Rabu, 13 Juli 2022

 

Memantau ”Hilal” Kenaikan Bunga Acuan

Irman Faiz: Ekonom Bank Danamon Indonesia

KOMPAS, 12 Juli 2022

 

                                                

 

Pembukaan kembali aktivitas ekonomi di tengah disrupsi rantai produksi global serta perang antara Rusia dan Ukraina telah menyebabkan harga-harga barang di berbagai belahan dunia meningkat.

 

Kenaikan harga barang secara umum yang dikenal dengan istilah inflasi ini mulai mengkhawatirkan. Sebab, tren peningkatan inflasi terus berlanjut meskipun bank-bank sentral di beberapa negara telah melakukan normalisasi, bahkan pengetatan kebijakan moneternya.

 

Terlepas dari dinamika inflasi global dan pengetatan kebijakan moneter dunia, Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral Republik Indonesia tetap menahan suku bunga acuan. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan bahwa BI tidak buru-buru menaikkan suku bunga mengingat inflasi inti yang rendah.

 

Lalu, sampai kapan BI akan menahan suku bunga acuan?

 

Untuk menjawab hal tersebut, dua indikator utama yang perlu diperhatikan adalah inflasi inti dan nilai tukar, sejalan dengan mandat tunggal BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

 

Dalam siklus peningkatan suku bunga terakhir sepanjang Mei-November 2018, tekanan terhadap rupiah menjadi faktor utama. Rupiah pada saat itu dari bulan ke bulan konsisten mengalami pelemahan sekitar 3 persen.

 

Tekanan terhadap rupiah disebabkan oleh siklus peningkatan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (Federal Reserve/The Fed) yang telah terjadi sejak akhir 2017.

 

Pada saat itu, indikator eksternal Indonesia cukup rentan. Kerentanan tersebut ditunjukkan, antara lain, oleh angka kepemilikan asing pada obligasi domestik yang sekitar 38 persen dan neraca transaksi berjalan yang mengalami defisit sekitar 3 persen dari produk domestik bruto (PDB).

 

Pada Mei 2018, BI melakukan rapat Dewan Gubernur (RDG) sebanyak dua kali dalam satu bulan dan meningkatkan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin (bps) dari 4,25 persen pada April 2018 menjadi 4,75 persen pada Mei 2018.

 

Inflasi inti

 

Dalam kondisi saat ini, pelemahan rupiah cenderung lebih ringan. Nilai tukar rupiah pada akhir Juni 2022 melemah sebesar 4,1 persen jika dibandingkan dengan posisi akhir tahun 2021. Pelemahan tersebut berlangsung dengan perlahan, tidak seperti 2018.

 

Selain BI yang aktif dalam menerapkan triple intervention—meliputi intervensi di pasar spot, pasar domestic non-deliverable forward (DNDF), dan pembelian surat berharga negara (SBN) di pasar sekunder—untuk menjaga stabilitas rupiah, indikator eksternal sekarang lebih baik.

 

Kepemilikan asing pada obligasi pemerintah tersisa sekitar 16 persen pada akhir Juni 2022. Neraca transaksi berjalan juga mencatatkan surplus sebesar 0,1 persen dari PDB pada kuartal I-2022.

 

Dari sisi inflasi, angka inflasi inti cenderung berada di atas 3 persen year on year (yoy) selama periode kenaikan suku bunga tahun 2018. Pada saat pandemi Covid-19 melanda, dinamika inflasi domestik berubah signifikan.

 

Turunnya permintaan domestik akibat mobilitas yang menurun telah menekan inflasi Indonesia lebih rendah daripada batas bawah target inflasi BI dan pemerintah. Angka inflasi inti pada akhir tahun 2021 tercatat 1,56 persen yoy.

 

Seiring dengan perbaikan ekonomi domestik Indonesia, tahun ini inflasi inti merangkak naik. Inflasi inti tercatat 2,63 persen yoy pada Juni 2022. Dengan demikian, wajar jika BI tidak terburu-buru dalam menaikkan suku bunga acuannya.

 

Namun, arah dari inflasi dan nilai tukar mata uang ini penting untuk dicermati. Inflasi inti terlihat konsisten meningkat sejak Oktober 2021 dari level 1,33 persen.

 

Peningkatan inflasi inti akan terus terjadi mengingat kondisi perekonomian domestik yang terus membaik.

 

Tekanan dari biaya produksi produsen mencapai 9,1 persen yoy pada kuartal I-2022, tertinggi dalam satu dekade terakhir. Artinya, jika permintaan domestik terus membaik, produsen akan mulai meningkatkan harga barang untuk mengompensasi kenaikan biaya produksi.

 

Selain itu, inflasi harga bergejolak dan harga yang diatur pemerintah juga memiliki dampak lanjutan terhadap inflasi inti. Jika sekarang kategori inflasi tersebut naik, itu akan diikuti oleh kenaikan inflasi inti juga.

 

”Hilal” makin dekat

 

Dari sisi nilai tukar, rupiah melemah sebesar 2,2 persen pada akhir Juni dibandingkan dengan akhir Mei seiring dengan semakin agresifnya The Fed dalam menaikkan bunga acuannya. Level pelemahan rupiah ini mulai mengarah ke episode 2018, dengan tingkat pelemahan bulanan mencapai sekitar 3,1 persen.

 

Memasuki semester II-2022, rupiah kembali melemah, hampir menembus level Rp 15.000 per dollar AS.

 

Ke depan, ruang pelemahan nilai tukar rupiah masih ada mengingat surplus neraca transaksi berjalan Indonesia yang mulai tergerus di tengah The Fed yang semakin agresif. Harga komoditas ekspor yang selama ini menopang surplus tersebut mulai terkoreksi. Hal ini menandakan bahwa likuiditas valuta asing juga akan mulai menurun.

 

Melihat perkembangan inflasi dan nilai tukar yang mulai mengarah pada kondisi siklus kenaikan suku bunga 2018, hilal peningkatan suku bunga acuan BI semakin terlihat.

 

Terlebih lagi, dampak suku bunga acuan kepada inflasi memiliki waktu tunda untuk tersalurkan secara penuh (sekitar dua kuartal). Artinya, untuk mencegah inflasi terlalu tinggi, BI juga perlu menyesuaikan suku bunga lebih dahulu (pre-emptive).

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/11/memantau-hilal-kenaikan-bunga-acuan

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar