Sepuluh
Tahun ”Musim Semi Arab” Trias Kuncahyono ; Wartawan Senior |
KOMPAS,
25 Februari
2021
Bulan Februari ini genap sepuluh tahun
Revolusi Musim Semi Arab (Arab Spring), yang mulai berkobar di Tunisia. Dari Tunisia api revolusi menjalar dan
membakar negara-negara lain di kawasan Afrika Utara dan Timur Tengah.
Tuntutannya hampir sama: demokrasi, keadilan, dan kebebasan berekspresi. Ada yang menyebut peristiwa sepuluh tahun
silam bukan sebagai ”Musim Semi Arab”, melainkan ”Kebangkitan Arab”. Dan juga
”Revolusi Arab”. ”Pemberontakan Arab”. Apa pun istilahnya, semua itu untuk
memulihkan karama, martabat, dan mungkin penghormatan diri (Johnny West:
2011). Sepuluh tahun silam optimisme menguasai
anak-anak muda yang turun ke jalan, berdemonstrasi besar-besaran. Belakangan
mereka didukung militer, menyingkirkan penguasa korup dan diktator. Mereka menuntut reformasi politik dan
ekonomi, supremasi hukum, pemberian hak-hak sipil yang lebih besar, dan yang
terpenting bagaimana negara harus dijalankan secara benar untuk kesejahteraan
rakyat, demi terwujudnya bonum commune, kemaslahatan bersama. Hasil dari revolusi itu adalah jatuhnya
empat pemimpin di Tunisia, Mesir, Libya, dan Yaman, serta memaksa sejumlah
pemimpin negara lain, seperti Jordania dan Kuwait, memberi konsesi pada
demonstran. Raja Jordania menandatangani konstitusi
baru yang mengurangi kekuasaannya. Revolusi di Jordania memang sedikit
berbeda. Di Jordania, penjatuhan rezim tidak masuk daftar tuntutan. Mereka
menuntut reformasi politik dan ekonomi (Sarah A Tobin: 2012). Jatuhnya para pemimpin itu untuk sesaat
dimaknai sebagai datangnya demokrasi di Dunia Arab. Barangkali ini adalah
capaian terbesar: diktator di Dunia Arab dapat disingkirkan melalui revolusi
rakyat, bukan oleh kekuatan militer atau intervensi asing seperti di Irak.
Tumbangnya para diktator menunjukkan kuatnya rakyat ketika mereka bersatu. Revolusi
gagal Setelah satu dekade, apakah rakyat sudah
lebih bebas? Bagaimana demokrasi? Apakah karama mereka sudah dipulihkan?
Bagaimana pembangunan ekonomi, kesempatan kerja, pengurangan kemiskinan?
Bagaimana pula dengan korupsi yang dulu meruyak? Menurut jajak pendapat The Guardian dan
YouGov (The Guardian, 17 Desember 2020), mayoritas orang yang disurvei di
Sudan, Tunisia, Algeria, Irak, dan Mesir memang tidak menyesali revolusi itu.
Namun, lebih dari separuh responden di Suriah, Yaman, Libya, dan Sudan
mengatakan kehidupan mereka jauh lebih buruk dibandingkan sebelum revolusi. Yang juga menarik, 50 persen responden di
Tunisia (yang dianggap negara paling berhasil pasca-revolusi) mengatakan
kehidupan mereka saat ini lebih buruk; hanya seperempat lebih sedikit yang
mengatakan kehidupan mereka lebih baik. Mayoritas yang disurvei di Yaman, Suriah,
Irak, Libya, Sudan, dan Tunisia percaya, anak-anak mereka akan menghadapi
masa depan lebih buruk dibandingkan sebelum revolusi. Data dari FSI (Fragile/Failed State Index)
menunjukkan perkembangan Suriah menuju status failed state (negara gagal)
saat peringkatnya ”naik” dari 39 pada 2010 menjadi 4 pada 2020—kehilangan 35
peringkat; Libya dari 112 menjadi 20; Yaman dari 18 menjadi negara gagal
nomor satu. Sebagai perbandingan, Mesir naik dari nomor 43 tahun 2010 menjadi
nomor 35 tahun 2020. Memang, bila hanya berhenti di titik
tumbangnya para diktator, dapat dikatakan revolusi berhasil di Tunisia,
Mesir, Libya, dan Yaman. Walaupun hanya satu eksperimen demokrasi yang boleh
dikatakan berhasil, yakni di Tunisia, tetapi dengan persoalan tidak ringan. Satu dekade setelah revolusi ada kemajuan
demokrasi di Tunisia: respek terhadap konstitusi dan ada jaminan kebebasan
publik dan pribadi. Namun, transisi demokrasi rapuh. Korupsi (salah satu
pemicu revolusi) tetap meluas, represi politik, pelanggaran hak asasi
manusia, kesulitan ekonomi, dan pandemi Covid-19. Menurut National Institute of Statistics
(Tunisia), tingkat pengangguran selama kuartal ketiga tahun 2020 adalah 16,2
persen dari total populasi aktif, sekitar 6.766.000 orang. Jumlah tersebut
mencakup tidak kurang dari 225.000 lulusan universitas dengan angka meningkat
30-40 persen di beberapa provinsi pedalaman. Banyak orang yang terpaksa meninggalkan
Tunisia. Menurut Tunisian Economic and Social Rights Forum, tahun lalu
150-200 keluarga secara ilegal masuk Eropa. Tahun 2020, hampir 10.000 orang
Tunisia masuk Eropa (Le Monde Dipomatique, Januari 2021). Sementara eksperimen demokrasi di Mesir
gagal total. Penguasa otokratik, Hosni Mubarak digantikan oleh penguasa
otokratik lain, Abdel Fatah el-Sisi. Pemerintah sipil hasil pemilu pertama
setelah revolusi pimpinan Muhammad Mursi dari Partai Kebebasan dan
Keadilan-nya Ikhwanul Muslimin, hanya seumur jagung. Kegagalan revolusi di Mesir menjadi lebih
nyata April 2019, saat Konstitusi Mesir diamendemen untuk memberikan
kesempatan pada El-Sisi berkuasa sampai tahun 2030, bukan 2022 sesuai
ketentuan lama. Ia terpilih dalam Pemilu 2014, terpilih lagi 2018 (meraih
suara 97 persen) meski dengan melarang kandidat oposisi bertarung. Bagi Suriah, Libya, dan Yaman, revolusi
justru melempar mereka ke lembah perang saudara. Negara pecah. Rakyat
terbelah dan menderita. Persoalan bertambah rumit dengan campur
tangan asing. Suriah, meskipun pemimpinnya (Bashar al-Assad) lolos dari
penggulingan, negara hancur dicabik-cabik perang saudara. Proses
panjang Dalam kondisi seperti itu, muncul
pertanyaan: apa arti demokrasi bila tidak ada kemakmuran? Karama masih
diinjak? Keadilan belum dirasakan? Revolusi justru menimbulkan kekecewaan,
oportunisme politik, otoritarianisme, kekerasan, dan perang saudara. Mungkinkah rezim represif di Timur Tengah
dan Afrika Utara dapat disingkirkan begitu saja oleh protes jalanan? Anggapan bahwa perubahan radikal seperti
itu dapat terjadi cepat tentu naif karena tidak tersedia kondisi untuk
pembentukan sistem pemerintahan dan hukum yang sangat berbeda. Transisi dari
kediktatoran ke demokrasi jarang terjadi secara langsung atau mulus. Sejarah mencatat bahwa setelah jatuhnya
Tsar Rusia (1917) dan kemudian jatuhnya rezim komunis Uni Soviet (1991) tidak
”mendadak” muncul demokrasi. Apalagi di Timur Tengah dan Afrika Utara yang
tidak punya pengalaman dan tradisi. Yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika
Utara adalah ”musim semi” begitu cepat berlalu, kembali ke ”musim dingin”
dengan ”musim panas” dan ”musim gugur” hanya sekejap. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar