Populisme
Islam (2)
Azyumardi Azra ; Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta;
Anggota Komisi
Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
REPUBLIKA,
04 Januari
2018
Penggunaan istilah
‘populisme Islam’ untuk menjelaskan fenomena politik sebagian kalangan umat
Islam Indonesia merupakan ekstensi dari ‘populisme politik’. Fenomena
terakhir ini menemukan momentum di beberapa negara Eropa sejak tiga dasawarsa
terakhir dan di Amerika Serikat dalam beberapa tahun terakhir yang berpuncak
dengan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden.
Apakah ‘populisme politik’
itu? Banyak sekali definisinya. Tetapi benang merahnya: ‘populisme adalah
pendekatan dan/atau gerakan politik yang mengklaim berbicara atas nama atau
mewakili rakyat biasa dalam penghadapan dengan elite politik dan/atau
penguasa politik mapan’.
Dari segi ini, ideologi
‘populisme politik’ adalah ‘pemihakan atau pembelaan pada massa rakyat yang selalu
dikorbankan elite politik dan/atau rezim penguasa’. Dengan ideologi ini,
pemimpin populisme politik lazimnya digerakkan figur karismatik yang fasih
dengan retorikanya menyerang elite politik tertentu dan/atau rezim penguasa.
Dengan semua karakter itu,
‘populisme politik’ cenderung dipandang peyoratif. ‘Populisme politik’ adalah
gerakan demagogi—menggunakan retorik untuk mengusung agenda dan tujuan tidak
realistis guna menarik dukungan berbagai spektrum dan lapisan masyarakat.
Lebih jauh, ‘populisme politik’
dapat ‘mewakili’ kekuatan politik sayap kiri atau sebaliknya sayap kanan. Dia
hampir tidak pernah mewakili dan menampilkan politik jalan tengah. Kenyataan
ini terkait kenyataan, ‘populisme politik’ hampir sepenuhnya antikemapanan
elite politik maupun kekuasaan.
Dalam konteks terakhir,
populisme politik hampir sepenuhnya muncul dan berkembang hanya di
negara-negara demokrasi. Fenomena populisme politik nyaris tidak muncul di
negara otoriter yang tidak memberikan ruang bagi wacana, konsep, dan gerakan
antikemapanan, yang mengancam status quo kekuasaan rezim otoriter.
Istilah ‘populisme
politik’ memiliki akar panjang dalam sejarah politik Barat. Istilah ini
pertama kali digunakan di Amerika Serikat sejak 1892 ketika muncul ‘Gerakan
Populis’ yang menghasilkan pembentukan Partai Populis atau Partai Rakyat.
Partai Populis ini menuntut demokrasi langsung melalui inisiatif dan agenda
rakyat.
Sampai terpilihnya Donald
Trump sebagai presiden (2016), populisme politik di AS gagal, walau selalu
muncul dari waktu ke waktu, tidak hanya sebagai gerakan independen, tetapi
juga di dalam tubuh Partai Demokrat atau Partai Republik.
Karena itu, kemenangan
populisme politik Donald Trump sangat fenomenal. Di tengah kemerosotan
ekonomi AS yang mengakibatkan banyak warga Amerika kehilangan pekerjaan,
demagogi dan retorika ‘American First’ berhasil mengantarkannya ke Gedung
Putih.
Populisme politik mulai
berkecambah di Eropa sedikitnya dalam tiga dasawarsa terakhir—sejak dari
Belanda, Prancis, Inggris, Swedia, dan banyak lagi. Berbagai figur yang
mengusung populisme muncul, semacam Geert Wilders (Belanda) atau Marine Le
Pen (Prancis) yang mendirikan partai populisme politik masing-masing.
Partai populisme politik
cenderung berhasil meningkatkan perolehan suara dalam pemilu, walau belum
berhasil menjadi pemenang mayoritas relatif atau apalagi mayoritas absolut.
Gerakan populisme politik
mengusung ideologi antimigran, anti-Muslim, dan juga anti-Uni Eropa. Krisis
dan kesulitan ekonomi yang dihadapi banyak negara Eropa memberikan lahan
politik subur bagi figur dan partai populisme politik untuk menemukan
momentumnya.
Bagaimana populisme
politik di Dunia Muslim? Secara umum, baik konseptual dan praksis keagamaan
maupun realitas sistem dan praktik politik, negara-negara Muslim tidak
memberikan peluang signifikan bagi munculnya populisme politik. Realitas
keagamaan, politik, dan ekonomi negara-negara Barat di mana populisme politik
berkembang sangat berbeda dengan negara-negara Muslim.
Pertama-tama, kebanyakan
negara di Dunia Muslim yang baru merdeka pasca-Perang Dunia II dengan segera
menjadi negara otoriter, baik militer atau sipil. Otoritarianisme ini sulit
berakhir. Gelombang demokrasi yang memunculkan ‘Arab Spring’ hanya berhasil
menumbangkan rezim-rezim otoriter di Tunisia, Mesir, Libya, dan Yaman secara
sementara.
Rezim otoriter dengan
segera kembali ke panggung kekuasaan di tengah kegalauan transisi menuju
demokrasi; atau sebaliknya konflik dan perang saudara berkecambah tanpa bisa
dihentikan. Sementara, rezim otoriter lain di negara-negara yang tidak
terlanda Arab Spring terus bertahan.
Di tengah berbagai
perkembangan politik ini, satu hal sudah jelas; rezim otoriter tidak membuka
ruang bagi populisme politik Islam. Karena itu, hampir tidak ada figur atau
kekuatan politik yang punya niat—apalagi nyali—untuk menggerakkan massa
rakyat melawan elite politik yang bersekutu dengan rezim otoriter menindas
rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar