Menunggu
Insentif dan Ekosistem Kendaraan Listrik Wihana
Kirana Jaya : Guru Besar FEB UGM, Staf Khusus
Menteri Perhubungan |
KOMPAS, 14 Juli 2022
Institutions matter, demikian premis utama
New Institutional Economics. Norwegia membuktikan ungkapan ini dan sukses
memimpin penggunaan kendaraan listrik di dunia. Institusi di sini dalam arti peraturan
formal atau rules of the games, khususnya kebijakan/regulasi yang memang
didesain sebagai skema insentif untuk menstimulasi pasar kendaraan listrik.
Sementara di negara kita, setelah terbit Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun
2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai
(KBLBB), belum ada perkembangan signifikan, baik dalam produksi maupun
penjualan KBLBB dalam negeri, terutama mobil listrik murni (all electric
car). Pandemi Covid-19, terutama paruh pertama
2020, secara umum memang bukan momentum tepat untuk menggenjot investasi,
khususnya bagi investor, sehingga percepatan belum dimungkinkan. Terlebih
selama 2020 dan 2021, energi pemerintah tersedot untuk penanggulangan dampak
pandemi. Sampai saat ini pun, masih banyak negara yang menghadapi lonjakan
kasus Covid-19, termasuk Australia dan Selandia Baru. Sebagaimana tertera dalam perpres,
percepatan program KBLBB itu didorong oleh alasan demi peningkatan efisiensi
energi, ketahanan energi, dan konservasi energi sektor transportasi, serta
terwujudnya energi bersih, kualitas udara bersih, dan ramah lingkungan. Hal
ini sesuai komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca. Di luar alasan keberlanjutan itu,
pengembangan KBLBB di Indonesia sangat beralasan karena ketersediaan bahan
baku, seperti nikel, bauksit, mangan, baik untuk rangka/badan maupun baterai
kendaraan listrik, cukup melimpah. Cadangan aluminium 1,2 miliar ton, mangan
43 juta ton, tembaga 53 juta ton, nikel 21 juta ton. Dalam bentuk bijih
(ore), cadangan nikel mencapai 4,5 miliar ton, yang diperkirakan cukup untuk
73 tahun untuk kadar rendah (limonite nickel) dan 27 tahun untuk kadar tinggi
(saprolite nickel). Dengan konsep sirkularitas (ekonomi
sirkular), umur cadangan pasti jauh lebih panjang sehingga dapat mendukung
industri KBLBB secara berkelanjutan. Teori keunggulan komparatif (comparative
advantage) mendukung pengembangan industri KBLBB dan baterai kendaraan
listrik. Namun, sumber daya mineral ini tentu saja harus diolah terlebih dulu
melalui smelter dengan mendatangkan investor. Dengan dukungan cadangan sumber daya
yang cukup melimpah plus hilirisasi, secara ideal perlu dibangun ekosistem
industri KBLBB nasional yang (akan) melibatkan regulator, industri manufaktur
KBLBB, industri manufaktur baterai listrik, industri komponen, penyedia
charging station, asosiasi industri otomotif, dan lainnya. Dalam hal ini,
nilai strategisnya lebih tinggi jika BUMN juga menjadi salah satu pemain
kunci, baik pada industri manufaktur KBLBB maupun baterai KBLBB. Pemerintah melalui holding Indonesia
Battery Corporation (IBC) telah berupaya untuk mengakuisisi Street Scooter
Engineering, pabrikan KBLBB asal Jerman, tetapi tidak berhasil. Pabrikan itu
kini telah diakuisisi oleh Odin Automotive asal Luksemburg. Ketika akuisisi gagal, strategi lainnya
tentu butuh waktu agak lebih panjang. IBC mungkin saja menggandeng PT Pindad,
PT LEN, Hyundai, dan sejumlah perguruan tinggi untuk mengembangkan prototipe
mobil listrik nasional, untuk kemudian diproduksi secara massal. Selain
Hyundai, kerja sama dengan pabrikan otomotif Turki yang lebih ”ramah transfer
teknologi” menjadi alternatif yang dapat dipertimbangkan. Optimisme perlu dibangun mengingat
secara teknologi, mobil listrik lebih sederhana dibandingkan dengan mobil
berbasis internal combustion engine yang menggunakan BBM fosil. Skema insentif Mendongkrak pasar KBLBB tentu tidak
hanya melibatkan sisi suplai, tetapi juga sisi permintaan. Dalam hal ini,
Norwegia dapat dijadikan referensi. Berdasarkan data Statista, tahun 2020
Norwegia merajai jumlah kendaraan listrik per 1.000 penduduk, yakni sebanyak
81, disusul Eslandia (35,8), Swedia (20), Belanda (10,7), dan Jerman (8,5).
Pada barisan berikutnya Inggris (6,7), Perancis (6,5), AS (5,2), China (3),
dan Korsel (2,9). Tahun yang sama, porsi plug in electric
car dalam penjualan mobil baru di Norwegia juga mencatat rekor, yakni 74,8
persen, diikuti Eslandia (45 persen), Swedia (32,2 persen), Belanda (24,9
persen), dan Denmark (16,4 persen). Selanjutnya, Swiss (14,3 persen),
Portugal (15,5 persen), Jerman (13,5 persen), dan Luksemburg (11,4 persen). Keberhasilan Norwegia sebagai world’s
top-selling electric-vehicle market per capita dapat menjadi pembelajaran
bagi kita. Tingginya adopsi KBLBB di negara tersebut adalah berkat dukungan
di bauran kebijakan yang menguntungkan, harga BBM fosil yang relatif tinggi,
dan upaya-upaya dari asosiasi KBLBB di tingkat akar rumput yang impresif. Norwegia akan menjadi negara pertama di
dunia yang bakal melarang penjualan kendaraan berbasis BBM fosil pada 2025.
Konsisten dengan keberlanjutan, pabrik daur ulang baterai KBLBB terbesar di
Eropa telah beroperasi di Fredrikstad, dengan kapasitas 12.000 ton per tahun
atau sekitar 25.000 unit baterai KBLBB. Sejak 1990, seabrek insentif telah
diberikan oleh parlemen/pemerintah Norwegia untuk kendaraan beremisi nol
(zero emission vehicle/ZEV), khususnya KBLBB. Sebut saja pembebasan pajak
impor (sejak 1990), pengecualian dari PPN 25 persen untuk pembelian KBLBB,
pembebasan pajak jalan (1996-2021, yang kemudian diberlakukan mulai 2022). Selain itu, gratis jalan tol (1997-2017,
bayar 50 persen sejak 2019), gratis di kapal penyeberangan (2009-2017, dan
kemudian bayar 50 persen sejak 2018), dan gratis parkir di kota-kota yang
berada di bawah pemerintahan kota (municipal). Parlemen memberikan charging
right, tentu saja gratis, bagi para penghuni apartemen. Keistimewaan lain adalah akses ke
lajur-lajur bus (sejak 2005), dengan aturan baru yang memungkinkan otoritas
lokal membatasi untuk mobil listrik yang berpenumpang lebih dari satu orang
sejak 2016. Pajak mobil listrik perusahaan hanya dikenai 50 persen
(2000-2008), kemudian 40 persen (2018-2021), dan 20 persen mulai 2022.
Leasing juga bebas PPN (25 persen), sejak 2015. Untuk mendukung sekitar 480.000 mobil
listrik, dibangun jaringan charging station yang per Maret 2022 mencapai
17.000 dengan 3.000 di antaranya fast charger. Untuk setiap jarak 50
kilometer pada jalan utama, telah dibangun fast chargingstation. Waktu yang
dibutuhkan untuk isi ulang pada fast charging station sekitar 15 menit. Lantas bagaimana Norwegia mendanai
implementasi skema insentif KBLBB ini? Pajak karbon yang dikenakan pada
kendaraan yang menggunakan BBM, termasuk pajak impor, menjadi sumber dana
untuk membiayai skema insentif KBLBB. Sebagai contoh, mobil Volkswagen (VW)
Golf konvensional versus VW e-Golf masing-masing harga impornya 22.046 krone
dan 33.307 krone. Harga impor VW e-Golf lebih mahal. Namun, setelah dikenai pajak CO2, pajak
NOx, pajak berat kendaraan, scrapping fee, dan PPN 25 persen, harga eceran VW
Golf konvensional menjadi 34.000 krone lebih, dan harga eceran VW e-Golf
menjadi 33.286 krone, karena hanya dikenai scrapping fee. Sementara, di negara Skandinavia
lainnya, yakni Eslandia, yang menjadi runner-up dalam jumlah kendaraan
listrik per 1.000 penduduk, impor KBLBB juga tidak dikenai pajak. Namun,
pembebasan PPN (25,5 persen) untuk KBLBB dibatasi sampai dengan nilai 6 juta
krone Eslandia (46.000 dollar AS). Tantangan di negara kita untuk
percepatan KBLBB tampaknya lebih kompleks. Sebab, di samping berkepentingan
mendongkrak sisi permintaan domestik, negara kita layak menjadi salah satu
pemain besar (produsen) di pasar KBLBB global. Mungkin sebagian besar
masyarakat menginginkan harga mobil listrik yang tidak lebih mahal daripada
Kijang atau Avanza konvensional. Akan tetapi, dalam jangka pendek, hal ini
akan sulit terwujud antara lain karena kendala skala ekonomi/(dis)economies
of scale. Insentif bagi konsumen bisa menjadi disinsentif bagi produsen ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/13/menunggu-insentif-dan-ekosistem-kendaraan-listrik |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar