Jalan
Panjang Memartabatkan Guru Satriwan Salim: Koordinator
Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Mengajar di Labschool UNJ |
KOMPAS, 15 Juli 2022
Bank Dunia dalam laporan bertajuk ”Janji
Pendidikan di Indonesia” merekomendasikan, Indonesia harus berusaha agar
hanya mempekerjakan calon guru yang paling memenuhi syarat untuk menjadi
guru. Hal ini harus dilakukan dengan cara mendidik dan menggaji mereka dengan
gaji yang kompetitif dan menyebarkan mereka secara efisien dan merata di
seluruh negeri, serta memberikan insentif dan dukungan untuk peningkatan
kualitas secara berkelanjutan (Bank Dunia, 2020). Rekomendasi tersebut esensinya terkait
dua isu, yaitu kompetensi dan kesejahteraan guru. Cukup skeptis membayangkan
meraihnya mengingat persoalan guru kian berlapis. Permasalahan guru bisa
dibagi menjadi tiga kluster. Pertama, hulu, rendahnya kualitas perguruan
tinggi keguruan dan over supply lulusan pendidikan keguruan. Kedua, medio,
rendahnya kompetensi guru. Ketiga, hilir, buruknya upah guru honorer dan
belum sinkronnya pengelolaan guru antara pusat dan daerah. LPTK dan kompetensi guru Pertama, tataran hulu. Indonesia
memiliki 421 lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) dengan rincian 18
akreditasi A, 81 akreditasi B, sisanya akreditasi C dan belum diakreditasi
(2016). Artinya, hanya sekitar 25 persen LPTK yang berkualitas baik. Jumlah lulusan LPTK sekitar 300.000
orang per tahun. Rentang 2012-2017 ada sekitar 1,8 juta mahasiswa lulusan
keguruan, sementara itu rekrutmen guru pegawai negeri sipil (PNS) sekitar
150.000 saja. Tak heran sebagian besar lulusan LPTK justru diserap menjadi
tenaga honorer. Persoalan sistemik sudah mulai dari
”pabrik” penghasil calon guru yang berdampak panjang terhadap kualitas
pendidikan. Untuk poin pertama, strategi mitigasi yang patut dipertimbangkan
pemerintah adalah memangkas LPTK yang beroperasi, moratorium pembukaan
program studi kependidikan, membatasi rekrutmen calon mahasiswa keguruan,
serta membuka jalur pendidikan guru ikatan dinas berasrama di LPTK untuk
menjamin efisiensi dan mutu pendidikan (Pasal 23 Ayat 1 Undang-Undang Nomor
14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen) sehingga calon guru yang direkrut
betul-betul selektif, yang terpanggil menjadi guru (passion), dan kompeten. Bentuk lain keseriusan pemerintah
membenahi LPTK dengan memasukkan LPTK dalam Rancangan Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang tengah dibahas. Kedua, tataran medio. Potret kualitas
pun guru belum menggembirakan. Tingkat pengetahuan guru di bidang matematika
dan bahasa Indonesia rendah. Adapun pengetahuan guru bidang pedagogi sangat
rendah (Bank Dunia, 2020). Nilai rata-rata uji kompetensi guru
(UKG) rendah sekali, nilai 57 dari skala 100. Nilai tertinggi UKG SD hanya
54,8; SMP 58,6; SMA 62,3; dan SMK 58,4 (Neraca Pendidikan Daerah, 2019). Ini
pertanda kompetensi guru belum mencapai standar minimum alias rapor merah. Kondisi itu memengaruhi kualitas
pembelajaran siswa secara absolut. Tak bisa mengelak, rendahnya kompetensi
dasar siswa dalam aspek literasi, numerasi, dan sains yang diukur melalui tes
PISA (Programme for International Student Assessment) bagi anak usia 15
tahun. Rapor PISA Indonesia rata-rata selalu di
bawah negara anggota OECD (Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi),
sejak pertama kali Indonesia ikut tahun 2000 sampai 2018. Paling mengejutkan,
skor literasi Indonesia 2018 sama persis dengan skor literasi waktu pertama
ikut, nilai 371. Dalam kurun waktu 18 tahun, Indonesia belum mampu mengangkat
kemampuan literasinya. Bahkan, hasil asesmen kompetensi minimum
(AKM) yang diselenggarakan Kemendikbudristek (2021) untuk siswa tingkat
sekolah dasar dan sekolah menengah mengonfirmasi hasil yang relatif sama,
yaitu 1 dari 2 siswa belum mencapai kompetensi minimum literasi dan 2 dari 3
siswa belum mencapai kompetensi minimum numerasi. Hanya 30 persen siswa
memiliki kemampuan literasi dan numerasi. Sisanya hanya memiliki kemampuan
membaca. Dengan kata lain, 70 persen siswa
Indonesia tidak mengerti apa yang dibaca. Mereka mampu membaca teks (mengeja
atau melafalkan apa yang tertulis), tetapi tidak memahami apa isi dan maksud
bacaan tersebut. Tren peningkatan bantuan operasional
sekolah (BOS) tidak linier dengan pelatihan guru dan peningkatan kualitas.
Anggaran pendidikan daerah belum berpihak pada pendidikan dan guru. Padahal,
secara konstitusional, pemerintah daerah wajib menganggarkan sekurangnya 20
persen APBD untuk pendidikan. Namun, yang terjadi sebaliknya. Data
menunjukkan sebagian besar ruang kelas sekolah di Indonesia keadaannya rusak.
Hanya 27 persen ruang kelas SD dalam kondisi baik. Lebih dari 40 persen
sekolah tidak punya akses ke internet, khususnya jenjang SD. Dan hampir
sepertiga sekolah belum memiliki perpustakaan (NPD, 2019). Pelatihan guru masih terkonsentrasi di
wilayah perkotaan atau daerah terkoneksi dengan infrastruktur internet.
Pelatihan guru jadi barang mahal. Adapun sekolah yang diberi perhatian khusus
hanya yang favorit (unggulan). Dalam konteks inilah mendesak dibutuhkan ”peta
jalan pendidikan dan guru”, yang menjadi titik tumpu, titik berangkat
sekaligus pemandu arah, agar tercapainya titik tuju: mencerdaskan kehidupan
bangsa. Sumber: Draf Peta Jalan Pendidikan
Indonesia 2020–2035 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan MEDIANA Derita guru honorer Ketiga, tataran hilir. Angka kebutuhan
guru di sekolah negeri sangat tinggi. Indonesia menghadapi kekurangan sejuta
lebih guru hingga tahun 2024 karena faktor pensiun. Kebutuhan guru terbesar
jenjang SD-SMP sebanyak 823.383 orang. Angka kekurangan guru terus naik,
yaitu sebanyak 1.020.921 (2020); 1.090.678 (2021); 1.167.802 (2022);
1.242.997 (2023), dan 1.312.759 (2024). Sebanyak 742.459 guru berstatus bukan
aparatur sipil negara (ASN) alias honorer mengajar di sekolah negeri
(Kemendikbudristek dan Kempan dan RB, 2021). Jadi perlu diinsafi bahwa
Indonesia tengah mengalami darurat kekurangan guru ASN. Rata-rata upah guru honorer di bawah Rp
1 juta per bulan. Jauh di bawah upah minimum kota/kabupaten (UMK) atau
provinsi (UMP). UMK Karawang, misalnya, sebesar Rp 4,7 juta, tetapi upah guru
honorer SD negeri hanya Rp 1,2 juta. UMP Sumatera Barat Rp 2,4 juta,
sedangkan upah guru honorer SD negeri di Tanah Datar hanya Rp 500.000-Rp
800.000. Di Ende, upah guru honorer SMK negeri Rp 700.000-Rp 800.000. Upah
guru honorer di Aceh Timur rata-rata Rp 500.000. Nominalnya tergantung lama
mengabdi (P2G, 2021). Data tersebut belum termasuk upah guru
honorer sekolah/madrasah swasta kecil, siswa relatif sedikit, mayoritas tak
mampu, bergantung pada BOS, kekurangan biaya dan fasilitas pembelajaran, serta
jauh dari pusat kota. Nasibnya lebih mengenaskan. Upah guru hanya Rp 200.000,
itu pun dibayar rapel mengikuti triwulan pencairan dana BOS. Rendahnya upah guru suatu sekolah/daerah
berpengaruh terhadap makin sempitnya kesempatan meningkatkan kompetensi
profesional, tertutupnya peningkatan jenjang karir dan pendidikan, serta
peluang berjejaring kian kecil. Begitu horornya kehidupan guru honorer,
kesejahteraan jauh dari kompetitif bahkan tidak manusiawi, diperparah
kompetensi yang rendah dan fasilitas pembelajaran serba terbatas. Lantas
timbul pertanyaan retorik: kualitas pendidikan macam apa yang bisa dicapai
dengan keadaan serupa itu? Empat harapan Untuk menuntaskan persoalan tataran
hilir ini, empat upaya sebagai harapan dapat diambil pemerintah. Pertama,
pemerintah pusat menetapkan aturan upah minimum guru non-ASN, seperti UMP/UMK
buruh tiap daerah, yang wajib dipatuhi pemda dan yayasan sehingga mereka
diupah layak dan manusiawi. Kemauan politik Presiden dipertaruhkan, apakah
berniat memartabatkan guru atau sebaliknya? Kedua, pemerintah pusat membuka kembali
penerimaan guru PNS mulai tahun ini dan seterusnya sebagai solusi jangka
panjang. Formasi guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK)
sebenarnya bersifat jangka pendek mengingat status mereka tak ubahnya pekerja
alih daya (outsourcing), melalui skema kontrak 1-5 tahun dengan pemda. Guru PNS dan PPPK sejatinya berbeda
meskipun kewajibannya sama-sama berat. Bagaimanapun juga guru PNS lebih
menjanjikan masa depan ketimbang PPPK. Lagi-lagi kuncinya pada kemauan
politik Presiden, apakah berniat memuliakan guru? Ketiga, pemda memaksimalkan penerimaan
guru PPPK sesuai kebutuhan riil. Sekitar 60 persen pemda belum mampu
menampung formasi. Alasan tidak memiliki dana. Total 343.631 formasi guru PPPK
diusulkan pemda, sedangkan kebutuhannya sebanyak 970.410 (2022). Penerimaan
guru oleh pemda nyatanya tak mampu mengakomodasi semua kebutuhan, jauh
panggang dari api. Keberpihakan anggaran jalan keluarnya. Keempat, pemerintah pusat menambah
anggaran transfer dari pusat ke daerah baik melalui skema dana alokasi umum
maupun dana alokasi khusus buat gaji dan tunjangan guru PPPK mengingat tak
semua daerah mempunyai postur keuangan memadai. Pemda akhirnya percaya diri
membuka penerimaan guru PPPK sesuai kebutuhan. Saya masih berharap hadirnya
kepemimpinan nasional yang alam pikiran dan hatinya sungguh-sungguh berpihak
pada upaya memartabatkan dan memuliakan pendidikan dan guru. Bukan sebatas
ucapan, tetapi termanifestasi dalam kebijakan. Punya legacy teramat mulia
sehingga dicatat dalam sejarah guru. Hanya itu harapan yang tersisa kini.. ● Sumber :
https://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/13/jalan-panjang-memartabatkan-guru |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar