Senin, 08 Januari 2018

Jangan Berulang Sejarah Perpecahan Bangsa

Jangan Berulang Sejarah Perpecahan Bangsa
Kisnu Haryo Kartiko ;  Tenaga Ahli Profesional Bidang Politik Lemhannas RI
                                            MEDIA INDONESIA, 02 Januari 2018



                                                           
SAAT bangsa Indonesia sedang merintis untuk memperjuangkan diri agar bisa bersatu sebagai bangsa yang merdeka melepaskan diri dari penjajahan, generasi muda menunjukkan peran besarnya melalui kepeloporan dalam perjuangan menyebarluaskan pendidikan untuk semua kalangan rakyat dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, seperti Perguruan Taman Siswa, dll. Kepeloporannya membangun persatuan bangsa dengan mendirikan berbagai perkumpulan/ perhimpunan. Puncak dari kepeloporan generasi muda untuk membangun sebagai bangsa ditandai melalui deklarasi Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa Indonesia dalam Kongres Pemuda 1928.

Perjuangan untuk mempersatukan bangsa ternyata belum selesai hingga saat ini. Dalam kurun waktu 72 tahun lebih pascakemerdekaan bangsa Indonesia masih dihadapkan berbagai persoalan, yang disebabkan karena tumbuhnya secara berulang ‘berbagai ego’ yang bersifat kedaerahan, agama, suku, ras, dan antargolongan.

Ketika bangsa Indonesia sedang mempersiapkan maupun menyusun kemerdekaan, persoalan kebangsaan yang pluralis dan multikulturalis menjadi pertaruhan besar dalam berbagai Sidang BPUPKI dan PPKI. Salah satu persoalan yang besar pada saat itu ialah masalah ‘landasan untuk bernegara atau idiologi dasar negara’.

Pembahasan, perdebatan yang intens saat itu telah menyebabkan timbulnya dikotomi kelompok. Di satu sisi ada kelompok yang menginginkan adanya ketentuan syariat Islam sebagai landasan bernegara, dan di sisi lain menginginkan dihapusnya ketentuan itu.
Selanjutnya, pada sidang BPUPKI masa sidang kedua yang dimulai 10-17 Juli 1945 dengan agenda, antara lain penyusunan rancangan UUD, persoalan dasar negara yang tercantum dalam rancangan Preambule menjadi perdebatan sengit antara kelompok Islam, nasionalis, dan perwakilan Indonesia wilayah timur.

Mengingat bahwa masa sidang kedua BPUPKI telah usai, sebagai hasil rumusan sementara (dikenal sebagai Preambule Piagam Jakarta) rancangan alenia IV Preambule UUD yang terkait dengan dasar negara kalimatnya berbunyi, “...berdasar Ketuhanan YME, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya, ....dst.”

Setelah proklamasi dilakukan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945, pada 18 Agustus 1945 diadakan Sidang PPKI yang bertugas untuk menetapkan UUD bagi negara RI, pemilihan presiden dan wakil presiden, serta membentuk lembaga-lembaga negara lainnya.

Ketika membahas tentang UUD muncul kembali persoalan yang terkait dengan dasar negara sebagaimana termuat dalam Piagam Jakarta. Pada saat itu perwakilan dari Indonesia Wilayah Timur dan golongan nonmuslim menyampaikan pandangannya bahwa negara Indonesia yang akan dibentuk bukan saja milik warga negara muslim yang mayoritas, melainkan harus menaungi semua warga negara yang beragama lain.

Mereka juga menyampaikan pandangan bahwa apabila dalam dasar negara masih mencantumkan kalimat, “...berdasar Ketuhanan YME, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya, ....dst”, wilayah-wilayah di Indonesia bagian timur tidak berkenan bergabung dengan negara Indonesia yang baru diproklamasikan.

Dalam rangka membangun Indonesia Raya yang wilayahnya mencakup dari Sabang sampai Merauke, dari Talaud sampai Rote, yang didiami lebih dari 728 suku bangsa, dengan berbagai agama, adat istiadat, norma yang beraneka ragam, dengan berbagai budaya dan bahasa, dilakukanlah musyawarah, yang kemudian disepakati para tokoh pendiri bangsa (Founding Fathers) bahwa ideologi negara tidak perlu mencantumkan syariat agama mayoritas.

Apakah melalui kompromi dari para pendiri bangsa telah menyelesaikan persoalan kebangsaan di belakang hari? Ternyata belum. Persoalan ini menjadi persoalan laten dalam perjalanan bangsa dan pemerintahan negara. Pada saat pemerintahan kembali dari bentuk Republik Indonesia Serikat menjadi Negara Kesatuan yang didasarkan UUDS 1950, yang di dalamnya diatur tentang tugas Pembuatan Konstitusi yang permanen oleh Konstituante, maka persoalan ideologi yang diwarnai kelompok mayoritas (syariat Islam) muncul kembali sehingga untuk mengambil keputusan harus dilakukan voting.

Namun, dalam beberapa kali voting yang dilakukan di Konstituante menemui jalan buntu, sehingga Presiden mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959. Ketika perjuangan secara konstitusional di Lembaga Konstituante buntu, ini menjadi salah satu pendorong kelompok-kelompok politik dan kelompok kecewa melakukan perlawanan bersenjata dan pemberontakan di berbagai daerah (seperti PRRI/Permesta dan NII/DI-TII). Penyelesaian persoalan ini memerlukan pengorbanan yang sangat besar dari segi harta benda, jiwa, hancurnya persatuan, dan terganggunya stabilitas politik dan keamanan.

Pada masa pemerintahan rezim Orba, dicita-citakan terbangunnya kehidupan politik yang stabil, sehingga ingin dibangun suatu kehidupan politik yang didasarkan pada ideologi Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui semboyan Eka Prasetya Pancakarsa.

Penerapan asas tunggal ideologi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara tegas dan represif oleh rezim Orba menimbulkan reaksi keras dari kelompok politik dan kelompok garis keras sehingga timbul berbagai gangguan keamanan di berbagai daerah. Untuk mengatasi kelompok garis keras ini pemerintah Orba melakukan tindakan tegas dan represif. Karena itulah para tokohnya melarikan diri ke luar negeri dan menghimpun kekuatan untuk melakukan perlawanan bersenjata dan teror di Tanah Air, tetapi keamanan dan stabilitas politik dapat terpelihara.

Ketika reformasi bergulir di Tanah Air awal 1998, kebebasan untuk berserikat dan mengeluarkan pendapat (demokrasi) menjadi icon dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini mendorong beberapa tokoh kelompok garis keras pulang kampung ke Indonesia. Mereka mulai membangun kekuatan melalui lembaga-lembaga pendidikan, membentuk majelis-majelis syiar di tingkat grassroot, membangun laskar-laskar dan front-front di berbagai daerah. Kemudian melakukan penghimpunan kekuatan bersama dengan kelompok garis keras baru yang berasal dari Timur Tengah yang ingin membangun khilafah.

Bahkan, secara tidak langsung mereka pun mendorong kelompok teror untuk melakukan jihad fisabilillah. Kelompok ini secara nyata berada dan hidup dalam masyarakat saat ini. Timbul pertanyaan besar, apakah kelompok garis keras ini diam saja dan tidak berkeinginan untuk menerapkan syariat sebagai ideologi negara? Jawabannya mereka tidak tinggal diam dan tetap melakukan strategi dan taktik untuk bisa membangun kekuatan dengan memanfaatkan jalan terbuka demokrasi. Kebebasan syiar di tingkat grassroot, keterbukaan jalur politik, karier birokrasi, dan legal konstitusional.

Dengan melalui perenungan terhadap keterulangan sejarah tersebut, memasuki 2018 serta untuk tahun-tahun mendatang, marilah seluruh warga bangsaku bangsa Indonesia yang mencintai Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang sangat plural dan multikultur agar selalu damai dan bersatu dalam ke-Bhinneka Tunggal Ika-an. Kita semua mempunyai kewajiban sebagai darma-bakti kepada negara dan bangsa untuk mengembangkan wawasan kebangsaan agar tidak terjebak dalam pandangan yang ego dan sempit. Tanpa komitmen dari seluruh komponen bangsa, kebersatuan bangsa tidak akan pernah terwujud. Mari kita renungkan jangan sampai sejarah perselisihan dan perpecahan bangsa berulang dan berulang. Damai bangsaku, Damai negaraku, Maju bersama. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar