Meminimalisasi
Pandemi, Meneguhkan Keberagamaan Aktif Abd A’la ; Guru Besar UIN Sunan Ampel
Surabaya; Abdi Pondok Pesantren Annuqayah Latee Sumenep |
KOMPAS,
19 Februari
2021
Kendati vaksinasi Covid-19 telah dimulai di
Indoensia dan berbagai belahan dunia, kita belum dapat memastikan kapan
pandemi dan penyebaran virus mematikan ini akan berhenti, khususnya di negeri
ini. Persoalannya bukan hanya sebatas pada persoalan efektivitas vaksin dan
hal-hal yang berkaitan dengan hal itu, tapi juga berpulang sikap dan perilaku
hidup masyarakat. Sampai batas tertentu, pola keberagamaan
masyarakat ikut juga menentukan. Dengan demikian, terkait dengan Indonesia
yang terkenal dengan ketaatan masyarakatnya dalam beragama, peneguhan
keberagamaan yang lebih mendukung kepada penghentian penyebaran virus ini
niscaya sangat perlu dilakukan. Membaca
keberagamaan umat Kita perlu melirik pola keberagamaan
masyarakat karena beragama bukan sekadar persoalan teologis keimanan kepada
sang Pencipta semata. Lebih dari itu, hal ini juga berkaitan dengan ejawantah
keimanan yang termanifestasi dalam kehidupan sosial dan aspek-aspek yang
lain. Dengan menggunakan pola keberagamaan
Yasemin El-Menouar (2014) dari Bertelsmann Stiftung Jerman yang terdiri lima
komponen dasar, senyatanya keberagamaan umat beragama di Indonesia tidak
menyisakan persoalan berarti bagi penanganan Covid-19. Unsur keberagamaan, yaitu basic religiosity
(keimanan dasar), central religious duties (kewajiban utama), religious
experience (pengalaman beragama), religious knowledge (pengetahuan agama),
dan religious orthopraxis (pengamalan ajaran agama), yang hidup di tengah-tengah
masyarakat tidak tampak berseberangan dengan protokol kesehatan dan
penanganan Covid-19. Ambil contoh mengenai basic religiosity
masyarakat sebagai dasar utama beragama. Pada awalnya memang ada pandangan
teologis segelintir masyarakat dan tokoh agama yang kurang kondusif. Mereka,
misalnya, mengaitkan terjadinya pandemi dengan hukuman Tuhan dan mereka
meyakini hanya pendosa yang kemungkinan besar akan terpapar wabah. Namun,
pandangan semacam ini tampaknya kian mengecil. Unsur-unsur keberagamaan lain juga nyaris
senada dengan keagamaan dasar tersebut, juga tidak menampakkan fenomena yang
berseberangan atau melawan upaya penanganan Covid-19. Namun melihat urgensinya, penanganan
pandemi ini harus dilakukan secara menyeluruh, tuntas, dan berkelanjutan
dengan memperkuat keterlibatan institusi agama. Umat tidak bisa lagi sekadar
bersifat pasif menerima vaksinasi dan ”pasrah” ikut protokol kesehatan. Keberagamaan yang terlihat pasif perlu
direkonstruksi menjadi keberagamaan aktif dan mencerahkan. Pola keberagamaan
sudah waktunya untuk dikembangkan menjadi dasar bagi umat, tidak hanya dalam
menjaga diri dari infeksi Covid-19 dan sejenisnya, tetapi juga bagi
terpanggilnya mereka untuk menjaga orang lain dan masyarakat dari serangan
Covid-19. Mereka terpanggil secara teologis terlibat
aktif mencegah kian meluasnya pandemi dan bertambahnya korban, dengan
bergerak di ranah mana pun dan sampai tempo kapan pun. Pendidikan
keagamaan dan literasi informasi Pengembangan keberagamaan aktif dalam
penanganan Covid-19 mensyaratkan agama tidak hanya bersifat pengajaran,
apalagi hanya bersifat mata pelajaran dan kuliah sekadar ”tempelan” di
lembaga pendidikan. Nilai-nilai agama sudah saatnya hadir di setiap bidang
kehidupan, di ruang mana pun dan di saat kapan pun. Sejalan dengan itu, literasi keberagamaan
mutlak menjadi bagian dari pandangan dan kehidupan masyarakat. Literasi ini
menuntut umat untuk memahami dan mengembangkan pemahaman, sikap, dan perilaku
berdasarkan sumber keagamaan yang otoritatif. Sumber nilai dan ajaran yang dijadikan
pegangan dapat dipertanggungjawabkan secara teologi dan etika-moral, (juga
fiqh dalam Islam). Nahdlaltul Ulama, Muhammadiyah, dan organisasi sejenis
yang tidak diragukan lagi moderasi dan sanad (mata rantai) ilmu keagamaan dan
pola keberagamaannya merupakan kemestian dijadikan rujukan. Pada saat yang sama, organisasi-organisasi
sosial keagamaan memiliki kewajiban sosial-teologis untuk menyampaikan ajaran
agama yang utuh dan mengembangkan keberagamaan aktif-mencerahkan mulai dari
ranah terkecil sampai skala nasional secara intens dan merata. Seiring itu, organisasi-organisasi
tersebut, sendiri-sendiri atau bersama lembaga lain dituntut juga
mengembangkan kemampuan literasi informasi umat dan masyarakat. Era the
Fourth Industrial Revolution yang berbasis cyber physical system nyaris tidak
akan memberikan peluang kehidupan yang normal, tenang, dan sehat lahir batin
bagi mereka yang tidak memiliki literasi tersebut. Dalam kasus khususnya di Indonesia, dunia
media sosial telah memorakporandakan kebenaran dan realitas. Kebohongan
informasi atau hoaks dianggap bahkan diyakini sebagai kebenaran hanya karena
ulah permainan oknum atau kelompok yang menguasai dunia teknologi informasi. Berpulang pada lemahnya kemampuan literasi,
orang atau masyarakat bukan hanya mereka yang tidak berpendidikan yang
termakan isu hoaks dan sejenisnya, tapi juga mereka yang menguasai agama atau
bependidikan tinggi, tapi tidak melek informasi. Hal ini tentu langsung atau
tidak akan berpengaruh dalam keberhasilan penanganan Covid-19. Keberagamaan aktif-mencerahkan yang
didukung literasi informasi merupakan keniscayaan bagi umat beragama dan
masyarakat untuk dilabuhkan saat ini ke depan. Melalui dua hal itu, umat
beragama dan masyarakat diyakini tidak hanya dapat menjaga diri sendiri agar
tidak terpapar Covid-19, tapi juga berperan aktif untuk mengajak seluruh
lapisan masyarakat agar hidup sesuai dengan protokol kesehatan secara
berkelanjutan, di mana pun dan kapan pun. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar