Filantropis
Pelayan Publik dan Malaadministrasi Negara Laode
Ida: Ketua
DPD RI 2004-2014, Komisioner Ombudsman 2016-2021 |
MEDIA INDONESIA, 12 Juli 2022
KEBIJAKAN pemerintah (baca: Menteri Sosial RI), yang mencabut
izin operasional Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) sesuai keputusan No
133/HUK/2022 telah menimbulkan kontroversi di masyarakat. Sikap pemerintah
itu dinilai tergesa-gesa karena dianggap hanya berdasarkan pemberitaan media
massa tanpa melalui kajian komprehensif sehingga ada yang berpendapat bahwa
penyetopan ACT ialah korban dari trial by the press, yaitu pihak pemerintah
terprovokasi dan langsung mengambil kebijakan sepihak, tanpa check and
recheck atau prosedur administrasi dan fungsi pemerintah sebagai pembina
kelembagaan masyarakat. Fobia terhadap isu teroris, rupanya juga menjadikan pihak
pemerintah melakukan gerakan cepat ‘pembekuan’ lembaga nirlaba yang didirikan
tahun 2005 itu. Dana ACT dicurigai juga mengalir pada sebagian pelaku
teroris. Padahal, informasi itu juga baru berdasarkan pemberitaan media
massa. Sementara itu, para pengurusnya dicurigai memanfaatkan
kesempatan untuk memperkaya diri dengan secara bebas menggunakan uang yayasan
untuk kepentingan pribadi dan atau membisniskannya, termasuk di dalmnya
dikaitkan dengan kepentingan salah satu partai politik. Entahlah, karena semua informasi itu baru bersifat sepihak. Yang
pasti, ACT sudah telanjur dijatuhi sanksi, tanpa terlebih dahulu diberi
kesempatan untuk melakukan pembelaan atau klarifikasi terhadap kebenaran
informasi itu. Bagi pihak pemerintah, barangkali, merasa harus bersikap cepat
tanggap dan segera mengambil keputusan terhadap setiap lembaga yang
mencurigakan. Apalagi, diisukan terkait dengan pembiayaan gerakan teroris,
tentu sesuatu yang sangat mengkhawatirkan. Niscaya semua pihak sepakat
‘gerakan teroris dan semua elemen pendukungnya harus diberantas sampai ke
akar-akarnya. Pihak pers, yang telah mengangkat informasi itu, sewajarnya
pula diapresiasi sebagai bagian dari kerja watch dog di tengah kian mandul,
atau bahkan ‘matinya’ kekuatan kritis dari lembaga swadaya masyarakat. Cross check atau validasi Pertanyaannya, benarkah semua informasi yang dibeberkan media
massa itu? Sudahkah ada upaya pemerintah untuk melakukan cross check atau
validasi atas kebenaran informasi itu? Ini harus dijelaskan secara terbuka
oleh pihak pemerintah (Kemensos). Tentu saja, secara normatif pencabutan Izin ACT niscaya didasarkan pada Permensos No 8 Tahun
2021 tentang Penyelenggaraan Pengumpulan Uang atau Barang (PUB). Dalam permensos itu, secara gamblang disebutkan bahwa izin
operasional akan dicabut berdasarkan 4 pertimbangan, yakni terkait dengan
kepentingan umum, pelaksanan PUB yang meresahkan masyarakat, terjadi
penyimpangan dan pelanggaran terhadap pelaksanaan izin PUB, dan menimbulkan
permasalahan di masyarakat. Namun demikian, setiap pejabat atau penyelenggara pelayanan
publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, harus sesuai dengan
prinsip-prinsip dan prosedur pengambilan kebijakan dalam tatanan pemerintahan
yang baik. Dalam konteks pencabutan PUB dari ACT ini, yang paling penting
dilakukan oleh pihak pemerintah, ialah terkait dengan ‘asas kecermatan’,
yakni setiap keputusan harus didasarkan pada informasi dan dokumen yang
lengkap untuk mendukung legalitas penetapannya atau pencabutannya karena
terkesan ada kejanggalan. Di mana setelah ‘dianggap heboh’ akibat pemberitaan
salah satu media massa, sekonyong-konyong Menteri Sosial mencabut izin
operasional PUB dari ACT. Penulis, dalam artikel singkat ini, tentu tidak bermaksud membela
Yayasan ACT. Apalagi, terhadap para pengelola (pengurusnya) yang bisa saja
melakukan kesalahan, termasuk keserakahan dengan uang yang diambil dari
donasi masyarakat. Namun, bagi saya, jikapun di dalamnya ada orang-orang
serakah ataupun memiliki niat jahat, anggaplah mereka ialah ‘tikustikus atau
setan-setan’ yang berada dalam ‘wadah atau rumah kebaikan’ yang harus
disingkirkan dan diberi sanksi sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Perilaku orang-orang seperti itu pada dasarnya tidak saja berada
di ACT atau organisasi nirlaba lainnya, tetapi juga sudah jamak terjadi di
lembagalembaga pemerintah seperti halnya para pejabat yang sudah terbukti
(berdasarkan fakta hukum) sebagai koruptor. Singkatnya, para ‘aktor’ yang sudah terbukti jahatlah yang harus
disingkirkan. Sementara, wadahnya yang memiliki misi kemanusiaan dengan
prinsip kerja cepat tanggap atau reaksi cepat, harus tetap dirawat untuk
terus eksis menjalankan tugas kemanusiaan yang mulia itu. Karena, diakui atau
tidak, keberadaan ACT selama ini sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Catat, misalnya, pada saat terjadi gempa bumi (tsunami) di Palu
(2018), dan juga bencana di NTT (banjir bandang, rob, longsor, banjir lahar
dingir, dan angin kencang) April 2021, para crew ACT menjadi bagian dari
barisan terdepan sebagai petugas bantuan kemanusiaan. Demikian juga
program-program kemanusiaan lainnya yang menyentuh, atau menjawab langsung
kebutuhan real masyarakat bangsa ini, termasuk bantuan kemanusiaan (sebagai
bagian dari soft diplomacy) di Palestina. Pemerintah seharusnya mendorong Pemerintah seharusnya mendorong atau bahkan menjadi sponsor
terbentuknya lembagalembaga filantropis (nirlaba) seperti misi ACT ini.
Mengapa? Pertama, diakui atau tidak, lembaga nirlaba diperlukan oleh
masyarakat bangsa kita dengan problem sosial ekonomi yang tidak semuanya bisa
ditangani oleh pemerintah. Tentu saja, bukannya pemerintah tidak peduli,
tetapi karena watak birokrasi pemerintahan kita yang administrative project
base sehingga terasakan kaku dan lamban dalam menjawab permasalahan. Apalagi,
terkait dengan masalah-masalah insidental. Sementara itu, lembaga nirlaba (filantropis) memiliki prinsip
kerja cepat tanggap, dan berorientasi pada penyelesaian masalah secara
kasuistik. Dapat dikatakan pula, bahwa lembaga filantropis seperti misi ACT
itu menjadi bagian dari lembaga yang jalankan fungsi pelayanan publik,
komplemen signifikan yang berjalan bersamaan dengan agenda negara, dalam
rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Ini artinya, bahwa semakin banyak lembaga filantropis yang
bekerja serius dalam melayani kebutuhan mendesak masyarakat, yakni
anggarannya tidak bersumber dari negara (APBN) atau daerah (APBD), maka akan
semakin ringan pula tugas lembaga pemerintah dalam menjalankan tugasnya.
Tepatnya, lembaga fi antropis adalah salah satu mitra pemerintah, yang
posisinya sejajar dengan pelaku bisnis. Kedua, pertumbuhan pelaku bisnis di Indonesia yang semakin
berkembang, tentu juga berjalan bersamaan dengan tingkat pendapat masyarakat
yang meningkat. Keuntungan yang diraup oleh para pelaku bisnis itu, tentu
akan sangat bermanfaat jika sebagiannya disalurkan untuk donasi sosial
kemanusiaan, melalui lembaga-lembaga filantropis, selanjutnya dimanfaatkan
langsung untuk bantuan sosial langsung bagi jutaan warga bangsa ini yang
sangat membutuhkan. Para pengusaha itu sekaligus diharapkan menggantikan posisi
lembaga-lembaga dana luar negeri, yang pada era 1980-an sampai awal 2000-an
banyak menjadi sponsor lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Indonesia untuk
misi kemanusiaan, termasuk di dalamnya kampanye good governance. Namun, selama ini kalau mau jujur diakui, sebagian dari para
pengusaha itu cenderung menjadi kaki tangan, dan bekerjasama atau
dimanfaatkan untuk memperkaya segelintir pejabat yang berkuasa. Mulai dari
tingkat nasional, sampai ke daerah-daerah. Mereka dimanfaatkan secara efektif, atau bertindak sebagai dalam
proses-proses pemilihan kepala daerah, pemilihan legislatif, dan pemilihan
presiden, yang sekaligus secara langsung merusak moralitas sebagian rakyat,
parpol dan atau pejabat yang berkuasa. Singkatnya, para pengusaha (melalui
keuntungan usaha mereka), terus memberikan kenikmatan pada segelintir
pejabat. Dan sekaligus, berkontribusi signifikan dalam mereproduksi kultur penyelenggara negara, dan birokrasi
yang korup.● Sumber :
https://mediaindonesia.com/opini/505929/filantropis-pelayan-publik-dan-malaadministrasi-negara |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar