Minggu, 17 Juli 2022

 

Jalan Panjang Memartabatkan Guru

Satriwan Salim: Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Mengajar di Labschool UNJ

KOMPAS, 15 Juli 2022

 

                                                

 

Bank Dunia dalam laporan bertajuk ”Janji Pendidikan di Indonesia” merekomendasikan, Indonesia harus berusaha agar hanya mempekerjakan calon guru yang paling memenuhi syarat untuk menjadi guru. Hal ini harus dilakukan dengan cara mendidik dan menggaji mereka dengan gaji yang kompetitif dan menyebarkan mereka secara efisien dan merata di seluruh negeri, serta memberikan insentif dan dukungan untuk peningkatan kualitas secara berkelanjutan (Bank Dunia, 2020).

 

Rekomendasi tersebut esensinya terkait dua isu, yaitu kompetensi dan kesejahteraan guru. Cukup skeptis membayangkan meraihnya mengingat persoalan guru kian berlapis. Permasalahan guru bisa dibagi menjadi tiga kluster. Pertama, hulu, rendahnya kualitas perguruan tinggi keguruan dan over supply lulusan pendidikan keguruan. Kedua, medio, rendahnya kompetensi guru. Ketiga, hilir, buruknya upah guru honorer dan belum sinkronnya pengelolaan guru antara pusat dan daerah.

 

LPTK dan kompetensi guru

 

Pertama, tataran hulu. Indonesia memiliki 421 lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) dengan rincian 18 akreditasi A, 81 akreditasi B, sisanya akreditasi C dan belum diakreditasi (2016). Artinya, hanya sekitar 25 persen LPTK yang berkualitas baik.

 

Jumlah lulusan LPTK sekitar 300.000 orang per tahun. Rentang 2012-2017 ada sekitar 1,8 juta mahasiswa lulusan keguruan, sementara itu rekrutmen guru pegawai negeri sipil (PNS) sekitar 150.000 saja. Tak heran sebagian besar lulusan LPTK justru diserap menjadi tenaga honorer.

 

Persoalan sistemik sudah mulai dari ”pabrik” penghasil calon guru yang berdampak panjang terhadap kualitas pendidikan. Untuk poin pertama, strategi mitigasi yang patut dipertimbangkan pemerintah adalah memangkas LPTK yang beroperasi, moratorium pembukaan program studi kependidikan, membatasi rekrutmen calon mahasiswa keguruan, serta membuka jalur pendidikan guru ikatan dinas berasrama di LPTK untuk menjamin efisiensi dan mutu pendidikan (Pasal 23 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen) sehingga calon guru yang direkrut betul-betul selektif, yang terpanggil menjadi guru (passion), dan kompeten.

 

Bentuk lain keseriusan pemerintah membenahi LPTK dengan memasukkan LPTK dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang tengah dibahas.

 

Kedua, tataran medio. Potret kualitas pun guru belum menggembirakan. Tingkat pengetahuan guru di bidang matematika dan bahasa Indonesia rendah. Adapun pengetahuan guru bidang pedagogi sangat rendah (Bank Dunia, 2020).

 

Nilai rata-rata uji kompetensi guru (UKG) rendah sekali, nilai 57 dari skala 100. Nilai tertinggi UKG SD hanya 54,8; SMP 58,6; SMA 62,3; dan SMK 58,4 (Neraca Pendidikan Daerah, 2019). Ini pertanda kompetensi guru belum mencapai standar minimum alias rapor merah.

 

Kondisi itu memengaruhi kualitas pembelajaran siswa secara absolut. Tak bisa mengelak, rendahnya kompetensi dasar siswa dalam aspek literasi, numerasi, dan sains yang diukur melalui tes PISA (Programme for International Student Assessment) bagi anak usia 15 tahun.

 

 

Rapor PISA Indonesia rata-rata selalu di bawah negara anggota OECD (Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi), sejak pertama kali Indonesia ikut tahun 2000 sampai 2018. Paling mengejutkan, skor literasi Indonesia 2018 sama persis dengan skor literasi waktu pertama ikut, nilai 371. Dalam kurun waktu 18 tahun, Indonesia belum mampu mengangkat kemampuan literasinya.

 

Bahkan, hasil asesmen kompetensi minimum (AKM) yang diselenggarakan Kemendikbudristek (2021) untuk siswa tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah mengonfirmasi hasil yang relatif sama, yaitu 1 dari 2 siswa belum mencapai kompetensi minimum literasi dan 2 dari 3 siswa belum mencapai kompetensi minimum numerasi. Hanya 30 persen siswa memiliki kemampuan literasi dan numerasi. Sisanya hanya memiliki kemampuan membaca.

 

Dengan kata lain, 70 persen siswa Indonesia tidak mengerti apa yang dibaca. Mereka mampu membaca teks (mengeja atau melafalkan apa yang tertulis), tetapi tidak memahami apa isi dan maksud bacaan tersebut.

 

Tren peningkatan bantuan operasional sekolah (BOS) tidak linier dengan pelatihan guru dan peningkatan kualitas. Anggaran pendidikan daerah belum berpihak pada pendidikan dan guru. Padahal, secara konstitusional, pemerintah daerah wajib menganggarkan sekurangnya 20 persen APBD untuk pendidikan. Namun, yang terjadi sebaliknya. Data menunjukkan sebagian besar ruang kelas sekolah di Indonesia keadaannya rusak. Hanya 27 persen ruang kelas SD dalam kondisi baik. Lebih dari 40 persen sekolah tidak punya akses ke internet, khususnya jenjang SD. Dan hampir sepertiga sekolah belum memiliki perpustakaan (NPD, 2019).

 

Pelatihan guru masih terkonsentrasi di wilayah perkotaan atau daerah terkoneksi dengan infrastruktur internet. Pelatihan guru jadi barang mahal. Adapun sekolah yang diberi perhatian khusus hanya yang favorit (unggulan). Dalam konteks inilah mendesak dibutuhkan ”peta jalan pendidikan dan guru”, yang menjadi titik tumpu, titik berangkat sekaligus pemandu arah, agar tercapainya titik tuju: mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sumber: Draf Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020–2035 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

MEDIANA

 

Derita guru honorer

 

Ketiga, tataran hilir. Angka kebutuhan guru di sekolah negeri sangat tinggi. Indonesia menghadapi kekurangan sejuta lebih guru hingga tahun 2024 karena faktor pensiun. Kebutuhan guru terbesar jenjang SD-SMP sebanyak 823.383 orang. Angka kekurangan guru terus naik, yaitu sebanyak 1.020.921 (2020); 1.090.678 (2021); 1.167.802 (2022); 1.242.997 (2023), dan 1.312.759 (2024).

 

Sebanyak 742.459 guru berstatus bukan aparatur sipil negara (ASN) alias honorer mengajar di sekolah negeri (Kemendikbudristek dan Kempan dan RB, 2021). Jadi perlu diinsafi bahwa Indonesia tengah mengalami darurat kekurangan guru ASN.

 

Rata-rata upah guru honorer di bawah Rp 1 juta per bulan. Jauh di bawah upah minimum kota/kabupaten (UMK) atau provinsi (UMP). UMK Karawang, misalnya, sebesar Rp 4,7 juta, tetapi upah guru honorer SD negeri hanya Rp 1,2 juta. UMP Sumatera Barat Rp 2,4 juta, sedangkan upah guru honorer SD negeri di Tanah Datar hanya Rp 500.000-Rp 800.000. Di Ende, upah guru honorer SMK negeri Rp 700.000-Rp 800.000. Upah guru honorer di Aceh Timur rata-rata Rp 500.000. Nominalnya tergantung lama mengabdi (P2G, 2021).

 

Data tersebut belum termasuk upah guru honorer sekolah/madrasah swasta kecil, siswa relatif sedikit, mayoritas tak mampu, bergantung pada BOS, kekurangan biaya dan fasilitas pembelajaran, serta jauh dari pusat kota. Nasibnya lebih mengenaskan. Upah guru hanya Rp 200.000, itu pun dibayar rapel mengikuti triwulan pencairan dana BOS.

 

Rendahnya upah guru suatu sekolah/daerah berpengaruh terhadap makin sempitnya kesempatan meningkatkan kompetensi profesional, tertutupnya peningkatan jenjang karir dan pendidikan, serta peluang berjejaring kian kecil.

 

Begitu horornya kehidupan guru honorer, kesejahteraan jauh dari kompetitif bahkan tidak manusiawi, diperparah kompetensi yang rendah dan fasilitas pembelajaran serba terbatas. Lantas timbul pertanyaan retorik: kualitas pendidikan macam apa yang bisa dicapai dengan keadaan serupa itu?

 

Empat harapan

 

Untuk menuntaskan persoalan tataran hilir ini, empat upaya sebagai harapan dapat diambil pemerintah. Pertama, pemerintah pusat menetapkan aturan upah minimum guru non-ASN, seperti UMP/UMK buruh tiap daerah, yang wajib dipatuhi pemda dan yayasan sehingga mereka diupah layak dan manusiawi. Kemauan politik Presiden dipertaruhkan, apakah berniat memartabatkan guru atau sebaliknya?

 

Kedua, pemerintah pusat membuka kembali penerimaan guru PNS mulai tahun ini dan seterusnya sebagai solusi jangka panjang. Formasi guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) sebenarnya bersifat jangka pendek mengingat status mereka tak ubahnya pekerja alih daya (outsourcing), melalui skema kontrak 1-5 tahun dengan pemda.

 

Guru PNS dan PPPK sejatinya berbeda meskipun kewajibannya sama-sama berat. Bagaimanapun juga guru PNS lebih menjanjikan masa depan ketimbang PPPK. Lagi-lagi kuncinya pada kemauan politik Presiden, apakah berniat memuliakan guru?

 

Ketiga, pemda memaksimalkan penerimaan guru PPPK sesuai kebutuhan riil. Sekitar 60 persen pemda belum mampu menampung formasi. Alasan tidak memiliki dana. Total 343.631 formasi guru PPPK diusulkan pemda, sedangkan kebutuhannya sebanyak 970.410 (2022). Penerimaan guru oleh pemda nyatanya tak mampu mengakomodasi semua kebutuhan, jauh panggang dari api. Keberpihakan anggaran jalan keluarnya.

 

Keempat, pemerintah pusat menambah anggaran transfer dari pusat ke daerah baik melalui skema dana alokasi umum maupun dana alokasi khusus buat gaji dan tunjangan guru PPPK mengingat tak semua daerah mempunyai postur keuangan memadai. Pemda akhirnya percaya diri membuka penerimaan guru PPPK sesuai kebutuhan.

 

Saya masih berharap hadirnya kepemimpinan nasional yang alam pikiran dan hatinya sungguh-sungguh berpihak pada upaya memartabatkan dan memuliakan pendidikan dan guru. Bukan sebatas ucapan, tetapi termanifestasi dalam kebijakan. Punya legacy teramat mulia sehingga dicatat dalam sejarah guru. Hanya itu harapan yang tersisa kini..

 

Sumber :   https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/13/jalan-panjang-memartabatkan-guru

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar