Saat
Lelaki Melolong Minta Tolong
Reza Indragiri Amriel ; Alumnus Psikologi Forensik, The University of
Melbourne
|
KORAN
SINDO, 21 Desember 2017
“Namun, kadang ada pria
tak berdaya, bertekuk lutut di sudut kerling wanita.” Seorang istri dihabisi
lalu dimutilasi suaminya di Karawang.
Tak berhenti di situ,
potongan tubuh si istri dibuang dan dibakar. Peristiwa sadis itu konon
didahului perang mulut yang membuat suami sakit hati. Belum lama, seorang
perempuan kehilangan nyawa di tembak oleh seseorang yang diduga adalah
suaminya sendiri. Sang suami diringkus polisi.
Dalam waktu berdekatan,
sebuah teks yang disebut-sebut sebagai trans krip cekcok lidah antara suami
dan istri itu tersebar di publik. Perbendaharaan kata dari si istri penuh
dengan serapah dan nama fauna. Sang suami tak melakukan perlawanan. Setiap
pelaku pembunuhan, siapa pun dia, harus mempertanggungjawabkan perbuatannya
di hadapan hukum.
Sisi nyata, dalam sekian
banyak persidangan pembunuhan dengan perempuan atau istri sebagai
terdakwanya, terdakwa perempuan menggunakan bat tered woman/wife syndrome
sebagai pembelaan diri. Para terdakwa tersebut mengaku telah mengalami
penghinaan, penis ta an, dan penganiayaan lahi riah yang amat sangat buruk
dari pasangan, sampaisampai mereka tidak lagi mampu berpikir secara rasional.
Dalam kon disi sedemikian
terpuruk, ketika akal sehat jerih, tiba-tiba muncul dorongan nekat untuk
keluar dari situasi pedih itu dengan cara menghabisi pasangan.
Hakim bisa menjatuhkan
vonis tak bersalah atau meringankan hukuman atas diri terdakwa, apabila sang
pengadil teryakinkan bahwa terdakwa betul-betul menderita battered woman
/wife syndrome. Itu nasib mujur terdakwa perempuan! Macam mana seandainya
yang terzalimi sedemikian rupa adalah laki-laki atau suami? Bisa dikatakan,
seluruh kasus kekerasan domestik yang ma suk ke Lembaga Perlin dung an Anak
Indonesia dilaporkan dengan suami atau ayah sebagai pelaku.
Begitu juga kasus-kasus
perceraian yang disebabkan oleh KDRT, pihak penggugat cerai sekaligus korban
KDRT ada lah istri. Meski demikian, pernyataan bahwa lakilaki me nempati
mayoritas mutlak atau bahkan hampir keseluruhannya merupakan pelaku kekeras
an dalam rumah tangga (KDRT) tampaknya juga simpulan yang dilebih-lebihkan.
Boleh jadi banyak lelaki
atau suami yang men jadi korban KDRT. Studi yang dilaku kan kelompok pem bela
hak-hak lelaki Parity, mi sal nya, dari total kasus KDRT, menemukan 40% di
antaranya ternyata adalah per tikaian do mestik dengan lelaki atau suami
sebagai korban kekerasan pa sangannya.
Berdasarkan Survey
National tentang Ke kerasan Pasangan yang dilakukan National Center for
Injury Pre vention and Control (2011), satu dari empat lelaki de wasa di
Amerika Serikat meng alami ke kerasan dari pasangan mereka. Walau tak sampai
separuh, angka-angka di atas tetap sungguh-sungguh melampaui perkiraan awam
bahwa jauh lebih banyak perempuan atau istri yang menjadi ketur mau pun
sansak hidup pasangan mereka.
Andai masih hidup,
komposer Ismail Marzuki tak pelak perlu merevisi lirik lagu Sabda Alam seperti
tertulis sebagai prelude karangan ini. Meski persentasenya tidak bisa
dipandang sebelah mata, suratan tangan sebagai kaum Adam membuat mereka
merana. Kendati berkedudukan sebagai korban, para lelaki malang itu enggan
melapor karena isi laporan mereka mengandung aib.
Maksudnya, melapor malah
membuka risiko lelaki kor ban KDRT mengalami secondary victimization,
termasuk di rundung oleh penegak hukum maupun lembaga advo kasi. Studi Denise
Hinse (2009) me ne mukan fakta ten tang itu, yaitu ketika 302 suami yang
diazab istri mereka menelepon nomor hotline, hanya 8% yang mengatakan sangat
tertolong.
Keba nya kan, 69% menye
but tak ter bantu sama sekali. Menyakitkan hati, 16% meng aku di abai kan
atau bahkan di olok-olok. Bahkan, di institusi Polri pun pilihan nama Satuan
Kekerasan Anak dan Wanita atau Unit Perlindungan Perempuan dan Anak sudah
menjadi batu ganjalan bagi para Hercules yang sekarat terkena bisa mematikan
Medusa.
UU No 23/2004 tentang Peng
hapusan Kekerasan Da lam Rumah Tangga juga mengandung pandangan implisit
bahwa perempuan hampir pasti diasumsikan menjadi individu yang
terviktimisasi. Itu tercermin pada pasal 1 UU dimaksud, yakni, “Kekerasan
dalam ru mah tangga adalah setiap per buatan terhadap seseorang terutama
perempuan....” Pun fasilitas rumah aman bagi para suami yang menjadi korban
KDRT, untuk menemukannya laksana mencari jarum di tengah tumpukan jerami.
Anggaplah lelaki melakukan
kekerasan fisik. Tapi, seberapa besar kemungkinan lelaki ba ngun tidur
lalu—tak ada angin tak ada hujan—langsung menempeleng istri, kecuali jika si
suami mabuk atau tidak waras. Sayangnya, kebanyakan masyarakat acap tidak
cukup jauh berpikir bahwa kekerasan fisik lelaki bisa dilatarbelakangi oleh
kekerasan verbal perempuan.
Nah, dalam kondisi seperti
itu, bisakah terdakwa lelaki yang menghabisi pasangannya menggunakan battered
man/ husband syndrome sebagai pembelaan diri di persidangan? Semestinya bisa
saja. Toh hukum katanya tidak dis kriminatif. Toh ada kesetaraan antara Hawa
dan Adam. Perempuan bisa tersakiti, lelaki juga bisa terzalimi.
Preseden untuk itu pun
tersedia. Tahun1993, dariyangse mula dikenakan dakwaan melakukan pembunuhan
berencana, Moosa Hanoukai dijatuhi hukuman hanya empat tahun penjara karena
berhasil meyakinkan parajuri bahwa ia‘ sebatas’menganiaya, namun
mengakibatkan istrinya meninggal dunia.
Moosa, dipersidangan,
membela diri dengan membuktikan bahwa ia disiksa selama bertahun-tahun oleh
istrinya. Pada puncak kekalapannya, Moosa kehilangan kendali diri lalu
memukul istrinya bertubi-tubi.
Juri menarik sim pulan
dahsyat dengan tetap me yakini bahwa kekerasan Manijeh, istri Moosa,
tergolong serius, betapa pun kekerasan yang ia lakukan terhadap Moosa tidak
bersifat fisik, melainkan serangan verbal dan perlakuan yang merendahkan martabat
manusia (baca: suami).
Moosa memang bernasib
mujur, walau ia tidak mampu me nyamai rekor para istri yang duduk dikursi
terdakwa dan berhasil mendapat vonis tidak bersalah dalam kasus KDRT.
Persoalannya, siapakah kaum lanang yang cukup punya nyali untuk membela diri
seperti Moosa Hanoukai? Apalagi, ketika betapa pun istri yang menyerang
suaminya lebih dahulu, penjelasan tentang penyebab kelakuan istri itu lagi
dan lagi kembali ke titik awal: istri yang agresif adalah dalam rangka
membela diri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar