Politik Energi dan Kenaikan Harga BBM Herry
Mendrofa : Pengamat
Sosial-Politik dan Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Strategic Actions
(CISA) |
KUMPARAN.COM,
15 Juli 2022
Secara mengejutkan
Pemerintah kembali menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi seperti Pertamax Turbo,
Dexlite, dan Pertamina Dex serta Gas per Minggu 10 Juli 2022 yang lalu. Kebijakan kenaikan harga
BBM ini berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 62 K/12/MEM/2020
tentang Formula Harga Dasar Dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan
Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan Melalui
Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum. Selain itu pertimbangan
pemerintah menaikkan harga BBM dan Gas secara tiba-tiba ini dikaitkan dengan
insiden naiknya harga minyak mentah dunia seperti Brent dan West Texas
Intermediate (WTI) yang masing-masing naik sekitar 2 persen. Padahal kenaikan harga
Brent dan WTI ini sebenarnya masih fluktuatif. Sehingga tak bisa dipungkiri
kondisi ini juga berdampak terhadap situasi harga BBM dalam negeri. Keputusan Pemerintah
menaikkan harga BBM non subsidi juga dipengaruhi oleh besarnya tanggungan
APBN dalam memberikan subsidi bagi jenis BBM seperti Pertalite dan Biosolar. Diketahui bahwa total
anggaran yang diberikan untuk subsidi dan kompensasi energi pada tahun 2022
saja telah mencapai Rp 443,6 triliun dari alokasi awal Rp 152,5 triliun. Adapun rincian dari
tambahan anggaran untuk subsidi Rp 208,9 triliun dari semula hanya Rp 134
triliun atau lebih tinggi Rp 74,9 triliun dari APBN, dan tambahan anggaran
kompensasi BBM dan listrik yang meningkat menjadi Rp 293,5 triliun dari
semula dalam APBN hanya Rp 18,5 triliun atau lebih tinggi Rp 275 triliun dari
APBN. Sedangkan anggaran
kompensasi energi terdiri dari kompensasi BBM Rp 252,5 triliun dan anggaran
kompensasi listrik Rp 41 triliun. Nilai kompensasi energi
pun naik 5 kali lipat dari postur awal, sementara subsidi energi naik 48
persen. Maka, kita tak heran jika belanja negara dalam APBN tahun 2022
mencapai Rp3.106 triliun. Politik
Energi Pada dasarnya politik
energi sebuah negara merupakan salah satu variabel penting yang dibutuhkan
dalam konteks memetakan potensi yang dimiliki negara tersebut. Lazimnya,
politik energi biasanya diterjemahkan dalam berbagai macam kebijakan yang
kemudian dikeluarkan pemerintah di berbagai aspek untuk mendukung sektor
energi. Politik energi inilah
kemudian diberlakukan juga di negara-negara lain. Bahkan tak tanggung-tanggung
beberapa negara-negara di dunia ini justru memiliki konsepsi yang tegas
mengenai target yang jelas dalam pengembangan atau pemanfaatan sumber energi
di negaranya. Seperti halnya Amerika
Serikat (AS) misalnya, telah memiliki konsepsi politik energi dengan istilah
addict to oil sehingga semua kebijakan yang dikeluarkan AS melalui kebijakan
perdagangan, luar negeri, dan lainnya harus koheren dan bertujuan untuk
mendukung atau menyokong kebijakan energi negara tersebut. Selain itu ada Tiongkok yang
juga merupakan negara yang paling agresif dalam meningkatkan produktifitas
energi melalui politik energi secara aplikatif. Kebijakan politik energi
Tiongkok juga membuat negara ini menjadi konsumen minyak terbesar kedua dunia
setelah AS. Sehingga dalam hal memenuhi kebutuhan yang sangat besar tersebut,
stakeholder negara itu mengambil kebijakan untuk bersepakat agar negaranya
harus lebih agresif terlibat dalam pasar minyak dunia. Memang mesti disadari
bahwa usaha Tiongkok pun ini mulai mengikuti mekanisme pasar internasional
yang berlaku dan tidak memiliki pilihan lain kecuali mengikuti praktik
kompetisi global untuk produk-produk energi agar terlihat jelas. Kebijakan politik energi
Tiongkok juga mempengaruhi jumlah permintaan untuk minyak yang terus
meningkat. Kondisi ini pun kemudian mendorong Tiongkok melakukan ekspansi
berbagai kegiatan bisnisnya termasuk soal energi ke wilayah Asia dan Afrika. Kondisi Dalam Negeri Akhirnya publik pun ingin
tahu bagaimana dengan politik energi Indonesia? apakah langkah Indonesia
menaikan harga BBM khususnya non subsidi merupakan pilihan kebijakan yang
tepat? atau karena Indonesia belum memiliki konsepsi mengenai politik energi
dalam negeri yang jelas dan terukur? Pada dasarnya kita tidak
perlu ragu bahwa Indonesia berlimpah soal kekayaan alamnya tanpa terkecuali
soal minyak. Bahkan Indonesia tercatat
sebagai negara yang tergabung dalam negara-negara 10 besar G20 lainnya yang
membuat Indonesia sukses menempati posisi ke-9 dalam daftar ini dengan
produksi minyak mentah sebesar 644 ribu barel per hari (bph) periode
September 2021. Ditambah lagi tersedianya
7 blok minyak potensial seperti Blok Rokan, Blok Cepu, Blok Mahakam, Kilang
Minyak Cilacap, Kilang Minyak di Sumatera Selatan, Kilang Minyak Balongan,
serta Natuna Sea Block A, Natuna Sea Block B, dan South Natuna Sea Block A
yang jika tepat pengelolaannya maka diprediksi mampu menghasilkan
sekurang-kurangnya 1 juta bph. Sehingga hal ini menjadi
potensi sumber yang dapat meringankan upaya Pemerintah dalam rangka memenuhi
kebutuhan konsumsi secara nasional yang diperkirakan mencapai 1 juta lebih
bph. Apalagi kemampuan
pengadaan minyak dalam negeri tidak hanya bersumber dari sumber daya alam
yang ada melainkan tersedianya kebijakan impor minyak mentah dari luar negeri. Faktanya, Indonesia
melakukan impor minyak mentah paling banyak dari Arab Saudi dengan volume
mencapai 4,42 juta ton dan nilai US$2,27 miliar. Volume itu mencapai 32,08
persen dari total impor minyak mentah Indonesia yang totalnya seberat 13,78
juta ton. Belum lagi impor minyak
mentah dari negara-negara lain seperti Nigeria, Australia, dan negara
lainnya. Kendati demikian,
ironisnya kendala dan tantangan pengelolaan minyak bumi di Indonesia masih
menjadi alasan yang cenderung dirasionalkan ke publik agar mengerti dan paham
persoalan kenaikan harga BBM yang sering terjadi secara tiba-tiba di negeri
ini. Akibatnya setidak-tidaknya
sejak April 2022 lalu, Pertamina telah menaikkan harga Pertamax menjadi Rp
12.500 hingga Rp 13.000 per liter dari sebelumnya Rp 9.000 per liter. Namun, harga keekonomian
BBM umum RON 92 atau setara Pertamax pada April 2022 diperkirakan mencapai Rp
16.000 per liter, lebih tinggi dari harga keekonomian pada Maret 2022 yang
sebesar Rp 14.526 per liter. Kemudian pada Minggu 10 Juli
2022 Pemerintah menetapkan harga BBM jenis pertalite masih Rp 7.650 per
liter, harga Pertamax masih Rp 12.500 per liter. Sedangkan harga Pertamax
Turbo mengalami perubahan yang semula dibanderol harga Rp 14.500 per liter,
naik menjadi Rp 16.200-Rp.900 per liter tergantung dengan wilayah. Sementara, BBM Dexlite
mengalami kenaikan harga dari Rp 12.950 per liter, saat ini menjadi sekitar
Rp 15.000 per liter. Kemudian harga BBM jenis Pertamina Dex naik dari
sebelumnya Rp 13.700 per liter menjadi Rp 17.000-an per liter. Di sisi lain, potensi
pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi alternatif terhadap situasi
global saat ini karena Indonesia memiliki potensi 474 Giga Watt sumber EBT di
Indonesia hanya saja sangat disayangkan manajemen tata kelolanya pun masih
belum memadai. Perlu kerja keras
pemerintah mengembangkan kemitraan strategis serta penguasaan teknologi
pengelolaan EBT dengan baik. Niscaya upaya ini akan berdampak kepada
masyarakat termasuk terhadap ketergantungan Indonesia soal impor minyak
mentah dapat diminimalisasi. ● Sumber :
https://kumparan.com/cisaindonesiaofficial/politik-energi-dan-kenaikan-harga-bbm-1ySYzR2zypy/full |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar