Mas
Teddy Rusdy dan Utang Rasaku Sujiwo Tejo ; Seniman dan budayawan |
DETIKNEWS,
24 Februari
2021
Waktu Mas Teddy Rusdy kapundhut sangat saya
sesalkan tak bisa menyaksikan almarhum untuk terakhir kalinya dalam wujud
jenat, baik saat di rumah sakit bahkan setelah disemayamkan di pendopo khas
Jawa di Bukit Golf, Pondok Indah, Jakarta. Saya sedang di Gunungkidul, Yogya,
saat itu. Dalam bayangan saya, jenat almarhum tidak sekadar mesem. Beliau
mesem, tapi mesem yang penuh jerit kegairahan hidup seperti setiap almarhum
nyanyikan lagu-lagu sixty dari blues, country, rock'n roll dan apa saja.
Beliau kadang sampai berjingkrak-jingkrak baik itu saat diiringi band lengkap
maupun cuma organ tunggal. Sampai tulisan ini saya kerjakan, saya
selalu menahan diri untuk bertanya kepada siapa pun tentang bagaimana senyum
jenat almarhum. Khawatir kalau cara mereka menggambarkan senyum almarhum yang
mudah akrab dan dekat dengan berbagai kalangan ini tak sepersis cara saya
membayangkannya. Ya, saya sedang di Gunungkidul, Yogya,
malam itu. Dapat kabar pun sudah hampir larut malam. Saya pastikan ini sudah
kadaluwarsa sekian jam dari saat peristiwa eksistensial itu terjadi.
Pengabarnya Nanang Hape. Dalang muda yang tinggal di kawasan Taman Mini itu,
jauh dari Pondok Indah, bukan dari keluarga besar apalagi keluarga inti
swargi. Pasti karena situasi di keluarga pewaris kebudayaan leluhur terutama
Jawa tersebut begitu kalang kabutnya sampai-sampai mereka lupakan saya. Kang Mbok, cara saya memanggil janda
swargi, yang biasanya selalu kasih kabar penting ini-itu bisa dimaklumi kalau
berdiam saat itu. HP saja mungkin sudah tidak tersentuh. Tapi putra-putra dan
adik-adik Kang Mbok termasuk adik tingkat kuliahnya di Unair yang sudah Kang
Mbok perlakukan bagai saudara sendiri, Iwan Sunaryoso? Kawung Pohon-pohon jati di perbukitan kapur
Gunungkidul tampak hanya siluet berlatar rembulan. Anginnya menambah
kesedihan. Padahal, sudah lebih sepuluh tahunan saya membiasakan diri untuk
tidak mengucap "turut berduka cita" pada keluarga yang baru
ditinggal pulang ke Tuhan oleh anggotanya. Alasan saya, tidak ada itu unsur
"duka cita" dalam ungkapan "inna lillahi wa inna ilaihi
roji'un" kecuali, intinya, hanya semacam penyegaran dan penyadaran
kembali bahwa segala sesuatu tak lain hanyalah "dari Tuhan kembali ke
Tuhan". Yang ditinggalkan seyogianya menerima kenyataan itu (ridlo) dan
rela melepaskannya (ikhlas). Apalagi bila ajaran tanpa duka cita atas
kematian itu disandingkan dengan ajaran-ajaran "asli" leluhur yang
belum terkontaminasi oleh nilai-nilai baru. Cocok dan klop banget. Tak ada
kebiasaan berbaju hitam-hitam seperti di sinetron dan film-film yang melambangkan
duka saat menghantar kematian anggota keluarga. Pakaian mereka berwarna-warni
seperti pada adat asli Toraja, Batak dan lain-lain. Kang Mbok pernah mewejang saya tentang
keanehan kehidupan sekarang. Banyak keluarga mempersiapkan baju-baju untuk pesta
dan sejenisnya yang belum pasti ada. Padahal, yang lebih pasti dari semua
acara tersebut adalah kematian. Adakah di lemari-lemari keluarga-keluarga
saat ini tersimpan baju-baju, yang mungkin bukan hitam-hitam, yang seragam
dikenakan bila ayah meninggal. Seragam dengan corak lain bila ibu yang
meninggal. Seragam dengan corak lain lagi bila adik yang meninggal; bila
kakak yang meninggal; dan sebagainya. Wejangan itu satu paket dengan wejangan
Kang Mbok tentang pintu rumah. Ukuran pintu-pintu rumah sekarang umumnya cuma
memperhitungkan orang keluar masuk dengan berjalan normal, bukan orang keluar
masuk saat sudah menjadi jenazah dan diangkut oleh orang-orang lain. Doa-doa upacara kematian oleh para tetua
adat yang sisa-sisanya masih sempat saya saksikan seperti di Tegal,
Banyuwangi dan lain-lain juga berupa doa yang gagah bahwa nanti arwah yang
meninggal akan disongsong oleh Cahaya. Tanpa ratapan. Tanpa dayu-dayuan yang
berlarat-larat. "Hai Fulan/Fulanwati! Sira aja gentar (kamu jangan
takut)!!!" begitu tandas tetua adat di bibir liang lahat yang berjongkok
gagah dengan satu lutut menumpu tanah dan satu siku tangannya menumpu lutut
yang tegak. Maksud sang tetua, kematian jangan membuatmu gentar karena nanti
akan ada Cahaya yang menyambutmu. Begitu. Tak sedikit malah yang menghantarkan
kepergian almarhum/mah dengan tari-tarian. Saking gembiranya keluarga yang
ditinggalkan, maka dalam tradisi "asli" sebelum terkontaminasi film
dan sinetron, setiap orang yang sudah meninggal, "baik" atau
"buruk", disebut swargi. Maknanya penghuni sorga. Jenasahnya
disebut jenat yang saya curiga berasal dari kata jannah atau (kebun) sorga. Ya, di antara siluet pohon-pohon jati
Gunungkidul tengah malam itu, mungkin saya tidak sedih betul. Tapi, gembira
betul karena Mas Teddy sudah menggenapi laku "dari Tuhan kembali ke
Tuhan" sementara saya masih baru taraf "dari Tuhan", rasanya
juga tidak. Sedih betul tidak. Gembira betul pun tidak. Lantas harus dengan
apa perasaan ini saya namai? Mungkin dengan nama "seragam warna hitam
bagi keluarga Kang Mbok," andai warna itu yang dipilih oleh Kang Mbok
saat Mas Teddy meninggal. Sebab, tentu Kang Mbok tidak memaknai hitam
sebagai duka cita, tapi hitam seperti yang ia maknakan dalam novelnya Rahwana
Putih, yaitu hitam sebagai pelindung segenap warna. Hidup jangan cuma
menerima sepenggal-sepenggal warna. Terimalah kehidupan dengan seluruh
warna-warninya. Utuh, menyeluruh, dan apa adanya. Dan, hitam adalah pelindung
segenap warna. Tidak sedih betul. Tidak gembira betul.
Mungkin perasaan itu bernama "timbul tenggelamnya utang rasa"
seperti timbul tenggelamnya rembulan di balik siluet-siluet pepohonan di
perbukitan kapur malam itu. Saya berutang rasa pada swargi bahwa menyanyi
tidak perlu punya mutu suara penyanyi profesional. Yang penting nyanyinya
dari hati. Itulah menyanyi! Dan segala sesuatu tergantung niatnya. Menyanyi
untuk telinga akan sampai ke telinga. Menyanyi untuk hati akan sampai ke
hati. Swargi tak mengajarkan itu secara verbal, tapi langsung dengan
perbuatan saat saya saksikan ia menyanyi di berbagai acara. Saya juga berutang rasa pada ajaran
non-verbal dari swargi saat ultah swargi, entah yang ke berapa, di sebuah
lahan miliknya di kawasan Cijeruk, Bogor. Di antara para undangan seperti
Kiai Fuad Affandi pengasuh Pondok Pesantren Agrobinis Al Ittifaq, Ciwidey,
hadir juga beberapa teman bule swargi. Salah satunya menghadiahi stick golf.
Saya lihat air muka swargi yang memang penggemar golf ini luar biasa senang
sambil mengayun-ayunkan stick itu. Tapi, saat Kiai Fuad memimpin doa dan di
antaranya mendoakan agar nazar swargi untuk mendirikan pesantren di lahan
tersebut terkabul, wajahnya tak kalah bahagia (kini di lahan tersebut oleh
Kang Mbok dan atas restu Habib Lutfi Yahya Pekalongan telah didirikan Pondok
Pesantren Siti Dhumillah). Urusan dunia (golf) dan urusan akhirat (pesantren)
tak swargi beda-bedakan. Saya pun berutang rasa pada swargi tentang
bagaimana seyogianya menghargai tamu. Itu terjadi saat wayangan di rumah
swargi di Yogya. Saya tahu bahwa paginya swargi sudah punya agenda, tapi
menonton wayang sampai usai menjelang subuh. Biasanya wayangan-wayangan yang
swargi saksikan baik di rumah Bukit Golf, Pondok Indah, di Omah Bethari Sri,
dan lain-lain hanyalah wayangan padat 3-4 jam dari pukul 20-an hingga selesai
pukul 24-an. Biasanya swargi menontonnya bersama swargi Sudwikatmono, Pak Try
Sutrisno, Pak Harmoko, Pak Solichin, dan lain-lain. Ini, di Tegal Waras Yogya
itu, sampai subuh! Sebab para tamu, termasuk Gusti Yuda, belum kondur hingga
tancep kayon wayangan jelang subuh. Saya juga berutang rasa pada swargi tentang
bagaimana menghargai persahabatan. Waktu keluarga ini berwisata ke Eropa dan
Amerika, Kang Mbok membelikan oleh-oleh untuk saya topi koboi. Di sepanjang
perjalanan dari toko ke hotel, dan dari manca negara pulang ke Tanah Air topi
itu swargi kenakan karena tak ada tempat di koper. "Papa seneng-seneng
saja meskipun bisa jadi membebani. Tapi, mungkin itulah harga persahabatan,
Om," cerita Andrew Baskoro, putra sulungnya. Swargi sendiri tak pernah
bercerita tentang hal itu. Daftar utang rasa ini masih bisa saya
perpanjang andai ruang tulisan tidak terbatas. Sido
Mukti O ya, apakah itu utang rasa? Bagi saya,
suka atau tidak, kehidupan ini berlangsung secara transaksional. Yang bisa
kita bayar pada dokter, sopir, tukang parkir, bakul nasi boran, dan
sebagainya cuma tenaga, waktu, dan pikiran mereka. Rasa saat kita didokteri,
disopiri, diparkirkan, makan ikan silinya dan lain-lain tak akan pernah
terbayar. Itulah utang rasa. Saya mencoba membayar harga persahabatan itu
dengan melukis secara komedial swargi bertopi, yang kemudian dipakai sebagai
cover buku 75 tahun swargi: Bintang Sakti Maha Wira buat Mas Teddy. Walau,
itu tadi, tidak berarti bahwa utang rasa saya sudah terbayar. Untuk ajaran yang disampaikan secara
verbal, utang rasa saya pada swargi juga tak terhitung. Swargi ini khas
perwira tinggi militer yang bernas. Bicaranya sangat rasional, terstruktur
dan berkerangka. Beberapa penekanan dalam uraian-uraian itu selalu
ditandaskan swargi dengan aksentuasi telunjuk tangan kanan tegak di depan
wajahnya. Begitulah swargi menguraikan apa itu esensi dan sejatinya nasionalisme. Bila saya meminta contoh konkret yang
melibatkan swargi sendiri dalam uraian tersebut, baru swargi memberikan
contoh-contohnya. Misalnya dalam operasi pembebasan pembajakan pesawat Woyla
yang legendaris itu. Juga, untuk menyebut beberapa contoh lagi dari sekian
banyak contoh, keterlibatan swargi dalam operasi Alpha ke Israel, operasi
penyelesaian konflik Timor Timur antara Indonesia, Fretilin, dan Portugal,
juga operasi pembebasan Irian Barat. Yang terakhir di Irian Barat itu, semi
kocak dan tragis bisa dibilang swargi "terbang buta" lantaran tanpa
peranti navigasi untuk menghindari tangkapan radar musuh, padahal keahliannya
adalah navigator. Semua membuahkan setidaknya 14 bintang jasa dan kehormatan. Suatu hari saya mengisi pembekalan bagi
mahasiswa-mahasiswi yang akan berangkat belajar ke luar negeri dengan bea
siswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Usai acara, panitia LPDP
bertanya, dalam pembekalan mendatang untuk pembekalan spirit nasionalisme
siapa yang menurut saya pas. Spontan saya rekomendasikan Mas Teddy. Saya
matur ke swargi apa bersedia hadir ke tempat pembekalan itu, kalau tidak
salah di sekitar Jakarta Timur. Cukup mengagetkan ternyata Mas Teddy malah
menawarkan rumahnya di Pondok Indah, atau setidaknya di Graha STR milik
keluarga swargi di Jakarta Selatan. Untuk urusan pendadaran nasionalisme,
darah swargi mendadak jadi darah muda, sama berapi-apinya dengan saat ketika
menceritakan awal-awal turut membentuk SMA Taruna Nusantara. Suatu hari, di mobil entah karena ruang
sudah penuh atau apa saya menaruh cemilan di lantai. Swargi meminta saya
memindahkan itu. "Jangan menaruh makanan di lantai," katanya.
Ajaran itu saya tularkan kepada anak-anak saya, dan juga kepada teman-teman.
Dan itulah utang rasa saya lainnya pada ajaran verbal swargi. Sekar
Jagad Saya tidak bisa meninggalkan Gunungkidul
cepat-cepat bukan karena tak menganggap penting kepergian atau kepulangan
swargi. Waktu itu jadwal saya bukan jadwal pribadi, tapi jadwal yang terkait
dengan jadwal banyak orang, jadwal sewa lokasi, jadwal sewa peralatan, dan
sebagainya, yaitu shooting film Kucumbu Tubuh Indahku arahan Garin Nugroho.
Saya bisa naik pesawat terpagi dari Yogya untuk mengejar salat jenazah di
Pondok Indah hingga pemakaman di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Tapi, itu tadi,
jadwal shooting jadi mundur. Itu pun, kalau diundur, belum tentu
pemain-pemain lain bisa. Belum lagi argo sewa lokasi, sewa peralatan seperti
kamera, lampu, dan lain-lain. Semua berada di luar kontrol saya. Swargi pasti
dapat memahaminya dengan, seperti biasa, mesam-mesem. Tiga harian setelah Mas Teddy kapundhut ada
break shooting. Dengan pesawat terpagi saya terbang ke Jakarta. Dari Bandara
Soekarno-Hatta taksi saya langsung ke Kalibata. Di sana ternyata sudah ada
Kang Mbok dan lain-lain termasuk Brandon Cahyadhuha bungsu swargi yang baru
bisa pulang dari kuliahnya di Melbourne. Pulang ke Pondok Indah dari
Kalibata, entah karena apa, Brandon tidak bergabung dengan mobil keluarga. Ia
masuk begitu saja ke taksi saya. Kami hampir tidak bicara apa-apa di mobil.
Yang agak riuh cuma pikiran saya. Seingat saya waktu itu, dalam diam-diaman
dengan Brandon, pikiran saya ke cungkup pendopo rumah Bukit Golf yang
dirancang sendiri oleh Kang Mbok, yang diyakini akan memudahkan kemoksaan
anggota keluarga bila disemayamkan tepat di bawahnya. Terkenang juga, lupa di
mana yang jelas di suatu acara di ruang publik, swargi membawakan tas
perempuan Kang Mbok yang lupa Kang Mbok cangking. Edan! Dibawakan oleh
seorang pensiunan perwira tinggi dengan seabrek bintang jasa, lho!!! Sejak kesaksian itu, diam-diam, saya tidak
merasa rendah saat suatu hari pernah terpaksa membawakan tas perempuan istri.
Menerawang juga pikiran saya ke Athena Urangayu yang masih balita, putri
Brandon. Saat Urangayu mulai getol-getolnya belajar ngomong dan mulai bisa
ngomong "Yang Kung" untuk Mas Teddy, saat itu Mas Teddy kapundhut. Heuheuheu ...Tuhan selalu ada-ada saja. Sepulang dari Kalibata, di Pondok Indah
saya ketemu Udin. Lelaki paro baya berkumis tebal ini sudah puluhan tahun
menjadi asisten keluarga Kang Mbok. Kata Raden Setyaki, panggilan saya
padanya sebab ketebalan kumisnya mirip asisten Prabu Kresna dalam wayang itu,
menjelang meninggal swargi memanggilnya hanya untuk berpesan sangat singkat,
"Din, kamu (hidup yang) hati-hati, ya...." Kelihatannya pesan itu bukan cuma buat
"Raden Setyaki". Akhirul kalam: Mas Teddy, cucu Sampeyan
Urangayu yang dulu takut dan traumatik setiap ketemu saya saat Sampeyan masih
sugeng, sekarang sudah tidak takut lagi, lho. Komen mantu-mantu Sampeyan,
Arlin dan Caroline, "Mbah Tejo dan Urangayu sekarang sudah jadi
sohib." Ya, sekarang saya sudah bisa ketawa-ketiwi bareng Urangayu.
Sudah nari-nari bareng malah...Sudah sampai di mana sekarang, Sampeyan, Mas
Teddy....? Sampai jumpa! Utang rasa.... ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar