Block A, Natuna Sea Block B, dan South Natuna Sea Block A yang jika tepat pengelolaannya maka diprediksi mampu menghasilkan sekurang-kurangnya 1 juta bph.

 

Sehingga hal ini menjadi potensi sumber yang dapat meringankan upaya Pemerintah dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi secara nasional yang diperkirakan mencapai 1 juta lebih bph.

 

Apalagi kemampuan pengadaan minyak dalam negeri tidak hanya bersumber dari sumber daya alam yang ada melainkan tersedianya kebijakan impor minyak mentah dari luar negeri.

 

Faktanya, Indonesia melakukan impor minyak mentah paling banyak dari Arab Saudi dengan volume mencapai 4,42 juta ton dan nilai US$2,27 miliar. Volume itu mencapai 32,08 persen dari total impor minyak mentah Indonesia yang totalnya seberat 13,78 juta ton.

 

Belum lagi impor minyak mentah dari negara-negara lain seperti Nigeria, Australia, dan negara lainnya.

 

Kendati demikian, ironisnya kendala dan tantangan pengelolaan minyak bumi di Indonesia masih menjadi alasan yang cenderung dirasionalkan ke publik agar mengerti dan paham persoalan kenaikan harga BBM yang sering terjadi secara tiba-tiba di negeri ini.

 

Akibatnya setidak-tidaknya sejak April 2022 lalu, Pertamina telah menaikkan harga Pertamax menjadi Rp 12.500 hingga Rp 13.000 per liter dari sebelumnya Rp 9.000 per liter.

 

Namun, harga keekonomian BBM umum RON 92 atau setara Pertamax pada April 2022 diperkirakan mencapai Rp 16.000 per liter, lebih tinggi dari harga keekonomian pada Maret 2022 yang sebesar Rp 14.526 per liter.

 

Kemudian pada Minggu 10 Juli 2022 Pemerintah menetapkan harga BBM jenis pertalite masih Rp 7.650 per liter, harga Pertamax masih Rp 12.500 per liter.

 

Sedangkan harga Pertamax Turbo mengalami perubahan yang semula dibanderol harga Rp 14.500 per liter, naik menjadi Rp 16.200-Rp.900 per liter tergantung dengan wilayah.

 

Sementara, BBM Dexlite mengalami kenaikan harga dari Rp 12.950 per liter, saat ini menjadi sekitar Rp 15.000 per liter. Kemudian harga BBM jenis Pertamina Dex naik dari sebelumnya Rp 13.700 per liter menjadi Rp 17.000-an per liter.

 

Di sisi lain, potensi pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi alternatif terhadap situasi global saat ini karena Indonesia memiliki potensi 474 Giga Watt sumber EBT di Indonesia hanya saja sangat disayangkan manajemen tata kelolanya pun masih belum memadai.

 

Perlu kerja keras pemerintah mengembangkan kemitraan strategis serta penguasaan teknologi pengelolaan EBT dengan baik. Niscaya upaya ini akan berdampak kepada masyarakat termasuk terhadap ketergantungan Indonesia soal impor minyak mentah dapat diminimalisasi.

 

Sumber :   https://kumparan.com/cisaindonesiaofficial/politik-energi-dan-kenaikan-harga-bbm-1ySYzR2zypy/full

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar