Rezim
Infrastruktur
dan
Inovasi Pemimpin di Tingkat Lokal
Airlangga Pribadi Kusman ; Pengajar Departemen Politik FISIP
Universitas Airlangga
|
KOMPAS.COM,
04 Desember
2017
DI tengah berbagai
kontroversi tentang kebijakan Presiden Joko Widodo yang menggenjot penyediaan
infrastruktur fisik di seluruh Indonesia, imbas dari langkah tersebut
berpotensi untuk menggerakkan roda perekonomian di Indonesia.
Namun demikian dampak
positif dari kebijakan tersebut membutuhkan syarat yang harus dipenuhi.
Syarat tersebut adalah
tumbuhnya inovasi yang lahir dari inisiatif kepemimpinan di tingkat lokal
yang membuat berkah infrastruktur dapat dinikmati oleh mayoritas kekuatan
ekonomi kecil dan menengah dan bukan hanya kekuatan ekonomi besar.
Selama tiga tahun
pemerintahan Joko Widodo, komitmen presiden untuk membangun infrastruktur
yang menghubungkan wilayah-wilayah terpencil dari Sabang sampai Merauke
terlihat secara jelas.
Kebijakan ini di satu sisi
memunculkan berbagai kritik mengingat gelontoran dana ribuan triliun untuk
proyek infrastruktur. Artinya kebijakan ini berhubungan dengan kebijakan
fiskal yang ekspansif.
Pembiayaan proyek-proyek
infrastruktur yang masif mengakibatkan defisit anggaran dari pemerintah
seperti yang terlihat pada defisit RAPBN 2016 Rp 273,2 triliun atau 2,1
persen dari PDB maupun defisit Anggaran 2017 sebesar 2,41 persen dari PDB
kita.
Namun demikian di tengah
berbagai kritik terhadap kebijakan infrastruktur yang dianggap menyerap dana
yang besar, kebijakan ekspansi infrastruktur juga memiliki beberapa nilai
positif yang patut diapresiasi.
Melalui penyediaan
infrastruktur untuk mengejar ketertinggalan ekonomi Indonesia, kebijakan ini
bermanfaat. Pertama, untuk membangun konektivitas antar wilayah.
Kedua, menyediakan
lapangan kerja ditengah krisis ekonomi. Ketiga, mengundang investasi untuk
menggerakkan perekonomian daerah.
Belajar
dari Roosevelt
Dalam sejarah ekonomi
dunia, keberhasilan negara-negara besar untuk menyelesaikan krisis melalui
kebijakan penyediaan infrstruktur patut untuk dijadikan pelajaran penting
bagi Indonesia.
Professor ekonomi dari
Columbia University Jeffry Sachs (2011) dalam karyanya The Price of
Civilization: Economics and Ethics After the Fall menjelaskan bahwa
pemerintahan Amerika Serikat dibawah Franklin Delano Roosevelt merespons
krisis sosial melalui formulasi New Deal.
Formulasi itu diteruskan
sampai tahun 1960-an dengan berbagai formulasi termasuk kebijakan pembangunan
infrastruktur fisik (jalan, jembatan, listrik dan bendungan), perhatian
terhadap usaha kecil dan menengah, peningkatan pelayanan publik (kesehatan
dan edukasi), serta pembangunan regional antar wilayah maupun transfer dana
ke masyarakat miskin.
Formulasi New Deal inilah
yang saat ini mulai kembali disuarakan oleh kalangan progresif Amerika
Serikat untuk mengatasi persoalan krisis sosial di era neoliberalisme.
Satu hal yang penting
diperhatikan dari penjelasan Jeffry Sachs di atas bahwa kebijakan
infrastruktur yang dibangun pada era New Deal tidaklah selesai dengan
kebijakan infrastruktur itu sendiri.
Tekanan yang penting untuk
diuraikan disini adalah bahwa kebijakan infrastruktur harus ditopang juga
oleh kebijakan yang lain seperti perhatian terhadap usaha kecil dan menengah
serta fokus pada perdagangan antar wilayah.
Hal ini mengingat bahwa
perhatian atas partisipasi ekonomi dari kelompok ekonomi kecil dan menengah
maupun perdagangan antar wilayah maka kebijakan infrastruktur hanya akan
menjadi kutuk pembangunan.
Pengedepanan kebijakan
infrastruktur yang tidak perduli terhadap kebijakan-kebijakan lainnya sebagai
kekuatan penopang hanya akan mengakibatkan pemanfaatan pembangunan bagi
segelintir kekuatan ekonomi kuat dan ketimpangan pembangunan antar wilayah
(uneven development).
Dalam konteks Indonesia di
era desentralisasi, maka tanggung jawab untuk menopang pembangunan
infrastruktur dengan kebijakan-kebijakan progresif juga menjadi tanggung
jawab pemerintahan dan inovasi kepemimpinan ditingkat lokal.
Inisiatif
dan kepemimpinan lokal
Tantangan pembangunan
ekonomi saat ini adalah bagaimana menjadikan pertumbuhan ekonomi menjadi
berkah bagi seluruh warga bukan kekuatan ekonomi besar saja.
Kapasitas kepemimpinan
untuk meredistribusi berkah pembangunan ekonomi bagi mayoritas masyarakat
bawah adalah sebuah kebutuhan mendesak saat ini.
Ketika hasil pembangunan
ekonomi hanya dinikmati segelintir orang kaya, maka negara akan kehilangan
legitimasi dihadapan warganya, dan keresahan sosial akan merongrong
perjalanan negara.
Sehubungan dengan itu, ada
baiknya kita menengok beberapa inovasi kepemimpinan yang dilakukan untuk
mengadvokasi kekuatan ekonomi kecil dan menengah serta membangun perdagangan
regional lintas kawasan, seperti yang menjadi inisiatif kepemimpinan di Jawa
Timur.
Dalam konferensi yang
diselenggarakan oleh World Bank dan Lee Kuan Yew School-NUS pada 24 November
2017 lalu bertajuk “Infrastructure Development for Economic Competitiveness”,
penulis hadir bersama dengan Gubernur Jawa Timur Soekarwo.
Gubernur Soekarwo yang
akrab disapa Pakde dalam konferensi tersebut mengutarakan inisiatif
kepemimpinan Jawa Timur untuk menggerakkan koperasi usaha kecil menengah yang
tumbuh pesat sehingga sampai Desember 2016 tercatat 31.218 koperasi dengan
anggota lebih dari 7 juta jiwa.
Terkait dengan kebijakan
penguatan koperasi kecil dan menengah, formulasi pendekatan yang dilakukan
berbeda di tiap kelas. Pada mayoritas koperasi yang mengakomodir usaha kecil,
pemerintah Jawa Timur menerapkan charity (santunan) untuk mengerakkan mereka.
Sementara, bagi kekuatan
ekonomi yang telah bergerak menjadi kekuatan ekonomi menengah, pemerintah
cenderung membantu dengan penyediaan kredit-kredit lunak untuk mendidik
sekaligus mengembangkan usahanya.
Lantas, bagi kekuatan
ekonomi besar, pemerintah memfasilitasi dengan pelayanan perizinan yang
efisien dan cepat.
Dengan formulasi
pendekatan yang berbeda-beda sesuai dengan kekuatan ekonomi masing-masing
kelompok usaha tersebut, diharapkan masing-masing kekuatan usaha dapat
berkembang dan berdaya dengan tetap memperkokoh daya saing mereka dalam iklim
global yang semakin kompetitif.
Selanjutnya seperti yang
dikedepankan dalam program New Deal pada era Roosevelt, pemerintahan Jawa
Timur menyambut kebijakan ekspansi infrastruktur dengan menggalakkan
perdagangan antar wilayah untuk menngerakkan pasar dalam negeri.
Orientasi untuk membangun
perdagangan antar wilayah ini penting agar setiap wilayah saling terkoneksi
sehingga dapat mengantisipasi ketimpangan ekonomi.
Formulasi yang
dikedepankan pemerintahan Jawa Timur selain membuka gerak dinamis barang dan
jasa keseluruh wilayah Indonesia, juga agar daerah lokal tidak perlu
tergantung dengan impor bahan baku dari barang yang dapat diperoleh di daerah
lain di Indonesia.
Melalui pembelajaran atas
inovasi kepemimpinan ditingkat lokal seperti di Jawa Timur, maka
inovasi-inovasi sejenis diwilayah lain akan dapat menggerakkan perekonomian
yang telah terhubung oleh kebijakan infrastruktur yang telah dibangun oleh
pemerintah Presiden Jokowi.
Pada akhirnya di tengah
konsentrasi pembangunan yang menempatkan daerah lokal sebagai motornya,
determinasi kepemimpinan di tingkat daerah akan menentukan masa depan
Indonesia lebih baik setelah penguatan infrastruktur pada era Jokowi.
Semoga hal ini akan
menjadi berkah bukan kutukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar