Kembalinya
Politik Identitas
Abd Hannan ; Akademisi Sosial pada Magister Sosiologi
Fakultas Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya;
Aktif sebagai peneliti
Poltracking wilayah Jawa Timur
|
DETIKNEWS,
03 Januari
2018
Boleh dibilang, sepanjang
tahun 2017 dinamika politik berjalan dalam keadaan penuh anomali. Iklim
demokrasi mengalami pasang-surut, bahkan berhasil merambah ke ruang
primordial.
Salah satu anomali politik
tahun 2017 yang paling mencuri perhatian datang dari Pemilukada Jakarta. Pada
saat itu, tensi politik benar-benar menemukan puncaknya. Terjadi turbelensi
politik begitu dahsyat, mengakibatkan goncangan hebat, bahkan merambah luas
ke seluruh penjuru Indonesia. Penggunaan isu-isu SARA; Suku, Agama, Ras, dan
Antargolongan bergulir deras. Harapan menggeloranya demokrasi substantif
seolah tinggal mimpi, justru yang tampak adalah semakin mengaburnya
demokrasi, dan bangkitnya model politik identitas yang sengaja digulirkan
oleh kelompok-kelompok tertentu.
Persoalan bertambah
runyam, ketika kelompok yang memanfaatkan ruang primordial tersebut berbangga
diri. Alih-alih merasa bersalah, justru yang tampak adalah sikap berbangga
diri, bahkan dengan lantang melakukan pembenaran melalui dasar-dasar
teologis-kapitalistik yang telah direduksi sedemikian rupa. Dengan realitas
demikian, rasa-rasanya tidak berlebihan, jika ada yang menyebut tahun 2017
sebagai era kembalinya politik primordial yang mengatasnamakan identitas.
Akankah
Berlanjut?
Jika kita mau, tahun 2017
bisa saja kita sebut tahun politik identitas, karena di tahun inilah kita
begitu mudah menemukan isu identitas menggelinding bebas. Pada kasus-kasus
tertentu, politisasi identitas bukan saja telah berhasil membuktikan
keampuhannya secara telanjang di hadapan kita, tetapi juga telah menghadirkan
kenyataan-kenyataan baru yang begitu dahsyat, melebihi era-era sebelumnya.
Berkenaan dengan
kenyaataan ini, tentu masih segar dalam ingatan kita, bagaimana kekuatan isu
identitas terbukti ampuh memukul jatuh seorang gubernur petahana yang pada
waktu itu memiliki tingkat elektabilitas luar biasa, bahkan dengan angka
kepuasan publik mencapai lebih 70 persen. Bercermin dari peristiwa ini, dalam
alam politik yang serba cair —untuk tidak memgatakan pragmatis— sangat
mungkin akan muncul rentetan-rentetan peristiwa serupa pada tahun-tahun
selanjutnya.
Faktanya, menjelang akhir
2017, secara kasat mata dapat kita saksikan isu-isu identitas kian ramai
menyeruak. Berbagai pihak, khususnya kalangan elite politik tertentu, kian
matang dan piawai memanfaatkan situasi. Sentimen-sentimen atas nama identitas
menyebar luas ke ruang publik. Ironisnya, masyarakat sebagai subjek politik
acap menerimanya dengan sukarela. Bahkan beberapa kelompok menyambutnya
dengan gelora heroisme diri, yang kemudian memolesnya dengan terma-terma
pembelaan terhadap keyakinan, kebangkitan kaum pribumi, perlawanan atas
penjajahan ekonomi kelompok "asing-aseng".
Menggaet
Agama
Sebuah penelitian menyebutkan,
sembilan dari sepuluh orang Islam dan Kristen, delapan dari sepuluh orang
Konghucu dan Budha, serta lima dari sepuluh orang Hindu menilai agama sebagai
bagian dalam aktivitas keseharian mereka (A'la, 2014). Fakta ini membuktikan
betapa sulit memisahkan agama dari aktivitas keseharian masyarakat. Termasuk
di dalamnya menyangkut urusan politik.
Dalam realitas politik
Indonesia, kenyataan ini menjadi angin segar bagi para politisi. Hal ini
didukung oleh sejarah perjalanan politik Indonesia, di mana kebanyakan
politisi dari lintas ideologi seringkali mendudukkan agama sebagai strategi
polical marketing. Pertanyaan besarnya kemudian, dengan tingkat rasionalitas
dan kesadaran politik masyarakat yang semakin tinggi, apakah unsur emosional
keagamaan akan tetap menemukan tajinya dalam perhelatan kontestasi politik
yang akan datang, minimal di tahun politik 2018 ini?
Jika mengikuti situasi
politik saat ini, ada kecenderungan aspek emosional (agama) masih akan
memengaruhi jalannya sirkulasi politik ke depan. Bahkan, bukan suatu yang
mustahil jika nantinya akan banyak partai politik memanfaatkan (simbol)
agama. Itulah sebabnya, meski selama ini akrobat politik SARA beroperasi
dalam ruang terbuka, namun modus operandinya lebih dominan pada domain-domain
keagamaan. Di sini, mereka tahu dan paham betul, agama sebagai narasi agung
dapat memproduksi dan mereproduksi kekuasaan yang dahsyat untuk bisa
menghasilkan ketaatan dari para pemeluknya (Michel Foucault, 1975).
Oleh karenanya, adalah
sebuah kecerobohan jika saat ini kita menaruh kepercayaan, bahwa dalam
perhelatan pesta demokrasi ke depan kontestasi politik kita akan steril dari
isu-isu sensitif. Yang kita rasakan saat ini, iklim demokrasi mengalami
gelombang pasang, baik di level daerah maupun nasional. Kondisi ini,
sesungguhnya berkelindan kuat dengan maraknya penggunaan simbol-simbol
identitas, utamanya yang berkaitan dengan dimensi agama.
Pada batasan-batasan
tertentu, menggaet agama dalam dunia politik sesungguhnya sah-sah saja.
Dengan catatan, kehadiran agama murni ditujukan untuk membumikan nilai ajaran
agama itu sendiri. Sebaliknya, akan menjadi naïf jika agama sekadar menjadi
formalitas untuk kepentingan syahwat politik. Karena yang demikian hanya akan
menghadirkan kekacauan, dan pemberangusan hak asasi kelompok masyarakat
tertentu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar