Kembara
Pemikiran Islam Kang Jalal Haidar Bagir ; Pendiri Compassionate Action
Indonesia; Pengajar Filsafat dan Mistisisme
Islam di ICAS-Paramadina |
KOMPAS,
18 Februari
2021
”A being unto death”. Demikian Martin Heidegger
dalam satu cara mendefinisikan manusia. Ya, begitu lahir, kapan pun manusia
bisa mati. Maka, tugas manusia adalah mencari jawaban atas ”absurditas” ini,
mencari makna dalam kehidupan yang diteror oleh kematian setiap saat. Namun, mati tidak mesti teror. Justru
kesadaran tentang keterbatasan hidup manusia ini bisa menjadikan hidup sangat
berharga. Setiap detiknya. Bagaimana caranya? Seperti pernah disampaikan dengan mengutip
filsuf yang sama oleh Jalaluddin Rakhmat, akrab dipanggil dengan sebutan Kang
Jalal, dalam salah satu episode dari seri videonya yang bertajuk Democracy
Project, mari kita sambut dan rencanakan kematian kita. Jangan biarkan dia menyergap kita secara
tidak semena-mena. Sang Nabi pun mengajarkan ”matilah sebelum kamu mati”.
Matilah secara sukarela (ikhtiyari). Agar, dengan demikian, mati justru bisa
menjadi sumber makna hidup itu sendiri. Lagi pula, bagi orang beriman,
kematian bukanlah terminal terakhir kehidupan kita, bukan titik di mana kita
lantas sirna, tanpa bekas. Orang beriman percaya ada perhitungan, ada
ganjaran hukuman dan imbalan kebahagiaan abadi, yang pasti kita jumpai
setelah kematian: ”(Dialah) Tuhan yang menciptakan mati dan hidup, untuk
menguji siapa di antara kalian yang paling sempurna/indah amal-amalnya” (QS
Al-Mulk [67]:2). Maka, penting menjalani hidup dengan baik,
yang dipenuhi amal-amal yang sempurna. Sebagai hasilnya, dari mata air
intelektualitas dan kerohanian Kang Jalal, lahirlah karya yang berjudul
Memaknai Kematian. Mungkin juga, dengan bertambahnya usia,
Kang Jalal semakin intens merasakan ”intaian” kematian. Maka, inilah renungan
Kang Jalal ketika usianya mencapai 65 tahun, delapan tahun yang lalu. ”Masa telah meninggalkan jejak-jejaknya
dalam uban di kepala, dalam rabun di mata, dalam keriput di kulit, dalam
keringkihan di seluruh tubuh. Betapa inginnya sang waktu memberikan kepadaku
kearifan dalam akalku, kebersihan dalam hatiku, kesucian dalam rohaniku, dan
kezuhudan dalam hidupku. Namun, dalam usia senjaku, aku temukan butir-butir
air mata penyesalan karena menghabiskan banyak masa dalam mengejar ambisi
pribadi. Aku dapatkan jeritan hati kesedihan karena malaikat lebih banyak
menuliskan keburukanku daripada kebaikanku...”. ”I’m running out of time now. Lihat jam
pasirku menyisakan tinggal sejumput butir pasir di bagian atasnya.” Renungan mendalam sangat sufistik seperti
ini memang sama sekali tidak aneh jika keluar dari Kang Jalal. Intelektual
beriman Sejak 40 tahunan lalu ketika mulai
mengenalnya, saat Kang Jalal masih di usia awal-awal 30 tahunan, saya sudah
mendapati karya-karya Martin Buber dan para pemikir eksistensialis lain di
rak buku di rumahnya. Saya yakin Kang Jalal sudah membaca Heidegger pada masa
itu. Kenapa tidak, bahkan ketika masih menjadi
guru muda SMP Muhammadiyah, konon beliau sudah membaca karya-karya Baruch
Spinoza. Kita tahu bahwa Spinoza adalah seorang
pemikir panteistik Barat terkemuka (dan bukan tak mungkin pemikirannya ikut
menggiring ketertarikan masa kematangan Kang Jalal kepada faham ”kesatuan
wujud” dalam tasawuf). Kenyataannya, tidak sedikit karya-karya
tasawuf ditulisnya, belum termasuk berbagai bahan ceramah tentang tema sama
yang bertebaran di mana-mana, ada Reformasi Sufistik, Renungan-renungan
Sufistik, Madrasah Ruhaniah, Road to Allah, Road to the Rasulullah, dan
lain-lain. Yang pasti, Kang Jalal adalah potret
intelektual beriman, yang memilih untuk memberi makna sebanyak-banyaknya pada
hidup yang dibatasi (baca: dimaknai) kematian ini. Hidup untuk membela
orang-orang lemah dan berkekurangan, orang-orang yang diperlemah (the oppressed/mustadh’afin). Apakah ini yang menyebabkan Kang Jalal
tertarik pada Frantz Fanon dan Ali Syariati sebagai counterpart Islamnya?
Atau, sebaliknya, bacaannya akan Ali Syariati dan Frantz Fanon yang
menyebabkan hati Kang Jalal terbetot pada perjuangan membela kaum tertindas
di bumi (the wretched of the earth) ini? Terbukti, di antara banyak pemikiran
manusia genius bernama Jalaluddin Rakhmat ini, spiritualitas—dalam bentuk
tasawuf, sebagai mazhab cinta dalam Islam—serta pemihakan kepada kaum duafa dan
mustadh’afin terasa kental mewarnai pemikiran tersebut. Spiritualitas, bagi Kang Jalal, bukanlah
semata pelipur bagi kehampaan spiritual manusia modern—sebagaimana
dielaborasinya, secara langsung atau tidak, di dalam sedikitnya dua buku
tentang kebahagiaan, yakni Mencari Kebahagiaan dan Tafsir
Kebahagiaan—melainkan juga sumber api cinta kepada sesama makhluk Tuhan. Maka, bersama dengan kajian-kajian sufistik
yang meluncur deras dari sumur spiritual Kang Jalal, beliau terjun langsung
di dalam aksi-aksi advokasi dan pemberdayaan duafa. Saya tahu betapa kang
Jalal, dibantu para muridnya, mengurusi keluarga-keluarga miskin yang tinggal
di pinggir-pinggir rel kereta api di Bandung. Lalu, bersama dengan pendirian
SMA Plus Muthahhari yang merupakan buah kepeduliannya terhadap perbaikan
kualitas pendidikan di negeri ini, dia pun mendirikan sekolah gratis di
Cicalengka. Itu semua belum termasuk berbagai perilaku
welas asih personalnya terhadap siapa saja yang datang kepadanya. Pluralis
interagama Kang Jalal, di mata orang yang tak paham,
bisa tampak sebagai tokoh sektarian karena keterikatannya pada mazhab Syiah
yang dipeluknya belakangan, padahal sesungguhnya dia seorang pluralis.
Pluralis interagama Islam, ataupun antaragama. Dia menulis buku Islam dan
Pluralisme. Pada saat yang sama, Kang Jalal juga adalah
seorang pejuang hak-hak minoritas. Bukan cuma minoritas Syiah, yang memang
merupakan denominasi aliran keislaman yang dipilihnya, Kang Jalal adalah
pembela Ahmadiyah, bahkan hak-hak asasi manusia para warga lesbian, gay,
biseksual, transgender, queer (LGBTQ). Sebagai seorang yang pengetahuan agamanya
amat luas—Kang Jalal adalah seorang penulis dan pemikir prolifik—tentu dia
bukan tidak tahu tentang hukum hadd (pidana) syariah atas praktik-praktik
seksual sesama jenis. Namun, bagi pembaca yang teliti, amat mudah
memahami bahwa beliau tidak sedang berbicara mengenai soal ini, tetapi
tentang keharusan menjamin terselenggaranya hak-hak asasi mereka sebagai
manusia dan warga negara. Memang, terkadang, ke-”lurus”-an,
keterusterangan, dan ketajaman pilihan diksinya dalam ceramah-ceramah dan
tulisan-tulisannya berpotensi menimbulkan salah paham. Bukan hanya dalam soal pembelaannya
terhadap komunitas LGBTQ, melainkan juga dalam hal-hal lain yang melibatkan
kritik terhadap pandangan ”normal” kelompok-kelompok arus utama (mainstream)
mayoritas di berbagai lapangan kehidupan. Malah, sampai batas tertentu, Kang Jalal
adalah orang yang polos. Kalau tidak, tidak akan dia, yang pernah berakar di
organisasi (Persatuan Islam/Persis) yang puritanistik, belakangan seperti
berhijrah ke Muhammadiyah yang modernistik, dan ujungnya berlabuh kepada
mazhab Syiah yang amat esoteristik dan tidak ortodoks. Lebih-lebih lagi, persoalan-persoalan yang
beliau bahas lebih sering amat sophisticated (canggih) dan sulit dipahami
kebanyakan orang. Potensi kesalahpahaman pun menjadi makin besar. Maka, ketimbang menyesali kejujuran dan
kepolosan almarhum, saya malah jadi ingat kepada salah satu potongan puisi
Muhammad Iqbal menjelang kematiannya: Telingaku bukanlah untuk zaman ini ’Ku tak butuh telinga masa ini Akulah suara penyair esok hari Zamanku tak paham kedalaman makna-maknaku Yusufku bukanlah buat pasar ini... Ya, memang barangkali Kang Jalal bukan
sepenuhnya untuk telinga zaman kita. Apalagi inilah zaman di mana populisme
menggeretak, hoaks dan post truth mencengkeram, pun mesin algoritma
media-media sosial menjerebak. Dibutuhkan tak kurang dari hati terbuka dan
penuh permakluman, dan akal jernih dan canggih, untuk bisa mengambil manfaat
maksimum bebas kemurkaan dari kembara pemikiran keislaman Kang Jalal. Akhirnya, dengan penuh takzim kita ucapkan:
Selamat Jalan, Kang Jalal. Selamat menikmati keheningan dan kebeningan tanpa
kegaduhan, bercengkerama dengan Kekasih yang permaafannya seluas bumi dan
langit. Doakan, dari atas sana, agar kami bisa merawat dan menyemaikan
peninggalan-peninggalan kembara pemikiran, ajaran cinta, dan aksi-aksimu
membela kaum lemah dan minoritas yang tertindas demi semua warga negeri ini. Semoga Tuhan menolong kita semua. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar