Minggu, 17 Juli 2022

 

Mencla-mencle

Gaudensius Suhardi :  Redaksi Media Group

MEDIA INDONESIA, 13 Juli 2022

 

                                                

 

 SEORANG teman uring-uringan di kedai kopi. Dia mengaku kecewa atas kebijakan pejabat di negeri ini yang ia sebut ibarat pagi kedelai, sore tempe. Ungkapan itu dimaksudkan sebagai sindiran terhadap sikap inkonsistensi, plin-plan, mencla-mencle.

 

Ia terus saja nyerocos. Kata dia, lidah para pemimpin di negeri ini memang tidak bertulang. Kemudian ia melantunkan sepenggal lirik lagu Tinggi Gunung Seribu Janji dari Bob Tutupoly: ‘memang lidah tak bertulang tak berbekas kata-kata’.

 

Saya mencoba menyimak jalan pikiran teman itu. Dalam hati, saya membenarkannya sebab para pemimpin itu amat kampiun dalam hal bersilat lidah. Dan, ciri paling menonjol dari para jago bicara ialah inkonsistensi.

 

Kemudian saya menasihati temanku. “Apa yang engkau katakan 100% benar, tapi belum 100% yang benar engkau katakan.” Bukankah Presiden Joko Widodo, saat pidato dalam sidang tahunan MPR pada 16 Agustus 2021, sudah mengakui kebijakan-kebijakan pemerintah yang terkesan mencla-mencle?

 

Presiden mengatakan tujuan dan arah kebijakan tetap dipegang secara konsisten, tetapi strategi dan manajemen lapangan harus dinamis menyesuaikan permasalahan dan tantangan.

 

“Pengetatan dan pelonggaran mobilitas masyarakat, misalnya, harus dilakukan paling lama setiap minggu dengan merujuk kepada data-data terkini. Mungkin hal ini sering dibaca sebagai kebijakan yang berubah-ubah atau sering dibaca sebagai kebijakan yang tidak konsisten,” kata Jokowi menjelaskan kebijakan di masa pandemi covid-19.

 

Elok nian bila para pejabat menjelaskan secara terbuka latar belakang perubahan sebuah keputusan sehingga tidak disebut plin-plan. Itu karena ucapan merupakan cermin pikiran dan pribadi seseorang.

 

Ambil contoh kebijakan pemerintah pusat yang merevisi kenaikan level pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM di Jakarta dari 2 ke 1 hanya dalam satu hari.

 

Alasan revisi yang disampaikan Direktur Jenderal Bina Administrasi Wilayah Kementerian Dalam Negeri Syafrizal ialah terkait angka penularan dan kematian covid-19 yang melandai setelah sempat ada kenaikan. Tetap saja penjelasan tersebut belum mampu menjawab persoalan perubahan kebijakan hanya dalam waktu satu hari.

 

Begitu juga menyangkut kebijakan pencabutan izin Pondok Pesantren Majma'al Bahrain Shiddiqiyyah, Jombang, yang hanya berumur empat hari. Saat membekukan izin pada 7 Juli 2022, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag, Waryono, memastikan pihaknya sebagai regulator memiliki kuasa administratif untuk membatasi ruang gerak lembaga yang di dalamnya diduga melakukan pelanggaran hukum berat.

 

Ketika mengumumkan pembatalan pencabutan izin operasian pondok pesantren pada 12 Juli 2022, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan pembatalan itu atas arahan dari Presiden Joko Widodo.

 

Masih ada kebijakan lain yang berumur pendek. Misalnya, kebijakan larangan ekspor batu bara hanya berlaku selama 12 hari. Begitu juga terkait kebijakan pelarangan ekspor minyak goreng dan CPO yang mampu bertahan selama tiga pekan.

 

Kebijakan berumur pendek bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, pemerintah terkesan tergesa-gesa mengambil kebijakan untuk mengatasi persoalan yang amat mendesak. Kedua, setelah menyadari ada kekeliruan dalam mengambil keputusan, pemerintah tidak malu-malu mencabut kebijakan tersebut.

 

Kebijakan yang baik tentu saja kebijakan yang terbuka untuk dikoreksi jika terbukti ada jalan keluar yang lebih baik lagi. Bukan soal panjang pendek umur kebijakan, jauh lebih penting ialah kebijakan itu bermanfaat untuk masyarakat.

 

Meski demikian, elok nian bila dalam mengambil keputusan akal mendahului tindakan sehingga tidak malu kemudian. Kiranya wejangan Felix A Nigro dan Lloyd Nigro, keduanya ahli kebijakan publik, selalu menjadi rujukan.

 

Setidaknya ada dua dari tujuh kesalahan yang perlu dihindari dalam proses pembuatan kebijakan. Pertama, cara berpikir yang sempit. Membuat keputusan hanya untuk memenuhi kebutuhan seketika sehingga melupakan antisipasi ke masa depan seperti dalam kasus pembatalan pencabutan izin pondok pesantren.

 

Kedua, terlalu menyederhanakan sesuatu seperti dalam kasus larangan ekspor batu bara dan minyak goreng. Keputusan diambil hanya mempertimbangkan gejala-gejala di depan mata tanpa mencoba mempelajari secara mendalam sebab-sebab timbulnya masalah tersebut.

 

Teman saya masih saja uring-uringan. Saya meyakinkan dia bahwa semua kebijakan yang diambil pemerintah pasti dilandasi niat baik. Akan tetapi, jika terlalu sering gonta-ganti kebijakan dalam waktu singkat, yang salah pasti pejabatnya, mencla-mencle.

 

Sumber :   https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/2502-mencla-mencle

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar