Menolak
Dibunuh Sepi Iqbal Aji Daryono ; Penulis, tinggal di Bantul |
DETIKNEWS,
22 Februari
2021
Akhirnya, seorang sahabat kami tersambar
Covid juga. Dia sudah berumur di atas lima puluh, dan sudah agak lama
mengeluhkan problem kesehatan ini-itu. Wajar saja kalau kami teman-teman
baiknya agak ketar-ketir. Tapi bersamaan dengan kabar sakitnya itu, saya
melihat hal-hal kecil yang secara umum tampak wajar saja, namun membuat
segalanya membaik, yakni dukungan teman-temannya. Dukungan itu datang di grup Whatsapp dalam
bentuk rupa-rupa. Bukan cuma doa, pantikan semangat, atau tiupan
harapan-harapan baik ala kadarnya. Tapi juga sodoran rencana-rencana jelas,
yang membuat suasana gayeng, dan harapan-harapan semakin terasa menggumpal
nyata di depan mata. "Ayo sembuh, Mas! Nanti habis sembuh
kita nyate di Pak Anu, Mas!"; "Semangat, Mas! Pasti sudah kangen
ikan bakar, to? Besok aku traktir di warung langganan kita di pojok Pasar
Itu, Mas!"; "Pokoke habis njenengan sembuh, aku traktir semua
anggota grup ini di Kafe Sana! Semua wajib hadir!" Sederhana, kan? Banget. Tapi ada sesuatu
yang sungguh berbeda ketimbang sekadar komentar-komentar di dinding Facebook
atau reply di Twitter. Tentu saja karena karakter sebuah grup WA meniscayakan
lingkaran pertemanan yang lebih dekat dibanding medsos-medsos cair lainnya.
Namun lebih dari itu, janji-janji konkret ala ikan bakar dan sate kambing itu
tak lazim ditawarkan oleh orang-orang yang bukan teman betulan. Pendek kata, sahabat kami itu punya teman.
Seremeh itu kesimpulannya, tapi betapa luar biasa efeknya. Saya sendiri orang yang merasa tak bisa
hidup tanpa punya banyak teman. Boleh saja kadangkala saya gagal dalam banyak
hal, suram dalam memandang masa depan, atau tak punya uang. Tapi tak punya
teman? Aduh, itu sulit sekali saya bayangkan. Dunia saya akan sangat sempit,
pengap, dan lama kelamaan pasti habislah saya. Pernah pada suatu masa, selama beberapa
tahun saya tinggal di negeri jauh. Ritme hidup saya adalah bekerja keras
seharian, bersama teman-teman kerja yang agak sulit dijadikan teman betulan.
Mereka berangkat dari budaya dan bahasa yang berbeda dengan saya, sedangkan
secara naluriah kita lebih nyaman berteman dengan orang-orang yang memiliki
banyak kesamaan dengan kita. Saya memang punya beberapa teman baik waktu
itu, dari budaya dan bahasa yang sama. Tapi kami cuma bisa berjumpa di akhir
pekan, itu pun Sabtu-Minggu lebih sering saya pakai untuk istirahat, atau
bersama keluarga berjalan-jalan. Jadilah masa-masa itu saya berada dalam
keramaian, tapi hati saya didera kesepian habis-habisan. "Mampus kau dikoyak-koyak sepi!"
Sering waktu itu ledekan Chairil Anwar yang kurang ajar mendenging-denging di
telinga saya. Untunglah kemudian saya segera pulang sebelum mampus beneran,
lalu secepatnya berjumpa dengan teman-teman. Tampaknya saya lemah sekali, tidak
berdikari, lebih mirip bebek yang berbondong-bondong daripada elang yang,
kata Sukarno, dengan gagah terbang sendirian. Tapi ternyata menjadi bebek
adalah sebuah pilihan rasional-ilmiah yang bisa jadi mampu menyelamatkan
nyawa kita di tengah hantaman-hantaman. Jepang baru saja menunjukkan itu. Krisis
karena pandemi membuat banyak orang mengisolasi diri. Yang tadinya komunal
jadi individual, yang individual jadi semakin individual, yang sebelumnya
berjarak dengan orang-orang kini semakin menjauh dari keramaian. Kasus bunuh
diri melejit, bahkan korban meninggal karena bunuh diri konon lebih besar
daripada korban Covid. Sampai-sampai, negeri itu mengangkat seorang tokoh
sebagai Menteri Kesepian. Ketika pertama kali membaca berita itu,
saya terkekeh geli. Langsung terlintas di ingatan saya satu akun medsos ngehe
bernama Dewan Kesepian Jakarta, yang tentunya plesetan dari Dewan Kesenian
Jakarta. Tapi cuma dua detik saja saya tertawa, sebab selebihnya saya paham
itu soal serius yang tak bisa ditanggapi hanya dengan tawa. Ya, sebab
kesepian memang sangat mungkin membunuh kita. Saya paham, tidak cukup adil melihat bunuh
diri di Jepang sebagaimana bunuh diri di negeri-negeri lainnya. Gini-gini
saya ini lulusan Sastra Jepang, dan tahu bahwa Jepang punya tradisi kuno
seppuku alias harakiri, yaitu bunuh diri ala kaum samurai yang dilakukan
dengan membelah perut sendiri. Dengan tradisi lawas itu, ada pandangan dunia
yang melihat bunuh diri bukan semata-mata sebagai sikap seorang lembek yang
"berputus asa dari rahmat Allah", melainkan kadangkala bisa
dimaknai sebagai langkah menjaga kehormatan. Meski demikian, ketika tindakan bunuh diri
meningkat drastis karena pandemi, sedangkan pandemi menciptakan banyak
situasi sepi dan terisolasi, agak sulit buat kita untuk melihat itu semua
sebagai upaya menegakkan kehormatan. Ringkasnya, tetap saja yang di Jepang
itu lebih banyak urusannya dengan sepi yang mengoyak-ngoyak hati, alih-alih
peneguhan martabat seorang samurai. Bukan cuma Jepang yang serius melihat
kesepian sebagai masalah. Australia, tanah tempat saya mampir hidup dalam
kesepian waktu itu, pun pernah merilis laporan bahwa banyak orang mati karena
dihajar sepi. Dalam riset dari negeri yang tak mengenal tradisi membelah
perut dengan pedang itu ditetapkan bahwa kesepian setara dengan obesitas,
cedera, dan ketergantungan kepada obat-obatan. Apa pun itu, yang jelas di sana memang
banyak juga orang mati karena sepi. Dan semuanya kian terakumulasi, karena
kehidupan komunal sangat minim, orang memikirkan urusan sendiri-sendiri, tak
ada ronda kampung dan arisan RT, konflik dengan tetangga sebelah diselesaikan
bukan dengan berembuk baik-baik melainkan dengan melapor ke petugas semacam
Satpol PP, dana tali asih untuk teman atau tetangga yang sedang kena musibah
juga tidak dikenal sebab diambil alih oleh profesionalitas lembaga asuransi. Maka, rasanya sesekali kita mesti
bergembira dan merayakan karakter kehidupan komunal kita di sini, yang
sebenarnya memiliki modal yang kuat untuk bertahan dari gempuran-gempuran.
DNA kita ini adalah masyarakat paguyuban. Se-introvert apa pun kita, rata-rata
ya punya teman. Kita berisik di medsos, kita punya lima puluh grup Whatsapp,
kita punya perasaan rikuh untuk leave group bahkan ketika HP kita semakin
lemot, dan di masa bahaya ini kita masih saja melihat banyak orang nongkrong
di kafe-kafe dan tempat makan. Tenang, saya bukan "covidiot" dan
anti-prokes. Bahkan seperti halnya Anda, pada mulanya saya pun sinis
sepenuhnya melihat orang-orang tetap berkumpul ngopi-ngopi di masa pandemi.
Tapi belakangan saya semakin yakin bahwa tidak semua di antara orang-orang
itu semata makhluk nir-kepedulian, atau penyandang label yang begitu mudah
tertempel di jidat siapa pun sekarang ini: ignorant. Sebab bukan mustahil
banyak di antara mereka yang sedang berjuang keras untuk menyelamatkan nyawa,
dari terjangan monster ganas bernama rasa sepi yang menyiksa. Sialnya, dalam melihat itu semua, kita
terus diombang-ambingkan oleh dilema dalam narasi besar antara kesehatan dan
ekonomi, seolah-olah ancaman nyata di depan kita hanyalah virus dan
kemiskinan. Entahlah. Yang jelas, bersyukur sajalah
kalau kita masih punya teman-teman baik, atau minimal punya grup Whatsapp
atau Telegram dengan jumlah anggota terbatas. Meski isinya cuma berantem atau
sibuk membagi tausiyah, diam-diam mereka adalah energi dan penyelamat
kehidupan kita. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar