Konflik
Agraria Tak Kunjung Usai Maria SW Sumardjono ; Guru Besar Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia |
KOMPAS,
23 Februari
2021
Januari lalu, Konsorsium Pembaruan Agraria
dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara merilis catatan akhir tahun 2020
tentang konflik agraria. Frekuensi dan ragam konflik yang sempat
dicatat itu merupakan akumulasi dari konflik pada masa sebelumnya yang belum
terselesaikan, ditambah dengan konflik yang berlangsung pada masa pandemi. Konflik agraria dimaksud merupakan konflik
struktural, yakni konflik berkenaan dengan akses dan pemanfaatan sumber daya
alam (SDA) antara kelompok yang lemah dan yang kuat posisi tawarnya, dengan
kelompok yang kuat posisi tawarnya memperoleh izin/hak dengan fasilitasi
pemerintah (pusat ataupun daerah). Jika semasa Orde Baru mayoritas konflik
bersumber pada penggusuran tanah masyarakat, termasuk masyarakat hukum adat
(MHA), untuk pembangunan dalam rangka kepentingan umum, dalam perjalanan
waktu, ragam konflik berkembang. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menunjukkan kesamaan tipologi
konflik, yakni konflik di bidang (1) perkebunan, (2) kehutanan, (3)
pembangunan infrastruktur, (4) pertambangan, (5) fasilitas militer, dan
lain-lain. Dalam catatan KPA, akhir 2020 terdapat 241
kasus. Tertinggi di perkebunan (122 kasus) disusul kehutanan (41 kasus) yang
naik signifikan dari tahun sebelumnya. AMAN mencatat 40 kasus, tertinggi di
perkebunan (10 kasus), disusul kehutanan dan pembangunan infrastruktur
(masing-masing enam kasus). Mengapa, bahkan di masa pandemi, di mana
terjadi perlambatan di bidang ekonomi, konflik agraria masih juga terjadi?
Konflik antara masyarakat dan MHA di satu pihak, dengan pihak lain yang butuh
ketersediaan tanah untuk usaha atau kegiatannya, terjadi karena perbedaan
persepsi dan relasi, di antara pihak-pihak itu terhadap SDA, khususnya tanah. Bagi masyarakat perdesaan dan MHA, tanah
merupakan sumber penghidupan yang wajib dipertahankan demi kelangsungan
hidupnya dan dipelihara sebagai wujud rasa syukur atas karunia Tuhan Yang
Maha Esa (Pasal 1 UU Pokok Agraria/UUPA). Pemilikan tanah juga menunjukkan martabat
dan harga diri seseorang. Bagi pihak lain, terutama para pemodal, tanah
merupakan barang yang bisa diperjualbelikan, baik tanahnya maupun produk yang
dihasilkannya, sepanjang hal itu memberikan keuntungan ekonomi (tanah sebagai
komoditas). Bagi petani/masyarakat perdesaan dan MHA,
tanah juga tempat tinggal dan rantai penghubung dengan para
pendahulu/leluhurnya. Bagi mereka, tanah tak tergantikan sehingga jika
terpaksa melepaskannya, cara berpikir mereka: bagaimana memperoleh
”penggantian” atas sumber penghidupan mereka beserta nilai-nilai yang
menyertai. Persepsi tentang tanah berkaitan dengan
relasi antara orang dan tanah dalam berbagai dimensi. Dari aspek ekonomi,
masyarakat perdesaan dan MHA cenderung mempertahankan kepemilikan sebagai
sumber penghidupan dan bukan untuk dikomersialkan; bagi pemodal, tanah dan
SDA perlu diolah/diusahakan agar dapat diperdagangkan. Secara yuridis, bukti formal kepemilikan
merupakan hal yang mutlak perlu bagi pemodal, sedangkan bagi masyarakat
perdesaan dan MHA, bukti penguasaan fisiklah yang diutamakan. Pendaftaran
tanah yang belum tuntas di seluruh wilayah Republik Indonesia membuka peluang
untuk terjadinya konflik karena klaim wilayah oleh berbagai pihak. Secara politis, peraturan perundang-undangan
cenderung lebih berpihak kepada kepentingan pemodal. UU No 3/2020 tentang
Perubahan atas UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan UU
No 11/2020 tentang Cipta Kerja (UUCK), contohnya. Di lain pihak, RUU
Masyarakat Hukum Adat tersendat pembahasannya sejak 15 tahun lalu. Perbedaan persepsi dan relasi tentang tanah
itu memicu konflik kepentingan antara pihak yang berusaha mati-matian
mempertahankan tanahnya dan pihak yang memburu kesempatan untuk memperoleh
tanah sebagai modal, setiap ada peluang, tak terkecuali di masa pandemi. Yang kemudian terjadi adalah ketimpangan
dalam penguasaan/pemilikan tanah. Di satu sisi masyarakat perdesaan dan MHA
sulit mempertahankan tanahnya dan lebih sulit lagi bagi yang tak punya tanah
untuk bisa memperolehnya. Di sisi lain mereka yang bermodal kuat bisa
memperoleh tanah sebagai modal usahanya, bahkan menguasainya dengan hak (HGU
atau HGB) dalam skala luas. Mengapa? Karena sampai kini belum ada peraturan
perundang-undangan yang mengatur batas maksimum penguasaan hak atas tanah
oleh badan hukum meski sudah diamanatkan oleh UUPA sejak 1960 (Pasal 17 Ayat
1). Upaya
penyelesaian konflik Menyikapi konflik agraria yang belum juga
dapat dituntaskan penyelesaiannya itu, pada 2017 pemerintah membentuk Tim
Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria (TPPKA) dengan Kantor Staf Presiden
sebagai simpul koordinasi. Tim bertugas menerima aduan, menganalisis
kasus, melakukan verifikasi lapangan, dan menyampaikan rekomendasi
penyelesaiannya. Sejak dibentuk, tim telah menerima aduan 666 kasus, yang
kemudian dilakukan pemilahan dengan hasil: 413 kasus cukup, sedangkan 167
kasus kurang informasi pendukung. Dari 413 kasus itu, 167 dapat diselesaikan
dalam jangka pendek, 92 jangka menengah, dan 154 jangka panjang. Untuk
memperkuat komitmen ini, pada 12 Juni 2019 diadakan rapat tingkat menteri
yang melibatkan 12 kementerian/lembaga (K/L), termasuk TNI/Polri. Belum ada
informasi tentang capaian tim ini. Menyikapi konflik agraria yang masih tinggi
frekuensinya itu, Wakil Menteri ATR/BPN, 6 Januari 2021, menyatakan telah
menyiapkan sejumlah strategi untuk menanganinya. Ketimpangan
pemilikan/penguasaan tanah diupayakan untuk diatasi melalui program reforma
agraria. Sementara strategi penyelesaiannya butuh
leadership (kepemimpinan) yang kuat, koordinasi dan komunikasi lintas
sektoral, dan memahami kebutuhan masyarakat. Upaya penyelesaian konflik itu perlu
diapresiasi dan didukung dengan sejumlah catatan. Pertama, penyelesaian
konflik agraria itu tak dapat hanya dengan melihat: pihak-pihak yang
berkonflik, jenis/macam konflik, kasus posisinya, bukti-bukti kepemilikan,
landasan hukum yang relevan. Masalahnya sangat kompleks. Apa yang tampak
di permukaan dan dilaporkan itu di dalamnya mengandung akar masalah yang
belum pernah diselesaikan secara menyeluruh dan tuntas, yakni ketidakadilan
dalam penguasaan/pemilikan tanah. Kedua, peraturan perundang-undangan yang
ada lebih cenderung pro pemodal dan tak cukup memberikan penguatan terhadap
hak masyarakat perdesaan dan MHA serta kelompok terpinggirkan lainnya. Konflik agraria yang menimpa sekelompok
masyarakat itu bersifat lintas sektoral dan setiap sektor mempunyai UU yang
tak selalu sejalan, bahkan tumpang tindih dan bertentangan satu sama lain.
Konflik norma itu mengakibatkan tidak mudah menyelesaikan konflik agraria. Secanggih apa pun koordinasi dan komunikasi
antar-K/L, tentu tak semudah itu bagi sektor-sektor untuk menyimpang dari UU
masing-masing dengan segala konsekuensinya. Karena itu, perlu dipertimbangkan
dengan sungguh-sungguh upaya harmonisasi UU sektoral yang diamanatkan MPR 20
tahun lalu (Tap MPR RI No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam). Jika UUCK mampu menyatukan 78 UU yang tak
serumpun, seharusnya jika ada komitmen kuat dari pemerintah, harmonisasi UU
sektoral dapat diupayakan (Maria SW Sumardjono, ”Omnibus Law Sumber Daya
Alam”, Kompas, 28/11/2019). Ketiga, model penyelesaian konflik yang
ditempuh saat ini sudah maksimal, tetapi sifatnya parsial dan temporer.
Semestinya penyelesaian konflik harus ditempuh secara komprehensif dan
melembaga. Masalahnya, siapa yang dapat menjamin
pemerintahan yang akan datang akan memberikan perhatian terhadap penyelesaian
konflik agraria? Usulan pembentukan suatu lembaga independen di bawah
Presiden untuk menyelesaikan konflik agraria sudah pernah diusulkan dalam RUU
Pertanahan versi awal (2017), tetapi kemudian (di)hilang(kan) dalam
versi-versi selanjutnya karena kekurangpahaman terhadap urgensi dan
relevansinya. Keempat, memahami kebutuhan masyarakat.
Masyarakat dan MHA menghendaki haknya diakui dan dilindungi dari ”gangguan”
pihak lain. Hak masyarakat perlu penguatan dalam konteks normatif melalui
penyempurnaan Perpres No 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria (RA) dan
pelaksanaan reforma agraria yang sejalan dengan komitmen Presiden yang
disampaikan 23 November dan 3 Desember 2020. Pembentukan Tim Kerja Bersama dan rencana
aksi sebagai tindak lanjutnya melibatkan 14 K/L terkait serta pimpinan
organisasi nonpemerintah (ornop). Kerja tim ini diharapkan menunjukkan hasil
positif karena didukung dengan usulan konkret dari ornop berupa data
lapangan. Pengakuan hak MHA memerlukan kesungguhan
untuk mendorong terbitnya UU tentang MHA. Kegiatan kelompok MHA untuk
memetakan wilayahnya dan mendorong terbitnya SK bupati untuk mengakui dan melindungi
MHA beserta hak-haknya perlu didukung dalam upaya mencegah konflik sejak
dini. Contohnya, SK Bupati Maybrat No 72 Tahun 2020. Meletakkan
dasar penyelesaian Kerja-kerja penyelesaian konflik agar
dilanjutkan melalui sinergi di antara berbagai tim dengan mengakomodasi
pola-pola penyelesaian konflik yang diusulkan masyarakat dan MHA. Ketika struktur kekuasaan masih cenderung
memberikan lebih banyak kemudahan dalam akses terhadap penguasaan/pemilikan
SDA, termasuk tanah, kepada pihak yang kuat posisi tawarnya, perlu diupayakan
untuk menaikkan posisi tawar kelompok yang tak diuntungkan agar keadilan
sosial semakin tampak nyata. Untuk itu perlu diwujudkan UU tentang
Penguasaan dan Pengelolaan SDA, penguatan Perpres No 86/2018 tentang RA
terkait kelembagaan dan cara kerja serta urgensi pembentukan lembaga
independen untuk penyelesaian konflik agraria, sebagai antisipasi ke arah
pembentukan UU tentang RA, dan pengesahan UU tentang MHA. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar