Melemahnya
Ingatan, Matinya Imajinasi Aris Setiawan ; Dosen Jurusan Etnomusikologi ISI
Surakarta, Lulus Program Doktoral, Jurusan Pengkajian Seni Pertunjukan dan
Seni Rupa, UGM Yogyakarta |
KOMPAS,
21 Februari
2021
Mahasiswa saya di Program Pascasarjana,
Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, menceritakan pengalamannya sebagai
seorang penari yang dirasanya aneh. Saat ia bersama teman-temannya menari
Gambyong di salah satu hotel di Solo, semua penonton dengan serempak
berperilaku ”tidak wajar”. Sebagai seorang penari yang harusnya ditonton,
kemudian berbalik, justru ia dan teman-temannyalah yang menonton kelakuan
penonton. Menurut dia, tidak ada satu pun penonton
yang menikmati tarian dengan berbekal mata telanjang, semua menyaksikan lewat
perangkat smartphone atau telepon pintarnya. Bahkan gerakan handphone
penonton itu serasa sebuah koreografi, mengikuti penari berjoget ke kanan
atau ke kiri. Penonton merekam pertunjukan tari itu, entah untuk disiarkan
secara langsung lewat media sosialnya atau sekadar digunakan sebagai
dokumentasi pribadi. Pada konteks inilah timbul sebuah
pertanyaan yang menggelitik, apakah hari ini eksistensi penonton masih ada?
Ataukah penonton hanya menjadi katalisator yang menjembatani
terpecah-pecahnya bentuk pertunjukan ke dalam ruang digital? Kemudian
memiliki efek domino, disebarkan secara simultan, dikomentari, dimaknai, dan
dinilai oleh lapis-lapis ”penonton” digital yang lain? Artinya, bukankah
penonton semakin jauh berjarak dengan kesenian yang ditontonnya? Jalan
pintas Pengalaman berbeda pernah diceritakan oleh
teman saya, seorang pegawai salah satu dinas kebudayaan. Ia bertemu dengan
temannya di sebuah mal saat sedang makan siang. Dengan percaya diri dia
menyapa, dan alangkah malunya, sosok yang dianggap teman itu tak
mengingatnya. Susah payah ia menjelaskan bahwa mereka pernah bersama dalam
sebuah forum pelatihan di Jakarta. Penjelasan itu berakhir ketersia-siaan. Terakhir, ia mengambil handphone di saku,
kemudian dipertontonkan foto-foto saat forum pelatihan itu. Dengan seketika
temannya itu ingat, dan obrolan berlanjut selayaknya sahabat karib yang lama
tak jumpa. Bagaimana ingatan yang tak lagi mampu bertahan lebih lama dalam
otak manusia. Gerbong ingatan itu dipindah dalam pelbagai perangkat
elektronik, terkhusus dalam linimasa media sosial. Kasus yang tak kalah menarik saat kelas
daring diberlakukan. Anak-anak sekolah yang biasanya bertatap muka langsung
dengan gurunya tak lagi ada. Pertemuan itu terjadi secara digital, dengan
mengandalkan aplikasi videocall. Saat ujian, siswa nampak duduk sigap di
depan layar komputer atau smartphone. Sahabat saya di Surabaya selalu
direpotkan dengan kelakuan anaknya karena saat ujian berlangsung, si anak
menyembunyikan smartphone lain (di luar yang digunakan untuk kelas daring). Adanya smartphone lain itu tentu saja tidak
terlihat oleh gurunya karena posisi kamera statis yang membatasi keleluasaan
mata. Si anak berhasil menjawab semua pertanyaan gurunya. Pada soal
matematika, misalnya, alih-alih menghitung di kertas kosong, si anak membuka
aplikasi kalkulator di smartphone-nya. Begitu juga untuk soal-soal lain, ia
mengandalkan mesin pencari Google untuk menemukan jawaban. Rentetan peristiwa itu apabila ditarik
kesimpulan akan bermuara pada satu gejala yang sama bahwa teknologi telah
mereduksi segala hal. Namun, terlepas dari itu, ada masalah lain, yakni
tentang gejala bias rasionalitas atau fallacy mental. Kahneman dan Amos
Tversky lewat tulisannya berjudul ”Prospect Theory” (1979) memandang bahwa
gejala-gejala itu menentukan behavioral decision making atau perilaku
pengambilan keputusan. Ada beberapa hal yang menjadi catatan. Pada
satu sisi, sistem otak manusia berpacu dengan sangat cepat, dibuktikan dengan
penemuan perangkat teknologi dan alogaritma rumit dalam memecahkan berbagai
masalah kehidupan. Sebagai contoh, hari ini kita tidak perlu berpikir keras
untuk mengetahui berapa hasil perkalian dan pembagian angka ratusan, ribuan,
bahkan lebih. Cukup dengan kalkulator, semua akan selesai beberapa detik. Namun, pada sisi lain, di saat yang
bersamaan, loncatan-loncatan penemuan itu semakin melemahkan kinerja otak.
Manusia tidak lagi mau berpikir kompleks, merunut, dan mengetahui sebuah
proses. Yang diinginkan adalah hasil yang secepat-cepatnya. Manusia
kehilangan sebuah perjalanan untuk menemukan. Contoh sederhananya, saat kita pergi ke mal
dan berniat membeli baju. Di beberapa merek tertera diskon 75%, 50%, dan 25%.
Otak kita dengan mudah akan mengetahui berapa harga akhir baju itu. Namun,
pernahkah kita menanyakan, kenapa diskon yang diberikan adalah 25% dan
kelipatannya, bukan 27%, 58,5%, atau 73,6%? Peristiwa itu menyangkut pengambilan
keputusan seketika. Manusia tidak lagi mau disibukkan dengan urusan ”proses
untuk mengetahui”, lebih baik memilih jalan pintas (shortcut) yang langsung
pada hasil, sebagaimana bermain kalkulator dan mesin pencari Google untuk
mendapatkan jawaban instan. Ingatan Pada kasus pertunjukan tari Gambyong,
publik mendudukkan dirinya semata sebagai penonton (spectators) bukan lagi
penikmat (connoisseurs). Dengan kata lain, di peristiwa itu telah terjadi
keterputusan komunikasi estetik yang disampaikan penari kepada mereka. Tari Gambyong itu diperlakukan selayaknya
mereka melihat kecelakaan sepeda motor di depan rumah, dengan kepala
pengendara berlumuran darah, kemudian bergegas mengambil smartphone untuk
merekam dibandingkan, misalnya menolong pengendara yang terluka. Ada empati yang terputus. Sementara tari
Gambyong itu untuk selanjutnya akan berakhir menjadi file digital, yang
apabila ingatan perlu untuk ”memanggilnya”, cukup dengan hanya membukanya
kembali, dibandingkan mengenang dan menyimpannya rapi dalam otak. Hal yang
sama juga terjadi pada kasus pertemanan di atas. Teknologi memutus rantai ingatan yang erat
bersentuhan dengan lapis imajinasi. Bukankah sebuah kejadian yang terkenang
dalam otak manusia tidak berhenti sebagai sebuah peristiwa yang informatif,
tapi menumbuhkan nilai dan makna-makna baru. Sebagaimana saat seseorang
mengenang pertemuan pertama dengan kekasihnya. Pertemuan itu akan tetap
”hidup”, bahkan bergerak melampaui peristiwa senyatanya, karena terus
ditafsir dan dimaknai. Sementara teknologi membekukan dan
menghilangkan semua itu. Ingatan manusia menjadi lebih pendek, imajinasi
mati, dan kemampuan nalar kita menjadi semakin cupet. Kredo bahwa ”Tuhan
tidak akan menciptakan kerinduan, bila tanpa disertai arti penting sebuah
pertemuan” mungkin akan hilang. Pertemuan itu tidak lagi ada, yang tersisa
kemudian adalah file-file dalam smartphone kita. Aduh! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar