Separatisme
Musuh NKRI Guntur Soekarno ; Pemerhati Sosial |
KOMPAS,
26 Februari
2021
Membaca harian Kompas edisi 23 Januari 2021
mengenai tewasnya dua anggota TNI Angkatan Darat di Papua (dulu di era Bung
Karno bernama Irian Barat), yang ditembak anggota kelompok kriminal
bersenjata, terus terang membuat saya sedih dan mengelus dada. Akibat penembakan, Prajurit Satu Roy
Vebrianto dan Prajurit Satu Dedi Hamdani menjadi korban. Mereka tewas setelah
kontak senjata di daerah Titigi, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua,
Jumat (22/1/2021). Sebenarnya apa yang terjadi di Papua
sehingga TNI dan masyarakat selalu diganggu terus-menerus oleh kelompok
kriminal bersenjata (KKB) dan membuat stabilitas politik dan keamanan serta
kegiatan ekonomi di pulau yang berbentuk kepala burung cenderawasih itu
terusik? Saat ini, posisi pemerintah dilematis atau seperti memakan ”buah
simalakama”. Jika dilakukan langkah tegas dan keras oleh
TNI, pemerintah dituduh melanggar HAM. Sebaliknya, jika ditempuh tindakan
lunak dan persuasif, gangguan keamanan akan terus-menerus terjadi. Seperti
peristiwa gangguan keamanan yang sudah berkali-kali terjadi dan memakan
korban jiwa TNI, Polri, ataupun rakyat Papua selama ini. Kalau saja pemerintah mau belajar dari
pengalaman dan sejarah masa lampau, khususnya di era Bung Karno, tentu
pemerintah dapat mengambil sikap yang terbaik bagi masyarakat Papua, bahkan
NKRI. Apa yang terbaik itu? Sejatinya, KKB
bukanlah kelompok kriminal, melainkan separatis yang hendak memisahkan diri
dari NKRI. Sebagaimana kita ketahui, NKRI pernah berkali-kali mengalami
”cobaan” dari berbagai kelompok atau kekuatan separatis lainnya di
waktu-waktu lampau. Namun, berkat sikap tegas dari pemerintah
saat itu, khususnya sikap tegas Bung Karno, seluruh kekuatan separatisme
dapat ditumpas. Mulai dari Republik Maluku Selatan (RMS), Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Perjuangan Semesta (Permesta),
Gerakan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, dan lainnya. Kilas
balik gerakan separatis Ketika peristiwa RMS yang dipimpin Johan
Manusama meledak di Ambon sekitar 1950, pemerintah pusat atas perintah Bung
Karno menugaskan Kolonel Kawilarang dan Letkol Ignatius Slamet Riyadi untuk
menumpas gerakan separatis tersebut. Kala itu, untuk pertama kalinya operasi
penumpasan dilakukan dengan suatu operasi militer terpadu dari tiga matra TNI
setelah J Leimena yang ditugaskan Bung Karno gagal berupaya menyelesaikan
secara damai pemberontakan RMS. Gugus tugas waktu itu menyertakan
kapal-kapal perang RI, seperti jenis landing ship tank (LST) dan Korvet RI
Hang Tuah. Korvet RI Hang Tuah bahkan menghujani pantai Ambon dengan
tembakan-tembakan meriam utamanya dengan tujuan agar pasukan yang mendarat
dapat membuat beach head di pantai. Operasi Amfibi akhirnya berlangsung
sukses dan berhasil membebaskan Ambon dari kekuasaan RMS. Presiden RMS Manusama dengan beberapa
pengikutnya berhasil melarikan diri ke negeri Belanda dan mendirikan
pemerintahan pelarian di sana. Pemerintahan ini ternyata mendapat pengakuan
dan dukungan dari pemerintah Kerajaan Belanda. Perjuangan RMS di dalam negeri (Ambon)
dilanjutkan oleh Chris Soumokil dengan bergerilya. Namun, Soumokil kemudian
dapat ditembak mati oleh pasukan TNI. Keberhasilan TNI harus dibayar mahal dengan
gugurnya Ignatius Slamet Riyadi yang saat itu tengah memeriksa kesiapan
pasukan dengan mengendarai sebuah Bren Carrier. Nama pahlawan Slamet Riyadi
kini diabadikan sebagai nama jalan di Jakarta. Saat pecah separatisme PRRI yang dipimpin
Letnan Kolonel Ahmad Husein dengan dukungan Amerika Serikat, sejumlah
politisi dari Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) di Padang,
Sumatera Barat, pada 1958, Bung Karno juga bersikap tegas. Tanpa kompromi,
Bung Karno mengerahkan TNI untuk langsung menumpasnya. Kolonel Ahmad Yani ditugaskan memimpin
melawan pemberontakan di Padang. Adapun Kolonel Kaharudin Nasution
diinstruksikan untuk mengamankan Kota Medan dan Sumatera Utara agar tak
dimasuki kaum pemberontak. Demikian pula pengamanan di Pangkalan Brandan yang
merupakan pusat instalasi minyak Amerika Serikat (Stanvac). Seraya memberantas pemberontakan PRRI,
terhadap politisi Masyumi dan PSI yang mendukung pemberontakan itu, Bung
Karno meminta pimpinan Masyumi dan PSI agar memecat keanggotaannya. Namun, karena politisi-politisi itu tak
kunjung dipecat, Bung Karno langsung membubarkan kedua partai politik
tersebut. Ahmad Yani cs akhirnya berhasil sukses menjalankan tugasnya
menumpas separatisme PRRI. Tahun yang sama, Letnan Kolonel Ventje
Sumual dengan para pendukungnya di Manado, Sulawesi, juga memproklamasikan
Permesta. Namun, tak lama dapat segera ditumpas kembali oleh pasukan TNI.
Letnan Kolonel Ventje Sumual dan pendukungnya ditangkap dan ditahan sampai
akhirnya dibebaskan di zaman Orde Baru. Satu lagi contoh gerakan separatis yang
dapat ditumpas karena sikap tegas pemerintah adalah pemberontakan Kahar Muzakar
di Sulawesi Selatan. Saat itu Bung Karno secara tegas langsung memerintahkan
Ahmad Yani yang kala itu menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf
Komando Operasi Tertinggi (KOTI) untuk segera menumpas gerakan separatis itu. Ahmad Yani, seorang pati TNI AD dan
kesayangan Bung Karno, berhasil dengan sukses melaksanakan perintah tegas
Panglima Tertinggi Angkatan Perang (Ketua KOTI). Kahar Muzakar beberapa bulan
kemudian ditembak mati pasukan Ahmad Yani. Gerakan
separatis di Papua Masalah KKB, atau dikenal sebagai
Organisasi Papua Merdeka (OPM), sejak Indonesia memperjuangkan pembebasan
Irian Barat tahun 1950-an sebenarnya sudah ada. Cikal bakal OPM waktu itu
diinisiasi oleh Belanda untuk melanggengkan penjajahan atas Irian Barat. Nama Irian Barat berubah menjadi Papua
karena kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang pada 31 Desember
1999 berkunjung ke Papua. Gus Dur, sebagaimana diberitakan media
massa, antara lain menerima tuntutan kaum separatis yang berargumentasi ingin
mengubah nama Irian menjadi Papua. Alasannya, nama Irian kepanjangan dari
”Ikut Republik Indonesia Anti Nederland”. Tentu ini sebuah argumentasi yang
sangat aneh dan lemah dari sisi sebuah kebijakan negara. Seperti diketahui, nama Irian adalah nama
yang diusulkan oleh seorang pejuang pembebasan Irian Barat, Frans Kaisiepo,
kepada Bung Karno. Menurut Frans waktu itu, Irian berasal dari
bahasa salah satu suku di Papua yang berarti ’Sinar yang menghalau kabut’,
sedangkan arti Papua adalah ’daerah hitam tempat perbudakan’. Ironisnya, Gus Dur waktu itu justru
menyetujui hasil Kongres Rakyat Papua awal Juni 2000 yang hendak mengambil
keputusan menuntut pemisahan diri dari NKRI meskipun saat Sidang Tahunan MPR
2000 secara tegas oleh Presiden Gus Dur diutarakan bahwa pemisahan diri dari
NKRI akan ditindak tegas. Tindakan tegas yang akan diambil sesuai
semangat Pidato Kenegaraan Bung Karno 17 Agustus 1950 yang menyatakan soal
Irian Barat adalah soal penjajahan atau tidak penjajahan, soal penjajahan
atau kemerdekaan. Waktu itu, Bung Karno menyatakan, ”Kita menghendaki seluruh
Tanah Air kita merdeka, seluruh tumpah darah kita, dari Sabang sampai Merauke
zonder kecuali.” Otsus
dan kesejahteraan Dari contoh tersebut dapat disimpulkan
bahwa gerakan separatis di NKRI haruslah ditumpas secara tegas bila perlu
dengan kekuatan bersenjata (militer), dan tak hanya dengan jalan diplomatis
persuasif atau dialog. Apalagi kalau jalan damai tak berhasil dilakukan. Lalu, bagaimana dengan masalah HAM di Irian
Barat? Hal ini sebenarnya sudah terjawab dari penjelasan Menteri Luar Negeri
Indonesia Dr Subandrio kepada delegasi Belanda yang dipimpin oleh Van Royen
saat perundingan 25 Juli 1962. Terkait pelaksanaan hak asasi rakyat (HAM)
Irian Barat, hal itu dapat dipelajari sebagaimana tercantum dalam rancangan
diplomat AS, Ellsworth Bunker, yang menjadi penengah dalam perundingan
RI-Belanda menyelesaikan Irian Barat dan dikenal dengan ”Bunker Plan”. Dalam naskah Bunker Plan, di antaranya
hak-hak rakyat Irian Barat sejak awal diakui oleh Pemerintah Indonesia untuk
menentukan pendapatnya sendiri untuk memilih tetap menjadi bagian dari
Indonesia atau Belanda. Dan, rakyat Irian Barat dalam Penentuan
Pendapat Rakyat (Pepera) akhirnya memilih menjadi bagian dari NKRI. Artinya,
sejak awal, hak-hak rakyat Irian Barat sudah dihormati oleh pemerintah. Karena itu, jika pemerintah waktu itu
dianggap melanggar HAM rakyat Papua dan Papua Barat, bagi saya tentu hal itu
adalah sebuah penghinaan terhadap Indonesia dan harus ditolak! Pemerintah sejak 2001 hingga kini sudah
memberikan otonomi khusus (otsus) bagi rakyat Papua dan Papua Barat dengan
dana yang sangat besar dari APBN untuk perbaikan dan peningkatan
kesejahteraan, kesehatan, serta pendidikan rakyat Papua yang dikelolanya sendiri
oleh pemerintah daerah. Bahwa ada ekses-ekses dugaan korupsi dalam
pelaksanaan otsus di Papua dan Papua Barat, dan dugaan pelanggaran HAM dari
aparat keamanan dalam upaya penegakan hukum, menjaga keamanan dan ketertiban,
tentu hal itu harus tetap ditindak tegas dan dihukum serta diperbaiki oleh
pemerintah pusat dan daerah, TNI, dan rakyat Papua sendiri. Namun, apa pun namanya, berbagai upaya dan
bentuk rongrongan, gangguan keamanan dalam cakupan besar atau kecil untuk
memisahkan diri dari NKRI oleh kelompok apa pun di Papua dan Papua Barat,
pemerintah harus berani bertindak tegas dan tanpa kompromi. TNI sebagai
pengawal NKRI pun harus tetap terus berada di garda depan di Papua dan Papua
Barat. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar