Setnov
dan Masa Depan Peradilan
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua MK (2008-2013)
|
KORAN
SINDO, 23 Desember 2017
BANYAK yang resah ketika
para kuasa hukum Setya Novanto (Setnov) pada sidang di pengadilan tindak
pidana korupsi (tipikor), Rabu lalu (20/12), mengajukan eksepsi untuk membela
kliennya. Melalui eksepsi mereka mengatakan bahwa dakwaan terhadap Setnov cacat
yuridis karena tidak ada bukti ini, tidak ada bukti itu, tidak ada bukti
kaitan masalah antara para terdakwa kasus e-KTP sebelumnya dan Setnov.
Dipertanyakan juga tendensi KPK yang menghilangkan beberapa nama lain yang
sebelumnya telah disebut-sebut ikut menerima bancakan uang korupsi e-KTP.
Banyak warga masyarakat
yang resah atas eksepsi itu karena mereka khawatir, jangan-jangan dakwaan
kasus ini nantinya dinyatakan batal dan ditutup karena tidak sesuai dengan
hukum seperti yang dikemukakan oleh tim kuasa hukum Setnov. Jangan-jangan
Setnov lepas lagi.
Tapi banyak yang yakin,
termasuk saya, bahwa eksepsi seperti itu hanyalah ritual kepengacaraan yang
tidak akan memengaruhi kelanjutan kasus ini sampai vonis. Semua kuasa hukum
pada awal-awal persidangan selalu membuat eksepsi seperti itu, tetapi untuk
semua kasus di KPK eksepsi-eksepsi terdakwa selalu kandas.
Dakwaan jaksa oleh kuasa
hukum selalu dituding cacat yuridis karena kurang ini, kelebihan itu, tidak
sesuai dengan anu, alat buktinya tidak sah, dan sebagainya, dan semacamnya.
Kalaupun dakwaan jaksa sudah benar bisa dicari juga kesalahan pada
tanda-tanda baca, misalnya, kok tidak ada koma di antara kalimat A dan B, kok
tidak memakai titik-koma saja, kalimatnya tidak jelas, dakwaan kabur, dan seterusnya,
dan selanjutnya.
Pokoknya, ritual kuasa
hukum ya harus menyalahkan dakwaan dulu. Ritual itu hampir tidak pernah
dilewatkan oleh kuasa hukum mana pun karena hal itu adalah bagian dari upaya
membangun kepercayaan klien kepadanya dan membuat klien yang keruh menjadi
tersenyum.
Pada sidang kemarin kita
lihat Setnov juga sudah mulai tersenyum meski seminggu sebelumnya (sidang
pertama tanggal 14 Desember 2017) kita semua teramat sangat khawatir melihat
dia sakit, tatapannya kosong, dan tidak bisa mendengar pertanyaan hakim. Saat
itu Setnov tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan hakim karena (sepertinya)
tidak bisa mendengar, tetapi ketika ditanya oleh kuasa hukumnya bisa menjawab
dengan cukup mengalir.
Pada sidang pekan ini
Setnov sudah tersenyum tersebab kuasa hukumnya membuat eksepsi yang manis dan
gurih bagi dirinya. Padahal itu hanya ritual kepengacaraan yang selama ini
selalu mudah dipatahkan oleh jaksa dan selalu gagal untuk meyakinkan
pengadilan.
Jadi bagi mereka yang
resah karena eksepsi yang disampaikan dengan begitu ekspresif oleh kuasa
hukum Setnov itu, tak perlulah melanjutkan keresahan. Insyaallah eksepsi itu
akan ditolak oleh majelis hakim dan sidang akan berlanjut sampai vonis.
Selama ini kan selalu begitu.
Tak ada eksepsi yang dibeli
oleh hakim di pengadilan tipikor. Tak pernah itu terjadi. Jadi 99% eksepsi
para kuasa hukum itu akan menguap mulai sidang-sidang minggu yang akan
datang. Sidang, insyaallah, berlanjut dan masuk ke pembuktian untuk akhirnya
vonis.
Yang pantas dirisaukan
dari kasus penersangkaan yang kemudian menjadi pendakwaan terhadap Setnov
adalah munculnya modus baru dalam menghindar dari penindakan hukum. Meskipun,
mungkin, Setnov benar-benar sakit saat dijadikan tersangka, rangkaian
peristiwa yang menyertainya menimbulkan kecurigaan bahwa itu semua hanya
kepura-puraan.
Kalau pengadilan tidak
berlaku tegas dan keras atas kisah perlawanan hukum Setnov ini, masa depan
dunia peradilan kita akan rusak. Mengapa?
Pada saat pertama kali
dijadikan tersangka dalam kasus ini Setnov jatuh sakit dan mondok di rumah
sakit elite dengan kendali mesin dan kabel-kabel yang menempel di tubuhnya.
Menurut pihak rumah sakit, Setnov sakit sehingga KPK tidak bisa memeriksanya.
Tapi tak lama setelah dinyatakan menang di pra-peradilan, Setnov menjadi
sembuh dan bisa masuk kantor.
Setelah akan ditahan
karena dijadikan tersangka lagi untuk kedua kalinya tiba-tiba Setnov hilang
dari radar KPK dan tahu-tahu diberitakan mengalami kecelakaan lalu lintas
sehingga harus mondok di Rumah Sakit Permata Hijau. Menurut pihak rumah
sakit, kali ini pun Setnov sakit serius sehingga KPK tidak bisa memeriksanya.
Untungnya KPK terus
berjuang secara militan. Setnov dinyatakan ditahan dan karenanya perawatan
kesehatannya dilakukan di bawah tanggung jawab KPK dengan menunjuk tim dokter
dari rumah sakit terbaik, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Setnov
dikeluarkan, atas nama hukum, dari RS Permata Hijau.
Ternyata berdasar
pemeriksaan dokter lintas keahlian di RSCM, Setnov dinyatakan cukup sehat dan
bisa dibawa ke rumah tahanan untuk kemudian disidangkan. Itu pun belum
menyelesaikan problem. Pada sidang pertama Setnov terlihat sakit parah, tidak
bisa mendengar, dan tidak bisa berbicara lancar.
Tapi kalau berbicara
dengan penasihat hukumnya cukup lancar. Orang pun, di dunia medsos, banyak
yang mengolok-olok. Untungnya majelis hakim yang dipimpin oleh Kusno cukup
cerdik, cerdas, dan tangkas. Sidang diteruskan, dakwaan dibacakan, Setnov
jadi tersangka, pra-peradilan yang diajukannya menjadi gugur.
Meski masyarakat kemudian
menjadi lega karena pendakwaan di pengadilan bisa berjalan,
peristiwa-peristiwa dramatik tentang peradilan terhadap Setnov ini menyimpan
bibit buruk bagi masa depan peradilan di Indonesia. Peristiwa-peristiwa
dramatik itu, nantinya, bisa menginspirasi terduga, tersangka, dan terdakwa
tindak pidana untuk berpura-pura sakit.
Kalau gagal dilakukan pada
saat jadi tersangka, bisa dilakukan lagi pada saat disidangkan sebagai
terdakwa. Untungnya, dalam kasus Setnov ini, jaksa KPK dan hakim PN Jakarta
Selatan cukup tegas, objektif, dan independen. Kalau tidak, hal ini akan
menjadi preseden buruk.
Kekhawatiran tentang ini
tentu masih menghantui kita, kalau-kalau besok terjadi lagi. Oleh sebab itu
Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia, Polri, kejaksaan, dan KPK
harus memeriksa semua yang terkait dengan kasus dramatis tersebut.
Pimpinan rumah sakit,
dokter yang menangani, penasihat hukum, dan semua yang terlibat harus
ditindak jika terbukti ada ketidakberesan dalam kasus ini. Kalau tidak, masa
depan dunia peradilan kitalah taruhannya. Bisa celakalah kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar